TANGGUNG JAWAB DALAM UCAPAN MANUSIA
Suatu Deskripsi Kritis atas Pemikiran Austin tentang
Ucapan Perfomatif
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan sistem lambang yang sangat
tertata rapi guna menyampaikan infomasi; dapat disimpan, diingat, dan diolah
dengan otak.[1]
Salah satu bentuk bahasa ialah ujaran atau ucapan. Beberapa filsuf (yang
kebanyakan beraliran analitik) telah meneliti perihal bahasa terutama ujaran
atau ucapan.
Pada periode pertama filsafat analitik
(1900-1930), ujaran dipandang sebagai bentuk ekspresi logis terhadap dunia. Pada
periode ini, ujaran dianggap “hanya” sebagai alat yang melukiskan suatu fakta
logis atau mencerminkan dunia.[2]
Pada periode berikutnya (1930-1945), bahasa mencapai tahap “positivisme logis”[3].
Pada tahap ini, verifikasi menjadi bagian penting dalam bahasa. Ujaran diakui
bermakna hanya jika dapat atau mungkin dapat diverifikasi kebenarannya
Pada periode ketiga (sejak tahun 1945) orang
tidak lagi menanyakan makna sebuah ujaran, tetapi lebih terfokus untuk
menyelidiki pemakaiannya.[4]
Salah satu tokohnya ialah Ludwig Wittgenstein atau biasa disebut Wittgenstein
II. Dengan menyadari konteks bahasa, orang dapat mengetahui bahasa tersebut
digunakan dalam cara apa. Wittgenstein II menamakan hal tersebut sebagai “permainan
bahasa”. Dalam permainan bahasa, terdapat banyak cara untuk menggunakan bahasa:
memberi perintah, melukiskan suatu obyek, melaporkan suatu, dan sebagainya.[5]
Bahkan dikatakan juga oleh Wittgenstein demikian: “Berbicara bahasa termasuk
suatu aktivitas atau suatu bentuk kehidupan.”
Fondasi “permainan bahasa” yang dibangun oleh
Wittgenstein mempengaruhi pemikiran salah satu filsuf analitik periode ketiga
yaitu John Langshaw Austin.[6]
Secara lebih radikal, Austin mengungkapkan bahwa dalam setiap tindakan ujaran,
seseorang melakukan sesuatu. Maksudnya, bahasa bukanlah sebatas penggambaran
realitas melainkan dalam bahasanya seseorang sungguh-sungguh melakukan sesuatu.[7]
Ia menjelaskan teorinya dalam sebuah buku yang terbit setelah dua tahun
kematiannya yaitu How to do thing with
words (1962).
Sumbangan Austin yang melandasi tesisnya:
“berkata berarti sungguh-sungguh melakukan sesuatu” bagi studi bahasa adalah
pembedaan yang dibuatnya antara dua jenis ujaran yaitu ujaran performatif dan
ujaran konstantif. Secara khusus, ujaran performatiflah yang dapat dikatakan
sebagai ucapan yang berarti sungguh-sungguh melakukan sesuatu.[8]
Pemahaman Austin tentang bahasa menambahkan
dimensi tanggung jawab dalam setiap ucapan yang dibuat oleh seseorang. Namun
pada prakteknya, sering terjadi bahwa apa yang dilakukan seseorang tidak sesuai
dengan apa yang ia katakan sebelumnya. Contoh konkret yang sering terjadi di
negeri kita adalah rakyat “tertipu” oleh janji oknum politikus, atau maraknya
perceraiaan yang sebenarnya diikat sebuah janji setia, atau dalam kehidupan
beragama mulai muncul perelatifan keyakinan sehingga seseorang mudah saja
meninggalkan apa yang ia percaya dan sebagainya. Dari contoh kasus tersebut,
nampak bahwa dimensi tanggung jawab dalam sebuah ucapan tidak begitu mendapat
perhatian dari pembicara.
Dalam pembahasannya tentang ujaran performatif,
Austin mengungkapkan beberapa syarat sebuah ucapan performatif menjadi laik
ucap. Berdasarkan pemahamannya, sesungguhnya ucapan seseorang dapat ditelaah
secara komprehensif. Penelaahan setiap ucapan secara komprehensif sangat
berguna baik bagi pengujar maupun pendengar agar seseorang sungguh menyadari
dimensi tanggung jawab dari setiap ujaran yang disampaikan. Bahkan dalam hidup
keagamaan, ungkapan “Saya percaya kepada Allah” pun dapat ditelaah secara
komprehensif sehingga mengandung sebuah tanggung jawab tertentu bagi pengujar.[9]
Sebagai seorang mahasiswa fakultas filsafat
yang memiliki minat pada pemikiran yang radikal, penulis sangat tertarik untuk
mengulas pemikiran Austin tentang penelaahan secara komprehensif ujaran
seseorang. Dan sebagai seorang Katolik, dengan menggunakan telaahan ujaran
performatif, penulis juga tertarik untuk menghubungkan ajaran Katolik dengan
tindakan ujaran serta meyakini bahwa setiap kepercayaan, pujian, dan doa kepada
Allah yang penulis lakukan bukan sebatas kata-kata kosong melainkan benar-benar
sebuah tindakan yang penulis lakukan.
2. Perumusan Masalah
Penulis dalam tulisan ini hendak membahas
secara khusus pemikiran Austin tentang ujaran performatif dan aplikasinya dalam
setiap ujaran yang dibuat oleh seseorang. Penulis akan mengangkat aspek
tanggung jawab dari ujaran performatif yang menurut Austin bukan sekedar ucapan
melainkan sebuah tindakan. Oleh karena itu penulis akan membatasi pembahasan
tulisan ini dengan memberi judul: Tanggung
Jawab dalam Ucapan Manusia: Suatu Deskripsi Kritis atas Pemikiran Austin
tentang Ucapan Perfomatif.
Tanggung jawab merupakan konsekuensi dari
pemikiran Austin tentang ujaran performatif. Dengan demikian seharusnya
seseorang sungguh berpikir secara masak ketika hendak mengucapkan sesuatu yang
termasuk dalam ucapan performatif. Oleh karena itu, seseorang juga harus dapat
membedakan antara ucapan performatif dan yang bukan.
Dalam tulisan ini ada beberapa pertanyaan yang
hendak penulis jawab dalam bentuk deskripsi ilmiah:
1. Siapakah John Langshaw Austin dan
apa yang dimaksud dengan ucapan konstantif dan ucapan performatif yang Austin
bedakan?
2. Apa pengaruh paham Austin tentang
ucapan performatif bagi ucapan seseorang? Bagaimana ucapan performatif dalam telaah
keagamaan terutama Katolik?
3. Apa pengaruh pemahaman Austin
tentang ucapan performatif terhadap pribadi penulis?
3. Tujuan Penulisan
Melalui penulisan ini penulis ingin mengenal
dan mendalami pemikiran Austin tentang ucapan performatif yang bukan sebatas mengungkapakan
kata-kata belaka melainkan sungguh-sungguh melakukannya. Penulis juga ingin
menunjukkan bahwa setiap ucapan seseorang senantiasa mengandung tanggung jawab
sesuai syarat-syarat kelaikan ucapan performatif. Selain itu, tulisan ini juga
merupakan tugas, Ujian Tengah Semester, sekaligus Ujian Semester penulis dalam
mata kuliah Logika dan Bahasa.
Dalam kehidupan konkret, tulisan ini juga
dimaksudkan agar para pembaca dapat
membangun pemikiran kritis terhadap setiap ucapan-ucapan yang dikatakan
oleh diri sendiri maupun orang lain. Tulisan ini mengajak para pembaca untuk
berpikir secara komprehensif ketika hendak berkata maupun ketika disuguhi
kata-kata oleh orang lain. Kemudian dalam kehidupan beragama, tulisan ini
mengajak pembaca untuk sungguh-sungguh bertanggung jawab atas apa yang
dipercayai dan untuk menghubungkan ujaran performatif dengan beberapa dasar
iman Katolik.
BAB II
AUSTIN: RIWAYAT HIDUP DAN PEMIKIRANNYA
TENTANG UCAPAN KONSTANTIF DAN UCAPAN
PERFORMATIF
1. Riwayat Hidup Jhon Langshaw
Austin
Austin lahir di Lancaster, Inggris pada 26
Maret 1911. Ia belajar filologi klasik serta Filsafat di Oxford pada tahun
1929. Pada tahun 1933, ia menerima gelar pertamanya di bidang Literae Humaniores (Klasik dan
Filsafat). Pada tahun 1935, ia menjadi pengajar di Oxford.
Selama Perang Dunia Kedua, Austin bertugas di British Intelligence Corps dan mencapai
pangkat letnan-kolonel. Kemudian, ia meninggalkan tentara pada bulan September
1945. Setelah berhenti dari tentara, Austin kembali ke Oxford dan menjadi
profesor filsafat moral pada tahun 1952. Selain itu, pada tahun yang sama, ia
mengambil peran di Oxford University Press dan menjadi Ketua Komite Keuangan di
situ pada tahun 1957. Selain itu, Austin juga pernah menjadi ketua sub-fakultas
filsafat (1953-1955), menjadi presiden untuk “Serikat Aristotelian”
(1956-1957), dan menemukan permainan kartu CASE pada tahun 1951.
Austin selama hidupnya menerbitkan sedikit
sekali buku. Sebagian besar pengaruh filsafatnya adalah melalui bentuk
pengajaran dan diskusi berkala yang diberikan dalam kalangan filosofis di
Oxford. Sesudah meninggalnya 8 Februari 1960 pada umur 48 tahun, tiga buku yang
berisi pemikirannya diterbitkan: oleh J.O. Urmson dan G.J. Warnoc Philosophical papers (1961); buku Sense and sensibilia (1962); dan How to do things with words (1962).
2. Ucapan Konstantif dan Ucapan
Performatif
Austin merupakan seorang filsuf yang memiliki
ketertarikan pada penyelidikan bahasa pergaulan yang biasa. Sejalan dengan
pemikiran Wittgenstein II, Austin menekankan bahwa penggunaan bahasa tidak
boleh dilepasakan dari situasi konkrit di mana ucapan-ucapan itu dikemukakan.[10]
Austin menampilkan gagasan baru yang belum terlalu diperhatikan oleh pemikir
analitik sebelumnya yaitu pembedaan yang dibuatnya antara performative utterance (ucapan performatif) dengan constantive utterance (ucapan-ucapan
konstantif).
Pembedaan yang Austin buat bukan saja
berdasarkan pada aspek pengucapannya, akan tetapi juga berdasarkan pada
situasi, prasyarat, dan implikasi yang ditimbulkan masing-masing jenis ucapan.[11]
Meskipun demikian, perbedaan yang ada di antara keduanya tidaklah bersifat
mutlak. Kadang kala dijumpai adanya ucapan performatif yang tidak dapat
dibedakan dengan ucapan konstantif. Namun, menurut Austin, si penutur (subyek)
dapat menjadi penentu dari sebuah ucapan apakah konstatif atau performatif.
Peran subyek yang menurut Austin menentukan, tidak terlalu dihiraukan dalam
pandangan tokoh filsafat bahasa sebelumnya misalnya Wittgenstein II.[12]
2.1 Ucapan Konstatif (Constative Utterance)
Ucapan konstatif adalah ucapan atau tuturan
yang dipergunakan ketika menggambarkan suatu keadaan faktual.[13]
Ucapan jenis ini dapat dikenakan kriteria benar atau salah. Ucapan ini dapat
diverifikasi menurut positivisme logik. Jadi, dalam setiap ucapan konstatif
terkandung suatu pernyataan yang memungkinkan pendengar untuk menguji kebenarannya
secara empiris. Beberapa contoh ucapan konstatif ialah:
1. Seluruh frater di Seminari Tinggi
Santo Petrus hadir dalam perayaan ekaristi.
2. Saya melihat pohon durian di kebun
TOR St. Markus.
3. Ada beberapa ikan yang mati di kolam
pastoran.
Pernyataan di atas merupakan sebuah
penggambaran keadaan faktual dari peristiwa yang dapat diperiksa benar atau salahnya.
Ucapan seperti itu diuji dengan melihat, menyelidiki, atau mengalami sendiri
hal-hal yang disampaikan. Atau dengan kata lain, Austin menegaskan bahwa, “pada
hakikatnya ucapan konstantif itu berarti membuat pernyataan yang isinya
mengandung acuan historis atau peristiwa nyata”.[14]
Dalam praktek hidup sehari-hari, manusia tidak
hanya dihadapkan pada ucapan yang melulu harus dapat dibuktikan secara faktual.
