Filosofi Jawa dalam Lakon Pewayangan
Dewa Ruci
3.
Nilai-Nilai Implisit dalam Kisah Dewa Ruci
Perjalanan panjang
Bima untuk menemukan tirtapawitra
kaya akan nilai-nilai yang berguna bagi hidup. Memang terdapat nilai yang
secara eksplisit disampaikan oleh tokoh di dalamnya namun ada pula nilai-nilai
di balik pristiwa yang secara terang-terangan diceritakan. Nilai-nilai yang
implisit itu dapat ditemukan dengan cara mendalami simbol-simbol yang ada di
dalam cerita.
3.1
Nilai Pedagogis
Dalam kisah Dewa
Ruci, kita menemukan pola relasi guru-murid dalam tokoh Pendeta Drona dan Bima.
Pola relasi ini bermakna bahwa setiap orang membutuhkan seorang guru atau
secara lebih sederhana yakni orang yang dapat ditirunya atau menjadi pribadi
untuk belajar. Hal ini juga ditekankan oleh Dewa Ruci pada Bima saat
pembicaraan mereka di samudera: “Kamu dapat tahu sesuatu dengan jalan bertanya
atau dengan meniru. Jangan menjadi seperti orang bodoh yang membeli emas kepada
ahli emas, diberi kertas kuning disangka emas indah.”
Dalam kisah ini
kita dapat pula menangkap bahwa seorang guru bertanggung jawab menghantar
siswanya menemukan Sang Guru Utama dan menemukan yang terbaik bagi mereka.[1]
Ungkapan Sang Indra dan Sang Bayu yang mengatakan bahwa air suci itu ada
menunjukkan bahwa Pendeta Drona sebagai guru mengajarkan yang tepat. Jadi
seorang guru harus mengajarkan apa yang benar dan jangan sampai menyesatkan
muridnya. Kenyataan bahwa Drona tidak memberi tahu tempat sesungguhnya
menekankan bahwa selalu ada proses dalam belajar. Dalam kisah Dewa Ruci, Pendeta
Drona telah berhasil menjadi guru yang baik yaitu mampu menghantar Bima
menemukan sendiri Sang Guru Utama dan ilmu kesempurnaan.
3.2
Nilai Kedisiplinan dan Kesetiaan
Dalam kisah Dewa
Ruci, Bima memegang teguh janji kepada sang guru. Meskipun berat dan banyak
sekali rintangan, Bima lebih memilih mati daripada tidak menepati janjinya.
Dalma hal ini, kesetiaan dijunjung tinggi oleh Bima. Kesetiaan Bima ternyata
diuji juga oleh gurunya Pendeta Drona dan ia berhasil melalui ujian kesetiaan
itu. Kesetiaan Bima untuk mengikuti segala petunjuk gurunya juga melambangkan
disiplin kesempurnaan. Disiplin yang sempurna pada akhirnya menghantar
seseorang kepada apa yang didambakan yang dilambangkan dengan tirtapawitra.
3.3
Nilai Etika
Dalam etika Jawa,
kisah Dewa Ruci mengandung nilai-nilai yang berharga. Kisah ini mengajarkan
bahwa sura dira jayaningrat lebur dening
pangastuti, artinya sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau
musuh yang sesungguhnya justru ada di dalam ciptaannya sendiri. Hal ini
terlihat dari perjalanan Bima yang jauh namun pada akhirnya ia menemukan semua
jawaban justru dalam dirinya sendiri yang dipersonifikasikan dalam rupa Dewa
Ruci. Selain itu, setiap perjuangan Bima memiliki makna sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil
bila dilakukan dengan sungguh-sungguh.[2]
Dalam kitab
aslinya, percakapan tokoh-tokoh yang ada menunjukkan sopan santun yang tinggi.
Bima tatkala berbicara dengan guru atau orang yang lebih tua darinya, terlebih
lagi ketika berbicara dengan dewata akan menggunakan bahasa yang dalam teks
asli jawa yakni krama inggil. Hal itu
berbeda sekali ketika Bima berbicara dengan dua raksasa, ia berbicara dengan
bahasa sehari-hari. Hal ini ingin mengatakan bahwa etika sopan santun harus
disesuaikan dalam kondisi tertentu.
3.4
Nilai Religius
Kisah Dewa Ruci mencirikan
patheisme yang kuat. Kisah ini mengingatkan manusia bahwa yang ilahi dan yang
dicipatakan itu satu adanya. Semuanya berasal dari satu sumber yang sama yang
memiliki hidupnya seperti sebuah pipa-pipa kecil yang memperoleh air dari satu
pipa yang utama. Semuanya mengalir dari yang satu atau mirip dengan prinsip
emanasi, neo-platonisme.
Kisah ini
menekankan pentingnya mematikan kehendak agar dapat menjadi kosong dan sunyi.
Selebihnya yang dapat dilakukan manusia adalah pasrah kepada Sang Hidup yang
ada di dalam dia dan dia berada di dalam Sang Hidup. Pandangan religius ini
sama seperti sebuah paradoks jawa demikian: curiga
manjing warangka lan warangka manjing curiga, artinya keris memasuki sarung
dan sarung memasuki keris.[3]
3.5
Nilai Filosofis dan Teleologis
Kisah perjalanan
Bima sebenarnya bermakna sebagai perjalanan Bima mengalahkan hawa nafsu dan
keinginan-keinginannya untuk mendapat air suci. Perjalanannya ke gunung
Candramuka dan mengalahkan raksasa bermakna Bima berhasil mengalahkan hawa
nafsunya.[4]
Candramuka berarti gambaran mata, hidung, mulut, telinga yang merupakan pintu
bagi segala keinginan.
