Kamis, 07 Mei 2015

Menemukan Nilai-nilai Hidup Orang Jawa melalui Cerita DEWA RUCI (bagian Kedua)

Filosofi Jawa dalam Lakon Pewayangan
Dewa Ruci

3.      Nilai-Nilai Implisit dalam Kisah Dewa Ruci
Perjalanan panjang Bima untuk menemukan tirtapawitra kaya akan nilai-nilai yang berguna bagi hidup. Memang terdapat nilai yang secara eksplisit disampaikan oleh tokoh di dalamnya namun ada pula nilai-nilai di balik pristiwa yang secara terang-terangan diceritakan. Nilai-nilai yang implisit itu dapat ditemukan dengan cara mendalami simbol-simbol yang ada di dalam cerita.

3.1 Nilai Pedagogis
Dalam kisah Dewa Ruci, kita menemukan pola relasi guru-murid dalam tokoh Pendeta Drona dan Bima. Pola relasi ini bermakna bahwa setiap orang membutuhkan seorang guru atau secara lebih sederhana yakni orang yang dapat ditirunya atau menjadi pribadi untuk belajar. Hal ini juga ditekankan oleh Dewa Ruci pada Bima saat pembicaraan mereka di samudera: “Kamu dapat tahu sesuatu dengan jalan bertanya atau dengan meniru. Jangan menjadi seperti orang bodoh yang membeli emas kepada ahli emas, diberi kertas kuning disangka emas indah.”
Dalam kisah ini kita dapat pula menangkap bahwa seorang guru bertanggung jawab menghantar siswanya menemukan Sang Guru Utama dan menemukan yang terbaik bagi mereka.[1] Ungkapan Sang Indra dan Sang Bayu yang mengatakan bahwa air suci itu ada menunjukkan bahwa Pendeta Drona sebagai guru mengajarkan yang tepat. Jadi seorang guru harus mengajarkan apa yang benar dan jangan sampai menyesatkan muridnya. Kenyataan bahwa Drona tidak memberi tahu tempat sesungguhnya menekankan bahwa selalu ada proses dalam belajar. Dalam kisah Dewa Ruci, Pendeta Drona telah berhasil menjadi guru yang baik yaitu mampu menghantar Bima menemukan sendiri Sang Guru Utama dan ilmu kesempurnaan.

3.2 Nilai Kedisiplinan dan Kesetiaan
Dalam kisah Dewa Ruci, Bima memegang teguh janji kepada sang guru. Meskipun berat dan banyak sekali rintangan, Bima lebih memilih mati daripada tidak menepati janjinya. Dalma hal ini, kesetiaan dijunjung tinggi oleh Bima. Kesetiaan Bima ternyata diuji juga oleh gurunya Pendeta Drona dan ia berhasil melalui ujian kesetiaan itu. Kesetiaan Bima untuk mengikuti segala petunjuk gurunya juga melambangkan disiplin kesempurnaan. Disiplin yang sempurna pada akhirnya menghantar seseorang kepada apa yang didambakan yang dilambangkan dengan tirtapawitra.

3.3 Nilai Etika
Dalam etika Jawa, kisah Dewa Ruci mengandung nilai-nilai yang berharga. Kisah ini mengajarkan bahwa sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang sesungguhnya justru ada di dalam ciptaannya sendiri. Hal ini terlihat dari perjalanan Bima yang jauh namun pada akhirnya ia menemukan semua jawaban justru dalam dirinya sendiri yang dipersonifikasikan dalam rupa Dewa Ruci. Selain itu, setiap perjuangan Bima memiliki makna sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil bila dilakukan dengan sungguh-sungguh.[2]
Dalam kitab aslinya, percakapan tokoh-tokoh yang ada menunjukkan sopan santun yang tinggi. Bima tatkala berbicara dengan guru atau orang yang lebih tua darinya, terlebih lagi ketika berbicara dengan dewata akan menggunakan bahasa yang dalam teks asli jawa yakni krama inggil. Hal itu berbeda sekali ketika Bima berbicara dengan dua raksasa, ia berbicara dengan bahasa sehari-hari. Hal ini ingin mengatakan bahwa etika sopan santun harus disesuaikan dalam kondisi tertentu.

3.4 Nilai Religius
Kisah Dewa Ruci mencirikan patheisme yang kuat. Kisah ini mengingatkan manusia bahwa yang ilahi dan yang dicipatakan itu satu adanya. Semuanya berasal dari satu sumber yang sama yang memiliki hidupnya seperti sebuah pipa-pipa kecil yang memperoleh air dari satu pipa yang utama. Semuanya mengalir dari yang satu atau mirip dengan prinsip emanasi, neo-platonisme.
Kisah ini menekankan pentingnya mematikan kehendak agar dapat menjadi kosong dan sunyi. Selebihnya yang dapat dilakukan manusia adalah pasrah kepada Sang Hidup yang ada di dalam dia dan dia berada di dalam Sang Hidup. Pandangan religius ini sama seperti sebuah paradoks jawa demikian: curiga manjing warangka lan warangka manjing curiga, artinya keris memasuki sarung dan sarung memasuki keris.[3]

3.5 Nilai Filosofis dan Teleologis
Kisah perjalanan Bima sebenarnya bermakna sebagai perjalanan Bima mengalahkan hawa nafsu dan keinginan-keinginannya untuk mendapat air suci. Perjalanannya ke gunung Candramuka dan mengalahkan raksasa bermakna Bima berhasil mengalahkan hawa nafsunya.[4] Candramuka berarti gambaran mata, hidung, mulut, telinga yang merupakan pintu bagi segala keinginan.
Hal itu diperteguh oleh ungkapan mati sarjoning urip lan urip sarjoning mati, artinya mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati. Wejangan ini menekankan bahwa selama orang masih hidup, nafsu yang mendorong seseorang untuk berbuat jahat harus dipadamkan. Kemudian ketika orang mati untuk nafsu, ia akan mendapat hidup yang satu padu dengan Sang Hidup.[5]
Melihat keseluruhan cerita, ada satu inti yang ingin ditekankan yaitu semua mengarah kepada Manunggal ing Kawula Gusti, kesatuan yang menerima dan yang memberi hidup. Inilah inti teleologis Jawa.[6] Dalam adegan Bima memasuki Dewa Ruci dan melihat seluas segala kenyataan, di sana ditekankan bahwa makrokosmos ada di dalam mikrokosmos sendiri. Perjalanan jauh Bima justru berakhir dalam dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan nilai rohani atau kebatinan lebih diutamakan dibandingkan yang jasmani. Bila seseorang mencapai Manunggal ing Kawula Gusti, ia akan menjadi suci seperti Bima. Dalam istilah Yunani hal ini sama dengan eudaimonia, tetapi eudaimonia-nya Jawa.[7]

2.      Refleksi Kritis
Kisah Dewa Ruci menekankan pentingnya olah batin dan sangat jarang atau hampir tidak pernah menyinggung olah raga. Bahkan, raga dianggap sebagai pintu gerbang nafsu yang harus dimatikan. Paham ini secara ekstrim mengakibatkan hilangnya daya kreasi manusia karena ia hanya terfokus pada kedalaman diri sendiri. Namun harus diakui pula bahwa olah batin itu baik sejauh diimbangi dengan olah raga lewat karsa, kerja, dan karya. Istilah latin ora et labora sekiranya dapat diterapkan dalam olah kebatinan manusia.
Kisah ini mengandung pula pemikiran dualism Plato yaitu adanya ralitas yang asli dan yang bayang-bayang. Kisah ini menekankan bahwa rohlah yang aseli sedangkan tubuh adalah cerminan dari yang asli. Prinsip ini sangat baik karena penerapannya ialah orang tidak hanya hidup menurut kehendak badan yang bukan sunyata. Prinsip ini mengantar manusia khususnya Jawa kepada pengetahuan akan adanya hal yang lebih luhur daripada yang kelihatan sejara inderawi.
Hampir keseluruhan nilai dari kisah ini bersifat praktis. Nilai yang disampaikan ialah nilai yang dapat langsung dipraktikan dalam hidup sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa olah batin yang baik membuat relasi etis orang dengan yang lain semakin baik (tata karma harus dijunjung tinggi), walaupun dampaknya membuat orang kurang tertarik pada dunia di luar diri. Anggapan bahwa semua ada dalam aku membuat orang merasa bahwa mengetahui diri sendiri sudah cukup. Padahal kenyataannya, daya kreasi manusia juga membangun perkembangan dunia.
Akibat positif sikap batin demikian ialah dijunjungtingginya prinsip keharmonisan antara jagad gede (makrokosmos) dengan jagad cilik (mikrokosmos). Hal ini nampak pada kecenderungan yang menjunjung tinggi rasa demi terciptanya tentrem ing manah (tentram di batin). Aplikasinya ialah sikap menghindari konflik demi harmoni. Hal negatifnya ialah kurangnya kontrol sesame sebab lebih mementingkan harmoni.
Terakhir, pemahaman tentang Manunggal ing Kawula Gusti membuat tak terpisahkannya yang mencipta dan yang diciptakan. Hal ini berbahaya ketika jatuh kepada pantheisme yang cenderung kepada atheism. Dalam salah satu buku yaitu Wirid Hidayat Jati, ada sebuah ungkapan demikian: “aku menyaksikan zatku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali aku.”[8] Paham Manunggal ing Kawula Gusti, bila ditangkap salah akan menghantar orang kepada atheisme.
Mengutip penjelasan Dr. Franz Magnis Suseno, paham Manunggal ing Kawula Gusti harus dimengerti sebagai kesadaran bahwa manusia tidak bisa mencapai kesunyataan dengan usaha sendiri misalnya dengan bersamadi atau berlaku tapa puasa. Dalam kisah ini, peran Dewa Ruci sangat besar karena dialah yang menyingkapkan segala pengetahuan kepada Bima. Lebih tepatnya, usaha ini berarti membiarkan Yang Ilahi menganugerahkan dirinya (wahyu) dan manusia membiarkan dirinya dituntun oleh keilahian Yang Ilahi. Manunggal ing Kawula Gusti merupakan karunia Yang Ilahi, bukan hasil usaha sendiri.[9]






[1] TBBDKKPPDJ, Kitab Dewa Rutji…, hlm.19.
[2] S. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung, (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm.122.
[3] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm. 126.
[4] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm. 131.
[5] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 133.
[6] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa…, hlm. 133.
[7] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa…, hlm.128.
[8] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa…, hlm.120.
[9] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm.125.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar