Kamis, 30 April 2015

Menemukan Nilai-nilai Hidup Orang Jawa melalui Cerita DEWA RUCI (bagian pertama)


Filosofi Jawa dalam Lakon Pewayangan
Dewa Ruci

1.        Pengantar
Kisah-kisah pewayangan merupakan salah satu karya sastra Jawa yang berperan besar dalam hidup atau daur hidup orang Jawa.[1] Orang Jawa biasa menggunakan kisah pewayangan sebagai sarana mengkomunikasikan pesan-pesan bijaksana, etika-etika Jawa, dan nilai-nilai filosofis Jawa. Selain itu, menampilkan salah satu kisah pewayangan dipercaya dapat menghindarkan seseorang atau keluarga dari Betara Kala yang bisa mendatangkan ketidakberuntungan dan bahaya.[2]
Kisah pewayangan Jawa banyak dikarang oleh pujangga-pujangga atau para mpu kerajaan Jawa pada abad pertengahan. Selain itu, terdapat pula kisah pewayangan Jawa yang diadaptasi dari epos-epos Mahabarata dan Ramayana, namun dengan kekhasan Jawa. Beberapa kekhasan kisah pewayangan Jawa: (1) manusia menyelamatkan dewa, (2) menamankan nilai-nilai Jawa, (3) adanya tokoh khas Jawa yaitu para punakawan.[3]
Salah satu kisah pewayangan yang cukup terkenal ialah lakon Dewa Ruci. Di dalamnya tersimpan beberapa nilai atau ajaran Jawa. Kisah ini bercerita tentang perjuangan Bima, anak kedua keluarga Pandawa dalam usaha menemukan “air kehidupan” atau tirtapawirta.

2.        Kisah Dewa Ruci
Kisah Dewa Ruci konon dikarang oleh seorang pujangga dari kerajaan Kediri yaitu Mpu Wijayaka atau Ajisaka pada periode antara abad XV dan XVI.[4] Kisah ini berlatarbelakangkan kehidupan keluarga Pandawa di Ngamarta berserta perseteruannya dengan keluarga Kurawa di Ngastina. Latar belakang kisah ini diambil dari epos Mahabarata.
Tokoh utama kisah ini ialah Bima atau Bratasena atau Wrekodara. Ia adalah anak kedua dari lima bersaudara keluarga Pandawa yang nantinya akan melakukan perjalanan mencari air kehidupan dan bertemu dengan Dewa Ruci. Dikisahkan bahwa kisah Dewa Ruci dimulai ketika Bima diminta oleh gurunya, Pendeta Drona untuk mencari tirtapawirta.
Bila dilihat dari struktur jalan ceritanya, kisah Dewa Ruci terbagi ke dalam tiga bagian besar: (1) perutusan Bima oleh Pendeta Drona yang pertama, (2) Bima kembali dari perutusannya yang pertama, dan (3) Bima diutus kembali dan bertemu Dewa Ruci.

