Minggu, 29 November 2015

TANGGUNG JAWAB DALAM UCAPAN MANUSIA (bagian pertama)

TANGGUNG JAWAB DALAM UCAPAN MANUSIA
Suatu Deskripsi Kritis atas Pemikiran Austin tentang Ucapan Perfomatif
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan sistem lambang yang sangat tertata rapi guna menyampaikan infomasi; dapat disimpan, diingat, dan diolah dengan otak.[1] Salah satu bentuk bahasa ialah ujaran atau ucapan. Beberapa filsuf (yang kebanyakan beraliran analitik) telah meneliti perihal bahasa terutama ujaran atau ucapan.
Pada periode pertama filsafat analitik (1900-1930), ujaran dipandang sebagai bentuk ekspresi logis terhadap dunia. Pada periode ini, ujaran dianggap “hanya” sebagai alat yang melukiskan suatu fakta logis atau mencerminkan dunia.[2] Pada periode berikutnya (1930-1945), bahasa mencapai tahap “positivisme logis”[3]. Pada tahap ini, verifikasi menjadi bagian penting dalam bahasa. Ujaran diakui bermakna hanya jika dapat atau mungkin dapat diverifikasi kebenarannya
Pada periode ketiga (sejak tahun 1945) orang tidak lagi menanyakan makna sebuah ujaran, tetapi lebih terfokus untuk menyelidiki pemakaiannya.[4] Salah satu tokohnya ialah Ludwig Wittgenstein atau biasa disebut Wittgenstein II. Dengan menyadari konteks bahasa, orang dapat mengetahui bahasa tersebut digunakan dalam cara apa. Wittgenstein II menamakan hal tersebut sebagai “permainan bahasa”. Dalam permainan bahasa, terdapat banyak cara untuk menggunakan bahasa: memberi perintah, melukiskan suatu obyek, melaporkan suatu, dan sebagainya.[5] Bahkan dikatakan juga oleh Wittgenstein demikian: “Berbicara bahasa termasuk suatu aktivitas atau suatu bentuk kehidupan.”
Fondasi “permainan bahasa” yang dibangun oleh Wittgenstein mempengaruhi pemikiran salah satu filsuf analitik periode ketiga yaitu John Langshaw Austin.[6] Secara lebih radikal, Austin mengungkapkan bahwa dalam setiap tindakan ujaran, seseorang melakukan sesuatu. Maksudnya, bahasa bukanlah sebatas penggambaran realitas melainkan dalam bahasanya seseorang sungguh-sungguh melakukan sesuatu.[7] Ia menjelaskan teorinya dalam sebuah buku yang terbit setelah dua tahun kematiannya yaitu How to do thing with words (1962).
Sumbangan Austin yang melandasi tesisnya: “berkata berarti sungguh-sungguh melakukan sesuatu” bagi studi bahasa adalah pembedaan yang dibuatnya antara dua jenis ujaran yaitu ujaran performatif dan ujaran konstantif. Secara khusus, ujaran performatiflah yang dapat dikatakan sebagai ucapan yang berarti sungguh-sungguh melakukan sesuatu.[8]
Pemahaman Austin tentang bahasa menambahkan dimensi tanggung jawab dalam setiap ucapan yang dibuat oleh seseorang. Namun pada prakteknya, sering terjadi bahwa apa yang dilakukan seseorang tidak sesuai dengan apa yang ia katakan sebelumnya. Contoh konkret yang sering terjadi di negeri kita adalah rakyat “tertipu” oleh janji oknum politikus, atau maraknya perceraiaan yang sebenarnya diikat sebuah janji setia, atau dalam kehidupan beragama mulai muncul perelatifan keyakinan sehingga seseorang mudah saja meninggalkan apa yang ia percaya dan sebagainya. Dari contoh kasus tersebut, nampak bahwa dimensi tanggung jawab dalam sebuah ucapan tidak begitu mendapat perhatian dari pembicara.
Dalam pembahasannya tentang ujaran performatif, Austin mengungkapkan beberapa syarat sebuah ucapan performatif menjadi laik ucap. Berdasarkan pemahamannya, sesungguhnya ucapan seseorang dapat ditelaah secara komprehensif. Penelaahan setiap ucapan secara komprehensif sangat berguna baik bagi pengujar maupun pendengar agar seseorang sungguh menyadari dimensi tanggung jawab dari setiap ujaran yang disampaikan. Bahkan dalam hidup keagamaan, ungkapan “Saya percaya kepada Allah” pun dapat ditelaah secara komprehensif sehingga mengandung sebuah tanggung jawab tertentu bagi pengujar.[9]
Sebagai seorang mahasiswa fakultas filsafat yang memiliki minat pada pemikiran yang radikal, penulis sangat tertarik untuk mengulas pemikiran Austin tentang penelaahan secara komprehensif ujaran seseorang. Dan sebagai seorang Katolik, dengan menggunakan telaahan ujaran performatif, penulis juga tertarik untuk menghubungkan ajaran Katolik dengan tindakan ujaran serta meyakini bahwa setiap kepercayaan, pujian, dan doa kepada Allah yang penulis lakukan bukan sebatas kata-kata kosong melainkan benar-benar sebuah tindakan yang penulis lakukan.