Ada ucapan lain, yaitu ucapan performatif. Selama ini, kebanyakan filsuf
sebelum Austin mengandaikan begitu saja bahwa ucapan yang bermakna hanyalah
ucapan yang dapat dipastikan sebagai benar atau tidak benar saja.[15]
Dengan mengemukakan pemikirannya tentang ucapan performatif, Austin ingin
menjernihkan kesalahpahaman dalam penentuan konsep makna bagi suatu ucapan.[16]
2.1 Ucapan Performatif (Performative Utterance)
Sebagai pengantar kepada pemahaman tentang
ucapan performatif, kita dapat melihat contoh sebagai berikut: (1) Saya
berjanji membayar hutang besok; (2) Saya akan memberikan dan mewariskan pakaian
saya ini kepada adik saya. Kedua kalimat di atas, secara faktual tidak dapat
diverifikasi benar atau salahnya. Berdasarkan positivisme logik, kedua kalimat itu
tidaklah bermakna. Namun, menurut Austin tidaklah demikian.
Kedua kalimat tadi pada dasarnya tidak dapat
diverifikasi karena tidak melukiskan suatu fakta apapun.[17]
Namun, menurut Austin, kedua kalimat tersebut bermakna sebab dengan mengatakan kalimat-kalimat
tersebut, seseorang telah melaksanakan sesuatu.[18]
Dengan mengatakan “saya berjanji” berarti saya melakukan sebuah perjanjian. Kedua
ucapan tadi berbeda dengan “ia berjanji membayar hutang besok” atau “kemarin
saya berjanji membayar hutang”. Kedua kalimat terakhir merupakan sebuah
pelukisan fakta atau kejadian.
Ucapan performatif mempunyai konteks maknanya
sendiri. Dalam ucapan performatif, kita tidak dapat mengenakan kualifikasi
benar atau tidak benar. Ucapan performatif hanya dapat dikatakan laik atau
tidak laik (happy or unhappy) untuk
diucapkan oleh seseorang dan dalam situasi yang tidak sembarangan.[19]
Terlihat bahwa dalam pemikiran Austin, subyek penutur ucapan performatif (dengan
berbagai konsekuensi yang terkandung di dalam isi ucapannya)[20]
sangat menentukan apakah suatu ujaran menjadi laik ucap atau tidak.
Beberapa contoh yang diberikan Austin di bawah
ini menampilkan bagaimana peranan penutur bertautan erat dengan apa yang ia
katakanya:
1. “Saya bersedia menerima wanita ini
sebagai istri yang sah”
2. “Saya namakan kapal ini Ratu
Elizabeth”
3. “Saya memberikan dan mewariskan jam
ini kepada saudara saya”[21]
Ucapan pertama hanyalah laik bila diucapkan seorang laki-laki yang belum
beristeri (menurut pandangan monogami). Sementara ucapan kedua hanyalah laik
bila diucapkan oleh orang yang memiliki saham dalam pembuatan maupun pembelian
kapal yang hendak dinamai Ratu Elizabeth tersebut. Lalu, ucapan ketiga hanya
laik dilontarkan oleh orang yang memiliki jam. Dari ketiga contoh tersebut, dapat
disimpulkan bahwa ada beberapa ciri ucapan performatif: memakai persona
pertama, berbentuk indikatif, waktu sekarang, dan aktif.[22]
Keempat ciri tadi bisa juga dikenakan bagi ucapan konstantif. Yang
membedakan keduanya ialah penekanan utama masing-masing ucapan yaitu penekanan
pada subyek dalam ucapan performatif dan penekanan pada obyek tuturan dalam
ucapan konstatif. Oleh karena itu, Austin menambahkan beberapa syarat yang
harus dipenuhi supaya suatu ucapan sungguh-sungguh bersifat performatif.
Terdapat empat syarat yang sekiranya harus dipenuhi[23],
yaitu:
1. Harus mengikuti prosedur yang lazim
berlaku dalam suatu lingkungan tertentu yang menimbulkan akibat tertentu pula.