2.1 Perutusan Bima yang Pertama
Ketika masih berguru di negeri Ngastina, Bima, seorang ksatria Pandawa yang kedua disuruh oleh gurunya Pendeta Drona untuk mencari tirtapawitra yang dapat menyucikan dirinya. Setelah menerima tugas ini, Bima segera kembali ke istana Ngamarta, tempat keluarga Pandawa tinggal untuk meminta restu dari kakaknya Raja Yudhistira dan semua kerabatnya. Sesampainya Bima di Ngamarta, semua kerabatnya mencoba membujuknya untuk mengurungkan niatnya karena mereka mengira bahwa Bima akan mendapat bahaya besar.
Bima, sebagai anggota Pandawa yang terkuat tidak bisa lagi dicegah. Niatnya dan kesetiaannya kepada gurunya, serta hasratnya untuk menemukan tirtapawitra sudah tidak terpadamkan. Setelah Bima menyampaikan segala maksud hatinya, ia dengan secepat kilat kembali ke negeri Ngastina, negeri para Kurawa.
Di Ngastina, Raja Duryudana sedang mengadakan pembicaraan dengan Pendeta Drona. Saat itu hadir pula para raja yang menjadi sekutu kerajaan Ngastina. Yang menjadi pokok pembicaraan ialah cara untuk mengalahkan kerajaan Pandawa di Ngamarta secara halus. Mereka menyadari bahwa Bimalah tulang punggung Pandawa dan yakin bahwa Pandawa akan menyerah dengan sendirinya apabila Bima telah mati.
Di tengah pembicaraan itu, muncullah Bima sehingga semua yang hadir terperanjat. Setelah salam-menyalam, Bima segera menghadap Pendeta Drona dan meminta petunjuk darinya tentang tirtapawirta yang katanya dapat menyucikan hidup Bima. Selain itu, air suci itu dikatakannya dapat menjadikan Bima menguasai hidup dan ia akan mampu melindungi serta memberi kebahagiaan kepada keluarganya,kebahagiaan yang terbesar dalam tribuana (ketiga dunia) dan kekal adanya.
Pendeta Drona memberitahu bahwa air suci terdapat di hutan Tikbrasara, di dalam gua di gunung Candramuka, di bawah gunung Gadamadana. Tempat tersebut tidak pernah disentuh oleh manusia dan Bima tidak mengetahui bahwa tempat yang akan ia tuju itu sangat berbahaya karena dijaga oleh dua raksasa sakti. Tanpa rasa curiga, Bima undur diri dari hadapan Raja Duryudana dan setelah itu semua orang yang hadir bergembira karena secara tidak sengaja mereka memperoleh cara yang sangat halus untuk melenyapkan Bima dan akhirnya keluarga Pandawa.
Bima melangkah cepat dan akhirnya sampai di gua Candramuka. Ia mengobrak-abrik isi gua tetapi tetap tidak menemukan air suci. Kegaduhan yang dibuatnya justru mengusik dua raksasa sakti yang tinggal di dalam gua, Rukmaka dan Rukmakala. Sambil marah, kedua raksasa itu menyerang Bima dengan bebatuan gunung dan menggigitnya. Namun, karena kesaktiannya, Bima berhasil mengalahkan kedua raksasa itu yang ternyata adalah Sang Indra dan Sang Bayu yang dikutuk oleh Sang Dewaraja atau Betara Guru karena berbuat salah kepadanya. Hanya saja, kenyataan ini tidak diketahui Bima.
Sampai malam tiba, Bima tetap tidak menemukan air suci. Ia gelisah bahkan ia lebih memilih mati daripada pulang tanpa air suci bersamanya. Di tengah kegelisahannya, Sang Dewa Indra dan Dewa Bayu yang telah ia bebaskan dari raga Rukmaka dan Rukmakala memberitahunya bahwa air suci tidak terdapat di hutan itu. Mereka menyuruh Bima kembali kepada gurunya dan menanyakan tempat sesungguhnya air suci berada. Lalu, Bima kembali.

2.2 Bima Kembali
Pada malam itu juga Bima kembali dan tiba di Ngastina. Ketika Bima masuk ke dalam istana, Raja Duryudana dan raja-raja yang lain sangat terkejut. Namun mereka menyembunyikan keterkejutan mereka dan mengucap salam kepada Bima. Kemudian, Pendeta Drona menanyakan perihal air suci yang Bima cari. Dengan menyesal, Bima berkata bahwa tirtapawitra tidak ada di Candramuka. Ia justru berjumpa dengan dua raksasa jahat yang telah ia musnahkan. Bima meminta gurunya menunjukkan letak sesungguhnya tirtapawitra agar ia tidak melakukan pekerjaan sia-sia.
Pendeta Drona menjelaskan bahwa tindakannya yang lalu hanya sebagai ujian kesetiaan bagi Bima. Pendeta Drona sudah mengakui bahwa muridnya terbukti memegang teguh petunjuk dirinya. Oleh karena itu, Pendeta Drona menunjukkan tempat sesungguhnya tirtapawitra berada. Pendeta Drona menyuruhnya pergi ke samudera karena ia akan menemukan air suci di tengah dasar samudera. Mendengar itu, Bima pergi dan menunjukkan kesungguhannya berguru pada Pendeta Drona dengan mengikuti segala petunjuknya.
Sebelum Bima menuju ke samudera, ia kembali ke Ngamarta untuk meminta restu dari Raja Yudhistira dan kerabatnya. Di Ngamarta sendiri, keluarga Pandawa sangat gelisah karena mereka sangat tahu bahwa Pendeta Drona memihak Ngastina dan pasti ia telah diperintah Raja Duryudana untuk membuat Bima celaka. Mereka hendak menyusul Bima. Namun, mereka mengundang Sri Kresna dari negeri Dwarawati untuk mendengar nasihatnya. Sri Kresna melarang keluarga Pandawa yang hendak menjemput Bima.
Tiba-tiba Bima muncul di hadapan para Pandawa. Keluarga Pandawa bergembira dan ingin segera mengadakan pesta. Namun, Bima mencegah niat keluarganya karena ia berkata bahwa ia hanya sebentar saja dan hendak pergi ke samudera untuk memperoleh air suci. Mendengar itu, keluarga Pandawa menjadi sangat sedih dan semua memegang Bima untuk menghalanginya pergi. Tetapi, Bima berhasil mementalkan mereka yang menahannya dan dengan tekad yang bulat, pergi jugalah ia ke samudera.