2. Perumusan Masalah

Penulis dalam tulisan ini hendak membahas secara khusus pemikiran Austin tentang ujaran performatif dan aplikasinya dalam setiap ujaran yang dibuat oleh seseorang. Penulis akan mengangkat aspek tanggung jawab dari ujaran performatif yang menurut Austin bukan sekedar ucapan melainkan sebuah tindakan. Oleh karena itu penulis akan membatasi pembahasan tulisan ini dengan memberi judul: Tanggung Jawab dalam Ucapan Manusia: Suatu Deskripsi Kritis atas Pemikiran Austin tentang Ucapan Perfomatif.
Tanggung jawab merupakan konsekuensi dari pemikiran Austin tentang ujaran performatif. Dengan demikian seharusnya seseorang sungguh berpikir secara masak ketika hendak mengucapkan sesuatu yang termasuk dalam ucapan performatif. Oleh karena itu, seseorang juga harus dapat membedakan antara ucapan performatif dan yang bukan.
Dalam tulisan ini ada beberapa pertanyaan yang hendak penulis jawab dalam bentuk deskripsi ilmiah:
1.      Siapakah John Langshaw Austin dan apa yang dimaksud dengan ucapan konstantif dan ucapan performatif yang Austin bedakan?
2.      Apa pengaruh paham Austin tentang ucapan performatif bagi ucapan seseorang? Bagaimana ucapan performatif dalam telaah keagamaan terutama Katolik?
3.      Apa pengaruh pemahaman Austin tentang ucapan performatif terhadap pribadi penulis?

3. Tujuan Penulisan

Melalui penulisan ini penulis ingin mengenal dan mendalami pemikiran Austin tentang ucapan performatif yang bukan sebatas mengungkapakan kata-kata belaka melainkan sungguh-sungguh melakukannya. Penulis juga ingin menunjukkan bahwa setiap ucapan seseorang senantiasa mengandung tanggung jawab sesuai syarat-syarat kelaikan ucapan performatif. Selain itu, tulisan ini juga merupakan tugas, Ujian Tengah Semester, sekaligus Ujian Semester penulis dalam mata kuliah Logika dan Bahasa.
Dalam kehidupan konkret, tulisan ini juga dimaksudkan agar para pembaca dapat  membangun pemikiran kritis terhadap setiap ucapan-ucapan yang dikatakan oleh diri sendiri maupun orang lain. Tulisan ini mengajak para pembaca untuk berpikir secara komprehensif ketika hendak berkata maupun ketika disuguhi kata-kata oleh orang lain. Kemudian dalam kehidupan beragama, tulisan ini mengajak pembaca untuk sungguh-sungguh bertanggung jawab atas apa yang dipercayai dan untuk menghubungkan ujaran performatif dengan beberapa dasar iman Katolik.