Hal itu diperteguh
oleh ungkapan mati sarjoning urip lan
urip sarjoning mati, artinya mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati.
Wejangan ini menekankan bahwa selama orang masih hidup, nafsu yang mendorong
seseorang untuk berbuat jahat harus dipadamkan. Kemudian ketika orang mati
untuk nafsu, ia akan mendapat hidup yang satu padu dengan Sang Hidup.[5]
Melihat keseluruhan
cerita, ada satu inti yang ingin ditekankan yaitu semua mengarah kepada Manunggal ing Kawula Gusti, kesatuan
yang menerima dan yang memberi hidup. Inilah inti teleologis Jawa.[6]
Dalam adegan Bima memasuki Dewa Ruci dan melihat seluas segala kenyataan, di
sana ditekankan bahwa makrokosmos ada di dalam mikrokosmos sendiri. Perjalanan
jauh Bima justru berakhir dalam dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan nilai
rohani atau kebatinan lebih diutamakan dibandingkan yang jasmani. Bila
seseorang mencapai Manunggal ing Kawula
Gusti, ia akan menjadi suci seperti Bima. Dalam istilah Yunani hal ini sama
dengan eudaimonia, tetapi eudaimonia-nya Jawa.[7]
2.
Refleksi Kritis
Kisah Dewa Ruci
menekankan pentingnya olah batin dan sangat jarang atau hampir tidak pernah
menyinggung olah raga. Bahkan, raga dianggap sebagai pintu gerbang nafsu yang
harus dimatikan. Paham ini secara ekstrim mengakibatkan hilangnya daya kreasi
manusia karena ia hanya terfokus pada kedalaman diri sendiri. Namun harus
diakui pula bahwa olah batin itu baik sejauh diimbangi dengan olah raga lewat
karsa, kerja, dan karya. Istilah latin ora
et labora sekiranya dapat diterapkan dalam olah kebatinan manusia.
Kisah ini
mengandung pula pemikiran dualism Plato yaitu adanya ralitas yang asli dan yang
bayang-bayang. Kisah ini menekankan bahwa rohlah yang aseli sedangkan tubuh
adalah cerminan dari yang asli. Prinsip ini sangat baik karena penerapannya
ialah orang tidak hanya hidup menurut kehendak badan yang bukan sunyata. Prinsip ini mengantar manusia
khususnya Jawa kepada pengetahuan akan adanya hal yang lebih luhur daripada
yang kelihatan sejara inderawi.
Hampir keseluruhan
nilai dari kisah ini bersifat praktis. Nilai yang disampaikan ialah nilai yang
dapat langsung dipraktikan dalam hidup sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa
olah batin yang baik membuat relasi etis orang dengan yang lain semakin baik
(tata karma harus dijunjung tinggi), walaupun dampaknya membuat orang kurang
tertarik pada dunia di luar diri. Anggapan bahwa semua ada dalam aku membuat
orang merasa bahwa mengetahui diri sendiri sudah cukup. Padahal kenyataannya,
daya kreasi manusia juga membangun perkembangan dunia.
Akibat positif
sikap batin demikian ialah dijunjungtingginya prinsip keharmonisan antara jagad gede (makrokosmos) dengan jagad cilik (mikrokosmos). Hal ini nampak
pada kecenderungan yang menjunjung tinggi rasa demi
terciptanya tentrem ing manah
(tentram di batin). Aplikasinya ialah sikap menghindari konflik demi harmoni.
Hal negatifnya ialah kurangnya kontrol sesame sebab lebih mementingkan harmoni.
Terakhir, pemahaman
tentang Manunggal ing Kawula Gusti
membuat tak terpisahkannya yang mencipta dan yang diciptakan. Hal ini berbahaya
ketika jatuh kepada pantheisme yang cenderung kepada atheism. Dalam salah satu
buku yaitu Wirid Hidayat Jati, ada sebuah ungkapan demikian: “aku menyaksikan
zatku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali aku.”[8]
Paham Manunggal ing Kawula Gusti,
bila ditangkap salah akan menghantar orang kepada atheisme.
Mengutip penjelasan
Dr. Franz Magnis Suseno, paham Manunggal
ing Kawula Gusti harus dimengerti sebagai kesadaran bahwa manusia tidak
bisa mencapai kesunyataan dengan usaha
sendiri misalnya dengan bersamadi atau berlaku tapa puasa. Dalam kisah ini,
peran Dewa Ruci sangat besar karena dialah yang menyingkapkan segala
pengetahuan kepada Bima. Lebih tepatnya, usaha ini berarti membiarkan Yang
Ilahi menganugerahkan dirinya (wahyu) dan manusia membiarkan dirinya dituntun
oleh keilahian Yang Ilahi. Manunggal ing
Kawula Gusti merupakan karunia Yang Ilahi, bukan hasil usaha sendiri.[9]
[5] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 133.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar