Filosofi Jawa
dalam Lakon Pewayangan
Dewa Ruci
1.
Pengantar
Kisah-kisah
pewayangan merupakan salah satu karya sastra Jawa yang berperan besar dalam
hidup atau daur hidup orang Jawa.[1]
Orang Jawa biasa menggunakan kisah pewayangan sebagai sarana mengkomunikasikan
pesan-pesan bijaksana, etika-etika Jawa, dan nilai-nilai filosofis Jawa. Selain
itu, menampilkan salah satu kisah pewayangan dipercaya dapat menghindarkan
seseorang atau keluarga dari Betara Kala
yang bisa mendatangkan ketidakberuntungan dan bahaya.[2]
Kisah pewayangan
Jawa banyak dikarang oleh pujangga-pujangga atau para mpu kerajaan Jawa pada abad pertengahan. Selain itu, terdapat pula
kisah pewayangan Jawa yang diadaptasi dari epos-epos Mahabarata dan Ramayana,
namun dengan kekhasan Jawa. Beberapa kekhasan kisah pewayangan Jawa: (1)
manusia menyelamatkan dewa, (2) menamankan nilai-nilai Jawa, (3) adanya tokoh
khas Jawa yaitu para punakawan.[3]
Salah satu kisah
pewayangan yang cukup terkenal ialah lakon Dewa Ruci. Di dalamnya tersimpan
beberapa nilai atau ajaran Jawa. Kisah ini bercerita tentang perjuangan Bima,
anak kedua keluarga Pandawa dalam usaha menemukan “air kehidupan” atau tirtapawirta.
2.
Kisah Dewa Ruci
Kisah Dewa Ruci
konon dikarang oleh seorang pujangga dari kerajaan Kediri yaitu Mpu Wijayaka atau Ajisaka pada periode
antara abad XV dan XVI.[4]
Kisah ini berlatarbelakangkan kehidupan keluarga Pandawa di Ngamarta berserta
perseteruannya dengan keluarga Kurawa di Ngastina. Latar belakang kisah ini
diambil dari epos Mahabarata.
Tokoh utama kisah
ini ialah Bima atau Bratasena atau Wrekodara. Ia adalah anak kedua dari lima
bersaudara keluarga Pandawa yang nantinya akan melakukan perjalanan mencari air
kehidupan dan bertemu dengan Dewa Ruci. Dikisahkan bahwa kisah Dewa Ruci
dimulai ketika Bima diminta oleh gurunya, Pendeta Drona untuk mencari tirtapawirta.
Bila dilihat dari
struktur jalan ceritanya, kisah Dewa Ruci terbagi ke dalam tiga bagian besar:
(1) perutusan Bima oleh Pendeta Drona yang pertama, (2) Bima kembali dari
perutusannya yang pertama, dan (3) Bima diutus kembali dan bertemu Dewa Ruci.
2.1 Perutusan
Bima yang Pertama
Ketika masih
berguru di negeri Ngastina, Bima, seorang ksatria Pandawa yang kedua disuruh
oleh gurunya Pendeta Drona untuk mencari tirtapawitra
yang dapat menyucikan dirinya. Setelah menerima tugas ini, Bima segera
kembali ke istana Ngamarta, tempat keluarga Pandawa tinggal untuk meminta restu
dari kakaknya Raja Yudhistira dan semua kerabatnya. Sesampainya Bima di
Ngamarta, semua kerabatnya mencoba membujuknya untuk mengurungkan niatnya
karena mereka mengira bahwa Bima akan mendapat bahaya besar.
Bima, sebagai
anggota Pandawa yang terkuat tidak bisa lagi dicegah. Niatnya dan kesetiaannya
kepada gurunya, serta hasratnya untuk menemukan tirtapawitra sudah tidak terpadamkan. Setelah Bima menyampaikan
segala maksud hatinya, ia dengan secepat kilat kembali ke negeri Ngastina,
negeri para Kurawa.
Di Ngastina, Raja
Duryudana sedang mengadakan pembicaraan dengan Pendeta Drona. Saat itu hadir
pula para raja yang menjadi sekutu kerajaan Ngastina. Yang menjadi pokok
pembicaraan ialah cara untuk mengalahkan kerajaan Pandawa di Ngamarta secara
halus. Mereka menyadari bahwa Bimalah tulang punggung Pandawa dan yakin bahwa
Pandawa akan menyerah dengan sendirinya apabila Bima telah mati.
Di tengah
pembicaraan itu, muncullah Bima sehingga semua yang hadir terperanjat. Setelah
salam-menyalam, Bima segera menghadap Pendeta Drona dan meminta petunjuk
darinya tentang tirtapawirta yang
katanya dapat menyucikan hidup Bima. Selain itu, air suci itu dikatakannya
dapat menjadikan Bima menguasai hidup dan ia akan mampu melindungi serta
memberi kebahagiaan kepada keluarganya,kebahagiaan yang terbesar dalam tribuana
(ketiga dunia) dan kekal adanya.
Pendeta Drona
memberitahu bahwa air suci terdapat di hutan Tikbrasara, di dalam gua di gunung
Candramuka, di bawah gunung Gadamadana. Tempat tersebut tidak pernah disentuh
oleh manusia dan Bima tidak mengetahui bahwa tempat yang akan ia tuju itu
sangat berbahaya karena dijaga oleh dua raksasa sakti. Tanpa rasa curiga, Bima
undur diri dari hadapan Raja Duryudana dan setelah itu semua orang yang hadir
bergembira karena secara tidak sengaja mereka memperoleh cara yang sangat halus
untuk melenyapkan Bima dan akhirnya keluarga Pandawa.
Bima melangkah
cepat dan akhirnya sampai di gua Candramuka. Ia mengobrak-abrik isi gua tetapi
tetap tidak menemukan air suci. Kegaduhan yang dibuatnya justru mengusik dua
raksasa sakti yang tinggal di dalam gua, Rukmaka dan Rukmakala. Sambil marah,
kedua raksasa itu menyerang Bima dengan bebatuan gunung dan menggigitnya.
Namun, karena kesaktiannya, Bima berhasil mengalahkan kedua raksasa itu yang
ternyata adalah Sang Indra dan Sang Bayu yang dikutuk oleh Sang Dewaraja atau
Betara Guru karena berbuat salah kepadanya. Hanya saja, kenyataan ini tidak
diketahui Bima.
Sampai malam tiba,
Bima tetap tidak menemukan air suci. Ia gelisah bahkan ia lebih memilih mati
daripada pulang tanpa air suci bersamanya. Di tengah kegelisahannya, Sang Dewa
Indra dan Dewa Bayu yang telah ia bebaskan dari raga Rukmaka dan Rukmakala
memberitahunya bahwa air suci tidak terdapat di hutan itu. Mereka menyuruh Bima
kembali kepada gurunya dan menanyakan tempat sesungguhnya air suci berada.
Lalu, Bima kembali.
2.2 Bima
Kembali
Pada malam itu juga
Bima kembali dan tiba di Ngastina. Ketika Bima masuk ke dalam istana, Raja
Duryudana dan raja-raja yang lain sangat terkejut. Namun mereka menyembunyikan
keterkejutan mereka dan mengucap salam kepada Bima. Kemudian, Pendeta Drona
menanyakan perihal air suci yang Bima cari. Dengan menyesal, Bima berkata bahwa
tirtapawitra tidak ada di Candramuka.
Ia justru berjumpa dengan dua raksasa jahat yang telah ia musnahkan. Bima
meminta gurunya menunjukkan letak sesungguhnya tirtapawitra agar ia tidak melakukan pekerjaan sia-sia.