BAB II
AUSTIN: RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG UCAPAN KONSTANTIF DAN UCAPAN PERFORMATIF

1. Riwayat Hidup Jhon Langshaw Austin

Austin lahir di Lancaster, Inggris pada 26 Maret 1911. Ia belajar filologi klasik serta Filsafat di Oxford pada tahun 1929. Pada tahun 1933, ia menerima gelar pertamanya di bidang Literae Humaniores (Klasik dan Filsafat). Pada tahun 1935, ia menjadi pengajar di Oxford.
Selama Perang Dunia Kedua, Austin bertugas di British Intelligence Corps dan mencapai pangkat letnan-kolonel. Kemudian, ia meninggalkan tentara pada bulan September 1945. Setelah berhenti dari tentara, Austin kembali ke Oxford dan menjadi profesor filsafat moral pada tahun 1952. Selain itu, pada tahun yang sama, ia mengambil peran di Oxford University Press dan menjadi Ketua Komite Keuangan di situ pada tahun 1957. Selain itu, Austin juga pernah menjadi ketua sub-fakultas filsafat (1953-1955), menjadi presiden untuk “Serikat Aristotelian” (1956-1957), dan menemukan permainan kartu CASE pada tahun 1951.
Austin selama hidupnya menerbitkan sedikit sekali buku. Sebagian besar pengaruh filsafatnya adalah melalui bentuk pengajaran dan diskusi berkala yang diberikan dalam kalangan filosofis di Oxford. Sesudah meninggalnya 8 Februari 1960 pada umur 48 tahun, tiga buku yang berisi pemikirannya diterbitkan: oleh J.O. Urmson dan G.J. Warnoc Philosophical papers (1961); buku Sense and sensibilia (1962); dan How to do things with words (1962).

2. Ucapan Konstantif dan Ucapan Performatif

Austin merupakan seorang filsuf yang memiliki ketertarikan pada penyelidikan bahasa pergaulan yang biasa. Sejalan dengan pemikiran Wittgenstein II, Austin menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak boleh dilepasakan dari situasi konkrit di mana ucapan-ucapan itu dikemukakan.[10] Austin menampilkan gagasan baru yang belum terlalu diperhatikan oleh pemikir analitik sebelumnya yaitu pembedaan yang dibuatnya antara performative utterance (ucapan performatif) dengan constantive utterance (ucapan-ucapan konstantif).
Pembedaan yang Austin buat bukan saja berdasarkan pada aspek pengucapannya, akan tetapi juga berdasarkan pada situasi, prasyarat, dan implikasi yang ditimbulkan masing-masing jenis ucapan.[11] Meskipun demikian, perbedaan yang ada di antara keduanya tidaklah bersifat mutlak. Kadang kala dijumpai adanya ucapan performatif yang tidak dapat dibedakan dengan ucapan konstantif. Namun, menurut Austin, si penutur (subyek) dapat menjadi penentu dari sebuah ucapan apakah konstatif atau performatif. Peran subyek yang menurut Austin menentukan, tidak terlalu dihiraukan dalam pandangan tokoh filsafat bahasa sebelumnya misalnya Wittgenstein II.[12]

2.1 Ucapan Konstatif (Constative Utterance)

Ucapan konstatif adalah ucapan atau tuturan yang dipergunakan ketika menggambarkan suatu keadaan faktual.[13] Ucapan jenis ini dapat dikenakan kriteria benar atau salah. Ucapan ini dapat diverifikasi menurut positivisme logik. Jadi, dalam setiap ucapan konstatif terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan pendengar untuk menguji kebenarannya secara empiris. Beberapa contoh ucapan konstatif ialah:
1.      Seluruh frater di Seminari Tinggi Santo Petrus hadir dalam perayaan ekaristi.
2.      Saya melihat pohon durian di kebun TOR St. Markus.
3.      Ada beberapa ikan yang mati di kolam pastoran.
Pernyataan di atas merupakan sebuah penggambaran keadaan faktual dari peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya. Ucapan seperti itu diuji dengan melihat, menyelidiki, atau mengalami sendiri hal-hal yang disampaikan. Atau dengan kata lain, Austin menegaskan bahwa, “pada hakikatnya ucapan konstantif itu berarti membuat pernyataan yang isinya mengandung acuan historis atau peristiwa nyata”.[14]
Dalam praktek hidup sehari-hari, manusia tidak hanya dihadapkan pada ucapan yang melulu harus dapat dibuktikan secara faktual. Ada ucapan lain, yaitu ucapan performatif. Selama ini, kebanyakan filsuf sebelum Austin mengandaikan begitu saja bahwa ucapan yang bermakna hanyalah ucapan yang dapat dipastikan sebagai benar atau tidak benar saja.[15] Dengan mengemukakan pemikirannya tentang ucapan performatif, Austin ingin menjernihkan kesalahpahaman dalam penentuan konsep makna bagi suatu ucapan.[16]