2. Mereka yang terlibat dalam situasi
yang melingkupinya memang sudah selaiknya atau berkepentingan untuk
mengucapkannya sesuai dengan prosedur yang ditempuhnya. Dalam hal ini,
seseorang harus menyadari apakah dirinya berkompetensi untuk mengucapkan sebuah
ucapan performatif dan apakah keadaan mengizinkannya untuk mengucapkan hal
tersebut.[24]
3. Prosedur tersebut harus dilaksanakan
oleh semua pihak yang terlibat secara tepat. Dalam hal ini, sikap jujur menjadi
acuan. Pada kenyataannya, orang bisa menyalahgunakan bahasa.[25]
4. Harus dilaksanakan dengan sempurna.
Dalam hal ini, pertanggungjawaban subyek dituntut.[26]
Apabila salah satu dari keempat syarat di atas dilanggar oleh subyek, maka
ucapan tersebut bukannya salah tetapi tidak laik atau sia-sia. Hal ini
disebabkan karena ucapan performatif tidak bisa benar atau tidak bisa salah.
Ucapan performatif hanya dapat mengalami kegagalan.
Ucapan performatif yang tidak laik karena tidak mengikuti prosedur yang
lazim berlaku dalam lingkungan masyarakat tertentu, menurut Austin sama seperti
“seseorang yang kawin dengan seekor monyet, atau seorang imam yang membaptis
beberapa ekor burung penguin.”[27]
Kita tidak dapat menyalahkan tindakan mereka. Kita hanya dapat mengatakan bahwa
tindakan mereka tidak patut atau tidak laik dilakukan karena tidaklah lazim
dilakukan dalam konteks masyarakat tertentu.
Pembedaan yang dibuat oleh Austin antara ucapan konstatif dan ucapan
performatif, pada kenyataanya tidak selalu persis sesuai dengan teori yang
dibuatnya. Hal ini pun diakui oleh Austin sendiri.[28]
Dalam bab selanjutnya, penulis hendak membuat catatan kritis terhadap pemikirannya
berdasarkan beberapa buku
referensi yang ada.
Selain kekaburan dalam pembedaan kedua ucapan, pendapat Austin bahwa
ucapan performatif tidak dapat dikenakan predikat benar atau salah, seolah-olah
mereduksi unsur tanggung jawab dalam ucapan seseorang. Untuk sementara dapat
dikatakan bahwa kita tidak boleh menyalahkan oknum-oknum politisi yang tidak
menepati janji, atau tidak boleh menyalahkan orang yang murtad. Namun dalam
telaah kritis, penulis hendak mengangkat unsur tanggung jawab yang terkandung
dalam ucapan performatif dalam terang filsafat dan agama.
[1] Donald B. Calne, Batas Nalar, (Jakarta: KPG [Kepustakaaan
Populer Gramedia], 2004), hlm.48.
[2] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, (Jakarta: PT Gramedia,
1983), hlm.43.
[3] Positivisme logis menekankan bahwa
realitas pada dasarnya dapat disamakan dengan data-data inderawi. Oleh karena
itu ketika orang berbahasa/berbicara tentang sesuatu di luar data-data
inderawi, maka pembicaraannya tidak bermakna.
[4] K.Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm.139.
[5] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.50.
[6] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offset, 2001), hlm.125.
Dalam pembahasan selanjutnya nama John Langshaw Austin akan disebut Austin
saja.
[7] K.Bertens, Filsafat barat…, hlm.59.
[9] Bdk. K. Bertens, Panorama Filsafat…, hlm.152.
[10] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.58.
[11] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.126.
[12] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.127.
[13] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.127.
[14] J.L.Austin, How to Do Things With Word, (London: Oxford University Press,
1976), hlm.3.
[15] Pemikiran yang demikian diikuti oleh
para filsuf pengikut Atomisme Logik seperti Ryle dan Wttgenstein I, serta para
filsuf pengikut Positivisme Logik seperti Ayer.
[16] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.218.
[17] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.59.
[19] K. Bertens, Filsafat barat…, hlm.60.
[20] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik…, hlm.129.
[21] J.L.Austin, How to Do…, hlm.5.
[22] J.L.Austin, How to Do…, hlm.56-57. Tidak boleh dilupakan juga bahwa analisa
yang dilakukan oleh Austin berdasarkan bahasa Inggris sehingga keempat ciri
itulah yang diungkapkan.
[23] J.L.Austin, How to Do…, hlm.14-15.
[24] K. Bertens, Filsafat Barat…, hlm.59.
[25] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.
[26] Rizal
Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.131.
[27] J.L.Austin, How to Do…, hlm.54.
[28] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.