Pendeta Drona
menjelaskan bahwa tindakannya yang lalu hanya sebagai ujian kesetiaan bagi
Bima. Pendeta Drona sudah mengakui bahwa muridnya terbukti memegang teguh
petunjuk dirinya. Oleh karena itu, Pendeta Drona menunjukkan tempat
sesungguhnya tirtapawitra berada. Pendeta
Drona menyuruhnya pergi ke samudera karena ia akan menemukan air suci di tengah
dasar samudera. Mendengar itu, Bima pergi dan menunjukkan kesungguhannya
berguru pada Pendeta Drona dengan mengikuti segala petunjuknya.
Sebelum Bima menuju
ke samudera, ia kembali ke Ngamarta untuk meminta restu dari Raja Yudhistira
dan kerabatnya. Di Ngamarta sendiri, keluarga Pandawa sangat gelisah karena
mereka sangat tahu bahwa Pendeta Drona memihak Ngastina dan pasti ia telah
diperintah Raja Duryudana untuk membuat Bima celaka. Mereka hendak menyusul
Bima. Namun, mereka mengundang Sri Kresna dari negeri Dwarawati untuk mendengar
nasihatnya. Sri Kresna melarang keluarga Pandawa yang hendak menjemput Bima.
Tiba-tiba Bima
muncul di hadapan para Pandawa. Keluarga Pandawa bergembira dan ingin segera
mengadakan pesta. Namun, Bima mencegah niat keluarganya karena ia berkata bahwa
ia hanya sebentar saja dan hendak pergi ke samudera untuk memperoleh air suci.
Mendengar itu, keluarga Pandawa menjadi sangat sedih dan semua memegang Bima
untuk menghalanginya pergi. Tetapi, Bima berhasil mementalkan mereka yang
menahannya dan dengan tekad yang bulat, pergi jugalah ia ke samudera.
2.3 Bima di
Samudra dan Bertemu Dewa Ruci
Singkat cerita,
Bima tiba di samudera yang bergelora begitu hebat. Ia sempat ragu-ragu
menyaksikan dahsyatnya samudera tetapi karena ia seorang kesatria, ia lebih
memilih hancur lebur di samudera daripada mundur tanpa apa-apa. Bima terjun ke
samudra, menerobosnya, dan berkali-kali pula ia hampir dihanyutkannya.
Beruntung, Bima diingatkan oleh Sang Dewata akan wasiat Djalasengara yang mampu mengatasi pengaruh air sehingga Bima
seakan-akan berjalan di daratan biasa.
Di tengah samudera
yang sunyi sepi, tiba-tiba Bima mendengar suara berisik. Ternyata, suara
tersebut berasal dari seekor naga besar yang dengan segera melilit dan hendak
membunuhnya. Kekuatannya berkali lipat dari dua raksasa sebelumnya. Bima pasrah
dan siap bila saat itu ia mati. Namun, atas bantuan Sang Dewata, Bima teringat
akan cakar Pancanaka miliknya.
Dipakainyalah cakar itu untuk mencabik-cabik si ular naga. Setelah itu, suasana
menjadi hening kembali bahkan sangat sepi. Bima sendirian di tengah samudera.
Tiba-tiba muncullah
sosok yang mirip dengannya tetapi hanya sebesar sekelingkingnya. Sosok itu
sangat sombong sikapnya. Sosok itu mengetahui segala kegundahan Bima dan juga
mengetahui namanya menurut silsilahnya. Menyadari bahwa yang ada di hadapannya
bukan sosok biasa, Bima berlaku sopan dan bersembah di hadapan sosok itu yang
ternyata adalah Sang Dewa Ruci. Seketika itu, harapan Bima menemukan tirtapawitra berkobar kembali.
Dewa Ruci menyadari
sulitnya jalan Bima yang diberi tugas tanpa tahu jalannya. Dewa Ruci berkata,
“Anakku, janganlah kamu pergi apabila belum mengetahui tempat tujuanmu.
Janganlah makan yang belum pernah kamu makan. Kamu dapat tahu sesuatu dengan
jalan bertanya atau dengan meniru. Jangan menjadi seperti orang bodoh yang
membeli emas kepada ahli emas, diberi kertas kuning disangka emas indah.”