2.1 Ucapan Performatif (Performative Utterance)
Sebagai pengantar kepada pemahaman tentang ucapan performatif, kita dapat melihat contoh sebagai berikut: (1) Saya berjanji membayar hutang besok; (2) Saya akan memberikan dan mewariskan pakaian saya ini kepada adik saya. Kedua kalimat di atas, secara faktual tidak dapat diverifikasi benar atau salahnya. Berdasarkan positivisme logik, kedua kalimat itu tidaklah bermakna. Namun, menurut Austin tidaklah demikian.
Kedua kalimat tadi pada dasarnya tidak dapat diverifikasi karena tidak melukiskan suatu fakta apapun.[17] Namun, menurut Austin, kedua kalimat tersebut bermakna sebab dengan mengatakan kalimat-kalimat tersebut, seseorang telah melaksanakan sesuatu.[18] Dengan mengatakan “saya berjanji” berarti saya melakukan sebuah perjanjian. Kedua ucapan tadi berbeda dengan “ia berjanji membayar hutang besok” atau “kemarin saya berjanji membayar hutang”. Kedua kalimat terakhir merupakan sebuah pelukisan fakta atau kejadian.
Ucapan performatif mempunyai konteks maknanya sendiri. Dalam ucapan performatif, kita tidak dapat mengenakan kualifikasi benar atau tidak benar. Ucapan performatif hanya dapat dikatakan laik atau tidak laik (happy or unhappy) untuk diucapkan oleh seseorang dan dalam situasi yang tidak sembarangan.[19] Terlihat bahwa dalam pemikiran Austin, subyek penutur ucapan performatif (dengan berbagai konsekuensi yang terkandung di dalam isi ucapannya)[20] sangat menentukan apakah suatu ujaran menjadi laik ucap atau tidak.
Beberapa contoh yang diberikan Austin di bawah ini menampilkan bagaimana peranan penutur bertautan erat dengan apa yang ia katakanya:
1.      “Saya bersedia menerima wanita ini sebagai istri yang sah”
2.      “Saya namakan kapal ini Ratu Elizabeth”
3.      “Saya memberikan dan mewariskan jam ini kepada saudara saya”[21]
Ucapan pertama hanyalah laik bila diucapkan seorang laki-laki yang belum beristeri (menurut pandangan monogami). Sementara ucapan kedua hanyalah laik bila diucapkan oleh orang yang memiliki saham dalam pembuatan maupun pembelian kapal yang hendak dinamai Ratu Elizabeth tersebut. Lalu, ucapan ketiga hanya laik dilontarkan oleh orang yang memiliki jam. Dari ketiga contoh tersebut, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa ciri ucapan performatif: memakai persona pertama, berbentuk indikatif, waktu sekarang, dan aktif.[22]
Keempat ciri tadi bisa juga dikenakan bagi ucapan konstantif. Yang membedakan keduanya ialah penekanan utama masing-masing ucapan yaitu penekanan pada subyek dalam ucapan performatif dan penekanan pada obyek tuturan dalam ucapan konstatif. Oleh karena itu, Austin menambahkan beberapa syarat yang harus dipenuhi supaya suatu ucapan sungguh-sungguh bersifat performatif. Terdapat empat syarat yang sekiranya harus dipenuhi[23], yaitu:
1.  Harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula.
2.  Mereka yang terlibat dalam situasi yang melingkupinya memang sudah selaiknya atau berkepentingan untuk mengucapkannya sesuai dengan prosedur yang ditempuhnya. Dalam hal ini, seseorang harus menyadari apakah dirinya berkompetensi untuk mengucapkan sebuah ucapan performatif dan apakah keadaan mengizinkannya untuk mengucapkan hal tersebut.[24]
3.     Prosedur tersebut harus dilaksanakan oleh semua pihak yang terlibat secara tepat. Dalam hal ini, sikap jujur menjadi acuan. Pada kenyataannya, orang bisa menyalahgunakan bahasa.[25]
4.      Harus dilaksanakan dengan sempurna. Dalam hal ini, pertanggungjawaban subyek dituntut.[26]
Apabila salah satu dari keempat syarat di atas dilanggar oleh subyek, maka ucapan tersebut bukannya salah tetapi tidak laik atau sia-sia. Hal ini disebabkan karena ucapan performatif tidak bisa benar atau tidak bisa salah. Ucapan performatif hanya dapat mengalami kegagalan.
Ucapan performatif yang tidak laik karena tidak mengikuti prosedur yang lazim berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu, menurut Austin sama seperti “seseorang yang kawin dengan seekor monyet, atau seorang imam yang membaptis beberapa ekor burung penguin.”[27] Kita tidak dapat menyalahkan tindakan mereka. Kita hanya dapat mengatakan bahwa tindakan mereka tidak patut atau tidak laik dilakukan karena tidaklah lazim dilakukan dalam konteks masyarakat tertentu.
Pembedaan yang dibuat oleh Austin antara ucapan konstatif dan ucapan performatif, pada kenyataanya tidak selalu persis sesuai dengan teori yang dibuatnya. Hal ini pun diakui oleh Austin sendiri.[28] Dalam bab selanjutnya, penulis hendak membuat catatan kritis terhadap pemikirannya berdasarkan beberapa buku referensi yang ada.
Selain kekaburan dalam pembedaan kedua ucapan, pendapat Austin bahwa ucapan performatif tidak dapat dikenakan predikat benar atau salah, seolah-olah mereduksi unsur tanggung jawab dalam ucapan seseorang. Untuk sementara dapat dikatakan bahwa kita tidak boleh menyalahkan oknum-oknum politisi yang tidak menepati janji, atau tidak boleh menyalahkan orang yang murtad. Namun dalam telaah kritis, penulis hendak mengangkat unsur tanggung jawab yang terkandung dalam ucapan performatif dalam terang filsafat dan agama.
