2.3 Bima di Samudra dan Bertemu Dewa Ruci
Singkat cerita, Bima tiba di samudera yang bergelora begitu hebat. Ia sempat ragu-ragu menyaksikan dahsyatnya samudera tetapi karena ia seorang kesatria, ia lebih memilih hancur lebur di samudera daripada mundur tanpa apa-apa. Bima terjun ke samudra, menerobosnya, dan berkali-kali pula ia hampir dihanyutkannya. Beruntung, Bima diingatkan oleh Sang Dewata akan wasiat Djalasengara yang mampu mengatasi pengaruh air sehingga Bima seakan-akan berjalan di daratan biasa.
Di tengah samudera yang sunyi sepi, tiba-tiba Bima mendengar suara berisik. Ternyata, suara tersebut berasal dari seekor naga besar yang dengan segera melilit dan hendak membunuhnya. Kekuatannya berkali lipat dari dua raksasa sebelumnya. Bima pasrah dan siap bila saat itu ia mati. Namun, atas bantuan Sang Dewata, Bima teringat akan cakar Pancanaka miliknya. Dipakainyalah cakar itu untuk mencabik-cabik si ular naga. Setelah itu, suasana menjadi hening kembali bahkan sangat sepi. Bima sendirian di tengah samudera.
Tiba-tiba muncullah sosok yang mirip dengannya tetapi hanya sebesar sekelingkingnya. Sosok itu sangat sombong sikapnya. Sosok itu mengetahui segala kegundahan Bima dan juga mengetahui namanya menurut silsilahnya. Menyadari bahwa yang ada di hadapannya bukan sosok biasa, Bima berlaku sopan dan bersembah di hadapan sosok itu yang ternyata adalah Sang Dewa Ruci. Seketika itu, harapan Bima menemukan tirtapawitra berkobar kembali.
Dewa Ruci menyadari sulitnya jalan Bima yang diberi tugas tanpa tahu jalannya. Dewa Ruci berkata, “Anakku, janganlah kamu pergi apabila belum mengetahui tempat tujuanmu. Janganlah makan yang belum pernah kamu makan. Kamu dapat tahu sesuatu dengan jalan bertanya atau dengan meniru. Jangan menjadi seperti orang bodoh yang membeli emas kepada ahli emas, diberi kertas kuning disangka emas indah.” Mendengar itu, Bima semakin ingin mendengarkan nasihat Dewa Ruci. Lalu, Dewa Ruci menyuruhnya masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kirinya. Bima sempat ragu-ragu, namun ia lakukan juga.
Di dalam Dewa Ruci, Bima tidak dapat melihat sesuatu kecuali keluasan yang tak terbatas. Sekonyong-konyong Bima berturut-turut melihat: cahaya mengkilat yakni pancamaya, catur warna, sebuah nyala delapan warna, dan boneka gading. Setelah pengelihatan itu, Dewa Ruci mengingatkannya untuk selalu mengabdi kepada Sang Dewata, Sang Hidup Sejati yang berada di dunia yang sesungguhnya ada pada dirinya juga dan tak dapat dipisahkan darinya.
Dewa Ruci menjelaskan bahwa manusia-Dewata itu bagaikan orang bercermin. Sang Hidup Sejati itu yang bercermin sedangkan manusia adalah bayangannya. Maka, bila seseorang telah menyadari kesatuan itu, ia selanjutnya akan bersikap layaknya wayang kulit yang diwayangkan oleh Sang Hidup Sejati sebagai dalang.
Dewa Ruci menjelaskan lagi bahwa manusia itu memiliki dua macam badan: jasmani dan rohani. Apabila badan jasmani dapat mematikan panca inderanya terhadap godaan-godaan atau nafsu-nafsu, maka akan besar sekali faedahnya. Hal itu menghantar kepada perpaduan jasmani dan rohani. Perpaduan keduanya menghantar manusia memperoleh tingkatan hidup yang menyerupai Sang Maha Dewata. Badan jasmani melahirkan keinginan dan badan rohani mengabulkannya asal tidak berlebihan.
Perpaduan tadi hanyalah alat yang tidak kekal, badan dapat musnah. Untuk mencapai Sang Hidup Kekal, manusia harus dapat kosong sunyi. Caranya ialah dengan mematikan segala kehendak yang dapat menghalangi maksud pokok manusia. Kelepasan yang demikian amat besar artinya untuk mencapai maksud pokok manusia yakni Manunggal ing Kawula Gusti atau bersatu padu dengan Sang Hidup Kekal. Saat itu terjadi, alam semesta berada di tangannya karena ia menjadi pengganti Sang Dewata.
Sebagai penutup wejangannya, Dewa Ruci berpesan kepada Bima untuk tidak mengumbar apa yang telah ia ketahui. Sebaliknya, Bima diminta untuk menyimpannya dalam hati namun tidak sampai melupakannya. Setelah itu ada satu pesan lagi yakni mati sarjoning urip lan urip sarjoning mati.
Setelah menerima semua wejangan itu, Bima melihat segala sesuatu terang adanya. Segala sesuatu nampak bersih demikian pula Bima telah menjadi suci lahir batin. Bima tidak menemukan air suci dalam rupa air, tetapi ia menemukan tirtapawitra itu dalam arti ilmu kesunyataan atau pengetahuan yang sesungguhnya yang ia dapatkan dari Sang Dewa Ruci.
Sebelum kembali, Bima sadar akan maksud jahat kerajaan Ngastina yang hendak memusnahkannya. Tetapi, ternyata cara itu pula yang dipakai Dewata untuk menyampaikan anugerah tirtapawitra kepada Bima. Akhirnya, pulanglah bima langsung ke negerinya Ngamarta. Singkat cerita, Bima tiba dan berkumpul kembali dengan seluruh keluarga Pandawa. Suasana yang sedih menjadi gembira karena sang Bima telah kembali dengan selamat.




[1] Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa, (Jakarta: CV Haji Masagung, 1999), hlm. 41.
[2] Sri Mulyono, Wayang dan Filsafat Nusantara, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hlm 79.
[3] Sri Mulyono, Wayang dan…, hlm. 21.
[4] Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudajaan Kementrian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan Jogjakarta (TBBDKKPPDJ), Kitab Dewa Rutji , (Jogjakarta: BJB, 1958), hlm.7.

6 komentar:

  1. Luar bias falsafah jawa suka sekali tulisannya
    Suwun

    BalasHapus
  2. Luar bias falsafah jawa suka sekali tulisannya
    Suwun

    BalasHapus
  3. trimakasih sudah membaca... semoga bermanfaat

    BalasHapus
  4. Sungguh sangat luar biasa ajaran Jawa. Inilah tasawuf Islam Nusantara.
    wwww.saifuddinaman.com

    BalasHapus
  5. Setuju banget komen bung Saifuddin Aman.Tasawuf Islam Nusantara. Boleh nengok ke webnya ya bung..

    BalasHapus