Mendengar itu, Bima semakin ingin mendengarkan nasihat Dewa Ruci. Lalu, Dewa
Ruci menyuruhnya masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kirinya. Bima sempat
ragu-ragu, namun ia lakukan juga.
Di dalam Dewa Ruci,
Bima tidak dapat melihat sesuatu kecuali keluasan yang tak terbatas.
Sekonyong-konyong Bima berturut-turut melihat: cahaya mengkilat yakni pancamaya, catur warna, sebuah nyala
delapan warna, dan boneka gading. Setelah pengelihatan itu, Dewa Ruci
mengingatkannya untuk selalu mengabdi kepada Sang Dewata, Sang Hidup Sejati
yang berada di dunia yang sesungguhnya ada pada dirinya juga dan tak dapat
dipisahkan darinya.
Dewa Ruci
menjelaskan bahwa manusia-Dewata itu bagaikan orang bercermin. Sang Hidup
Sejati itu yang bercermin sedangkan manusia adalah bayangannya. Maka, bila
seseorang telah menyadari kesatuan itu, ia selanjutnya akan bersikap layaknya
wayang kulit yang diwayangkan oleh Sang Hidup Sejati sebagai dalang.
Dewa Ruci
menjelaskan lagi bahwa manusia itu memiliki dua macam badan: jasmani dan
rohani. Apabila badan jasmani dapat mematikan panca inderanya terhadap
godaan-godaan atau nafsu-nafsu, maka akan besar sekali faedahnya. Hal itu
menghantar kepada perpaduan jasmani dan rohani. Perpaduan keduanya menghantar
manusia memperoleh tingkatan hidup yang menyerupai Sang Maha Dewata. Badan
jasmani melahirkan keinginan dan badan rohani mengabulkannya asal tidak
berlebihan.
Perpaduan tadi
hanyalah alat yang tidak kekal, badan dapat musnah. Untuk mencapai Sang Hidup
Kekal, manusia harus dapat kosong sunyi. Caranya ialah dengan mematikan segala
kehendak yang dapat menghalangi maksud pokok manusia. Kelepasan yang demikian
amat besar artinya untuk mencapai maksud pokok manusia yakni Manunggal ing Kawula Gusti atau bersatu
padu dengan Sang Hidup Kekal. Saat itu terjadi, alam semesta berada di
tangannya karena ia menjadi pengganti Sang Dewata.
Sebagai penutup
wejangannya, Dewa Ruci berpesan kepada Bima untuk tidak mengumbar apa yang
telah ia ketahui. Sebaliknya, Bima diminta untuk menyimpannya dalam hati namun
tidak sampai melupakannya. Setelah itu ada satu pesan lagi yakni mati sarjoning urip lan urip sarjoning mati.
Setelah menerima
semua wejangan itu, Bima melihat segala sesuatu terang adanya. Segala sesuatu nampak
bersih demikian pula Bima telah menjadi suci lahir batin. Bima tidak menemukan
air suci dalam rupa air, tetapi ia menemukan tirtapawitra itu dalam arti ilmu kesunyataan atau pengetahuan yang sesungguhnya yang ia dapatkan
dari Sang Dewa Ruci.
Sebelum kembali,
Bima sadar akan maksud jahat kerajaan Ngastina yang hendak memusnahkannya. Tetapi,
ternyata cara itu pula yang dipakai Dewata untuk menyampaikan anugerah tirtapawitra kepada Bima. Akhirnya,
pulanglah bima langsung ke negerinya Ngamarta. Singkat cerita, Bima tiba dan
berkumpul kembali dengan seluruh keluarga Pandawa. Suasana yang sedih menjadi
gembira karena sang Bima telah kembali dengan selamat.
[4] Tjabang Bagian Bahasa
Djawatan Kebudajaan Kementrian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan
Jogjakarta (TBBDKKPPDJ), Kitab Dewa Rutji
, (Jogjakarta: BJB, 1958), hlm.7.