[1] Donald B. Calne, Batas Nalar, (Jakarta: KPG [Kepustakaaan Populer Gramedia], 2004), hlm.48.
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm.43.
[3] Positivisme logis menekankan bahwa realitas pada dasarnya dapat disamakan dengan data-data inderawi. Oleh karena itu ketika orang berbahasa/berbicara tentang sesuatu di luar data-data inderawi, maka pembicaraannya tidak bermakna.
[4] K.Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm.139.
[5] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.50.
[6] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001), hlm.125. Dalam pembahasan selanjutnya nama John Langshaw Austin akan disebut Austin saja.
[7] K.Bertens, Filsafat barat…, hlm.59.
[8] Speech Acts, dalam http://www.iep.utm.edu/austin/ diakses Jumat, 17 April 2015
[9] Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat…, hlm.152.
[10] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.58.
[11] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.126.
[12] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.127.
[13] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.127.
[14] J.L.Austin, How to Do Things With Word, (London: Oxford University Press, 1976), hlm.3.
[15] Pemikiran yang demikian diikuti oleh para filsuf pengikut Atomisme Logik seperti Ryle dan Wttgenstein I, serta para filsuf pengikut Positivisme Logik seperti Ayer.
[16] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.218.
[17] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.59.
[18] Bdk. Speech Acts, dalam http://www.iep.utm.edu/austin diakses Jumat, 17 April 2015.
[19] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.60.
[20] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.129.
[21] J.L.Austin, How to Do…, hlm.5.
[22] J.L.Austin, How to Do…, hlm.56-57. Tidak boleh dilupakan juga bahwa analisa yang dilakukan oleh Austin berdasarkan bahasa Inggris sehingga keempat ciri itulah yang diungkapkan.
[23] J.L.Austin, How to Do…, hlm.14-15.
[24] K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm.59.
[25] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.
[26] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.131.
[27] J.L.Austin, How to Do…, hlm.54.
[28] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.

Satu cerita Tiga Injil Tetap satu IMAN (bagian kedua)

Perbandingan Sinoptik: Yesus Menyembuhkan Orang Buta di Yerikho
dalam Mat 20:29-34, Mrk 10:46-52, dan Luk 18:35-43


2.1.2 Tanggapan Yesus dan Penyembuhan (The Healing)[26]

a)             Tanggapan Yesus
Ketiga Injil menampilkan cara yang berbeda perihal proses bagaimana Yesus menanggapi orang buta tersebut. Matius menggambarkan bahwa Yesus berhenti dan memanggil orang buta tersebut secara langsung. Sementara itu, Markus dan Lukas melukiskan bahwa Yesus menyuruh orang lain untuk memanggil orang buta. Kemungkinan, Matius meninggalkan rangkaian dialog dalam Mrk 10:49-50 untuk menghemat kata-kata (sebab ketika itu media penulisan Injil cukup mahal)[1]. Kita perlu ingat juga bahwa Markus memiliki gaya menulis yang lebih naratif, sedangkan Matius lebih sistematis (yang terutama pesan Injil ditangkap oleh sidang pembaca).
Markus dan Lukas menggambarkan bahwa Yesus meminta orang lain untuk memanggil orang yang buta itu. Markus menggunakan kalimat: Lalu Yesus berhenti dan berkata, “Panggil dia”. Dan mereka memanggil orang buta. Markus bermaksud menunjukkan kuasa Yesus terhadap mereka yang sebelumnya telah mencoba menyuruh Bartimeus diam dan mengantisipasi bahwa mereka harus menjadi pembawa pesannya.[2] Sementara itu, meskipun Lukas menggunakan cara yang sama dengan Markus, hanya saja ia menghilangkan detail Mrk 10:49-50. Kemungkinan, Lukas juga bermaksud menghemat kata-kata yang ditulis atas alasan ekonomis.[3]
Markus memiliki sebuah deskripsi khusus tentang orang buta. Markus melukiskan bahwa orang buta itu menanggalkan jubahnya dan segera mendapatkan Yesus. Bagian ini merupakan konsekuensi dari gaya penulisan Markus yang hidup (inggris: vivid).[4] Gaya penulisan yang hidup seperti Markus kurang diminati oleh Matius dan Lukas. Akibatnya, Matius dan Lukas meninggalkan deskripsi pada bagian ini. Namun, Markus mendeskripsikan hal tersebut bukannya tanpa makna. Diduga, aktivitas orang buta yang menanggalkan pakainnya merupakan simbol melepaskan diri dari cara hidup lama.[5]
Setelah orang buta menghadap-Nya, Yesus menyampaikan tanggapan-Nya dengan bertanya: “Apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Pertanyaan ini kita temukan sama dalam ketiga Injil (Mat 20:32; Mrk 10:51; Luk 18:41). Sebenarnya, Yesus sudah tahu keinginan orang buta, tetapi kemungkinan besar, Yesus menginginkan supaya permintaan tersebut diutarakan oleh orang buta itu.[6] Atau kemungkinan lain, Yesus terlebih dahulu berdialog sebelum menyembuhkan agar Ia dapat berelasi secara personal dengan orang buta tersebut.[7] Pertanyaan Yesus mungkin juga menjadi cara bagi Yesus untuk memberi kekuatan bagi orang buta agar ia percaya.[8]

b)             Permohonan Orang Buta
Pada intinya, ketiga Injil melukiskan permohonan yang sama yang diajukan oleh orang buta yaitu supaya ia dapat melihat. Hanya saja, ada sebuah perbedaan antara Matius-Lukas dan Markus yaitu pada julukan yang diberikan kepada Yesus. Matius dan Lukas menggunakan seruan Tuhan, sedangkan Markus menggunakan Rabuni.
Pada Markus, kata Rabuni merupakan bentuk yang lebih tinggi daripada sekedar Rabi. Sementara itu, dalam Lukas, penyebutan kata Tuhan bertujuan untuk membandingkannya dengan ungkapan Anak Daud.[9]. Selain itu, pada dasarnya, tidak pernah Lukas menggunakan kata Rabuni untuk menunjuk kepada Yesus. Matius juga sejalan dengan Lukas yaitu ia lebih memilih kata kyrios daripada Rabuni. Dalam konteks Matius, kemungkinan besar Matius ingin menunjukkan bahwa orang buta tersebut beriman, sebab dalam Matius hanya orang yang percayalah yang memanggil Yesus dengan sebutan Tuhan.[10]
Permohonan orang buta dalam ketiga Injil hanya satu yaitu supaya ia dapat melihat. Markus menggunakan kata anablepein yang menunjuk pada konteks mendapatkan kembali pengelihatan yang pernah hilang. Di sini, Markus juga menyisipkan maksud implisit yaitu penyembuhan Bartimeus adalah penyembuhan untuk melihat baik secara fisik maupun rohani.[11] Sementara itu, Matius menghubungkan permintaan untuk melihat dengan nubuat nabi Yesaya, “Pada harinya… mata orang buta akan melihat” (Yes 29:18). Kisah ini, pada keseluruhannya sangat erat hubungannya dengan warta mesianis Yesus.

c)             Sikap Yesus dan Penyembuhan
Atas permohonan orang buta tersebut, ketiga Injil menampilkan sikap yang serupa dari Yesus yaitu mengabulkan permohonan. Hanya saja, ketiga Injil menampilkannya dengan gaya tulisan mereka masing-masing. Matius menggambarkan dengan lebih emosional. Matius melukiskan bahwa Yesus tergerak hati-Nya dan menjamah orang buta tersebut (healing touch). Ketergerakan hati Yesus, oleh Matius dilukiskan sebagai refleksi kedalaman relasi Yesus dengan orang yang disembuhkannya. Sementara, tindakan menyentuh merupakan implikasi dari karakter tulisan Matius yang lebih tertarik menampilkan Yesus yang berkarya lewat tindakan dan kata-kata.[12] Dibandingkan dua Injil lain, Matius menghilangkan detail ungkapan: “imanmu telah menyelamatkan engkau!”. Ungkapan ini, oleh Matius, diganti dengan ungkapan implisit dalam seruan orang buta (Mat 20:30 dan 20:33).
Markus dan Lukas menggunakan formula ungkapan yang sama intinya. Namun, perbedaan keduanya terletak pada ungkapan penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus. Lukas secara terang-terangan melukiskan bahwa Yesus membuat orang tersebut melihat (bdk. ay. 42). Lukas menggunakan ungkapan, “Melihatlah engkau” karena Lukas ingin menunjukkan sisi mujizat yang dilakukan oleh Yesus. Ungkapan “Melihatlah engkau” menjadi “ucapan penyembuhan” (healing word) dalam Lukas.[13]
Bila kita melihat Injil Markus, kita tidak menemukan sentuhan penyembuhan (healing touch) seperti dalam Matius maupun kata penyembuhan (healing word) dalam Lukas. Dalam Markus, Yesus hanya mengungkapkan bahwa iman Bartimeus telah menyelamatkannya. Markus menggunakan kata kerja sozein untuk menyebut kata menyelamatkan (inggris: saved). Kata kerja sozein yang digunakan Markus, sebenarnya telah merujuk pada baik penyembuhan fisik dan rohani. Ungkapan ini sejajar dengan ungkapan Yesus kepada seorang wanita yang terkena sakit pendarahan dan ia sembuh.[14]
Dalam kesatuan konteks kisah ini, penyembuhan yang dilakukan Yesus juga menjadi ungkapan implisit Yesus bahwa Ia menerima diri-Nya diakui sebagai mesias. Dengan menyembuhkan orang buta tersebut, Yesus menguatkan bahwa apa yang diserukan oleh orang buta itu bukanlah sebuah kesilapan atau kesalahan.[15]

d)            Mengikuti (Memuliakan Allah [khas Lukas])
Setelah memperoleh kesembuhan, orang tersebut langsung mengikuti Yesus. Tulisan Markus menurut terjemahan bahasa inggrisnya ialah followed him on the way. Gabungan kata mengikuti (follow) dan jalan (way) menggambarkan bahwa Bartimeus kemudian menjadi pengikut Yesus yang ikut juga pergi ke Yerusalem (meski setelah kisah ini namanya tidak lagi disebutkan).[16] Matius menggunakan secara persis istilah Markus follow dan way. Matius juga menggambarkan bahwa orang buta yang disembuhkan kemudian mengikuti Yesus dan menjadi murid-Nya.
Lukas pada intinya juga mengikuti maksud Markus. Namun, Lukas menambahkan beberapa keterangan khasnya (kemungkinan besar bersumber dari sondergut Luk) yaitu puji-pujian yang dilakukan orang yang disembuhkan dan seluruh rakyat. Mungkin ini salah satu cara Lukas untuk meyakinkan sidang pembaca bahwa Yesus sungguh-sungguh Mesias. Kita juga perlu mengingat bahwa salah satu maksud Lukas ditulis ialah untuk memberikan jaminan doktrinal akan ajaran-ajaran Yesus.[17] 

III.    Penutup
Penjabaran masing-masing ayat dalam ketiga Injil membawa kita kepada pemahaman yang lebih baik tentang: penyembuhan orang buta di Yerikho (Mat 20:29-34; Mrk 10:46-52; dan Luk 18:35-43). Kesamaan yang nampak dalam ketiga Injil sangat dipengaruhi oleh sumber acuan yang serupa yaitu Markus menjadi salah satu sumber pokok bagi Matius dan Lukas. Meskipun demikian, terkadang Matius dan Lukas melakukan beberapa redaksi untuk menyesuaikan jalan cerita dengan latar belakang serta maksud penulis Injil sendiri.
Redaksi yang dilakukan terutama oleh Matius atau Lukas, pada dasarnya tidak merubah inti cerita atau maksud keseluruhan dari kisah tersebut. Hal tersebut terlihat dalam pembagian kisah yang dapat dikenakan kepada ketiga Injil: bagian besar pertama tentang seruan orang buta dan bagian besar kedua tentang tanggapan dan penyembuhan dari Yesus.
Mengacu pada perbandingan tentang penyembuhan orang buta di Yerikho, maka akhirnya kita perlu juga mengerti perikop-perikop sinoptik lain dengan cara pandang yang komprehensif seperti dalam penjabaran di atas. Pemahaman akan latar belakang dan maksud penulis Injil sangat membantu kita dalam memahami Injil dan memahami secara benar perbedaan yang mungkin muncul. Pemahaman yang komprehensif ini pada puncaknya menghantar kita pada pengakuan bahwa Injil merupakan Sabda Allah yang diilhamkan kepada manusia. Oleh karena itu, seharusnya tidak ada lagi keraguan akan keilahian Injil hanya karena perbedaan yang belum kita mengerti secara komprehensif. Pada intinya, Injil menyampaikan pesan yang sama meskipun disampaikan dengan cara khas masing-masing penulis.
  
DAFTAR PUSTAKA

Allen, Willoughby. Critica and Exegetiacal Commentary on The Gospel According to St.Matthew. Ediburgh: T&Tgl Clarck LTD, 1983.
Bock, Darrell L. Luke Volume 2: 9:51-24:53. Michigan: Baker Books, 2002.
Boland, B.J. Tafsiran Lukas (9:51-24:53) II. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1982.
Bruner, Frederick Dale. Matthew a Commentary, vol.2, The Chuch book 13-28. Cambridge: Eerdamans Publishing Company, 2004.
Gould, Ezra P. Critica and Exegetical Commentary on The Gospel According to St. Mark. Ediburgh: T&T Clark LTD, 1983.
Harrington, Daniel J. Sacra Pagina, Vol I, The Gospel of Matthew. Minisota: The Liturgical Press, 1991.
____. Sacra Pagina, Vol II, The Gospel of Mark. Minisota: The Liturgical Press, 1991.
____. Sacra Pagina, Vol III, The Gospel of Luke. Minisota: The Litrugical Press, 1991.
LBI (Lembaga Biblika Indonesia). Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 1992.
____. Injil Markus. Yogyakarta: Kanisius, 1982.
Leks, Stefan. Tafsir Injil Markus. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Plummer, Alfred. Critica and Exegetical Commentary on The Gospel According to St. Luke. Ediburgh: T&T Clarck LTD, 1983.
Post, Walter M. Tafsiran Injil Markus. Bandung: Kalam Hidup, [tanpa tahun].
Tantiono, Paulus Toni. Injil-Injil Sinoptik. Pematangsiantar: Fakultas Filsafat UNIKA Santo Thomas, 1998 (diktat).






[1] Bdk. Paulus Toni Tantiono, Injil-Injil Sinoptik, (Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas St. Thomas, 1998), hlm.20. (diktat)
[2] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[3] Bdk. Paulus Toni Tantiono, Injil-Injil Sinoptik…,hlm.20. (diktat)
[4] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[5] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[6] Walter M.Pos, Tafsiran Injil Markus…, hlm.117.
[7] Frederick Dale Bruner, Matthew...vol.2..., hlm.350.
[8] Frederick Dale Bruner, Matthew...vol.2..., hlm.350.
[9] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Luke…, hlm.284.
[10] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Matthew..., hlm.290.
[11] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[12] Frederick Dale Bruner, Matthew...vol.2..., hlm.350.
[13] Bdk. Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[14] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[15] B.J. Boland, Tafsiran Lukas II…, hlm.179
[16] Daniel J. Harrington, Sacra Pagina...Mark…, hlm.318.
[17] Penjelasan dalam Kuliah Injil Sinoptik oleh P.Norberth Sinaga, Lic., S., Th. Pada 29 April 2015.