Minggu, 22 Maret 2015

Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab maka aku ada)



Kutemukan Allah dan Tanggung Jawabku dalam Wajah Sesamaku
Sebuah Ulasan Pemikiran Emmanuel Levinas


1.  Pendahuluan
     Membahas tentang seorang filsuf tidak akan pernah dapat lepas dari filsafat. Filsafat sendiri berarti mencitai kebijaksanaan, bila dilihat dari asal kata Yunaninya yaitu filosofia, dari kata kerja filosofein.[1] Maka seorang filsuf dapat dikatakan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan.
     Penjelasan di atas merupakan arti filsafat secara etimologis. Sebatas itu pengertian masih sempit. Secara luas definisi filsafat beragam, namun penulis hendak menggunakan salah satu definisinya yaitu usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati.[2] Jadi seorang filsuf ialah seorang yang aktif melakukan sebuah usaha memeroleh pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati dengan akalnya.
     Filsafat telah berkembang dari masa ke masa. Pertama ialah masa kuno (600-an SM – abad VI). Kedua ialah filsafat abad pertengahan (abad VII – XV), kemudian filsafat modern (abad XVI – XVIII) dan filsafat abad ke-19 dan ke-20. Dari rentan masa itu muncullah filsuf-filsuf yang berpengaruh pada masa mereka masing-masing.
     Pada masa filsafat kuno antara lain Sokrates, Plato dan Aristoteles. Pada masa filsafat pertengahan antara lain Johanes Scotus, Thomas Aquinas dan Nicolaus Causanus. Pada masa modern antara lain Blaise Pascal, Imanuel Kant dan Friedrich Nietzsche. Kemudian pada masa abad ke-19 dan 20 antara lain Jean Francoi, Michel Foucault dan Emmanuel Levinas. Nama terakhirlah yang secara mendalam akan dicoba untuk diuraikan oleh penulis. Siapa dia? Bagaimana atau apa pemikirannya? Dan apa aplikasi pemikirannya bagi hidup?




2.  Kisah Hidup dan Garis  Besar Pemikiran Filosofis Emmanuel Levinas

     2.1  Kisah Hidup Emmanuel Levinas
Emmanuel Levinas[3] ialah seorang keturunan Yahudi yang lahir pada tahun 1906 di Kaunas, Lituania. Ia dibesarkan dengan ajaran Alkitab Ibrani dan karya pengarang-pengarang klasik Rusia, Tolstoi dan Puschkin. Beberapa tahun ia disekolahkan di Ukraina meskipun pada akhirnya ia menyelesaikan sekolah menengah di Kaunas, tempat ia lahir.
Tahun 1923, ia menjadi mahasiswa di Universitas Strasbourgh di Prancis. Pada tahun 1928/1929 ia sempat belajar pada Husserl, pendiri fenomenologi.[4] Pada tahun 1930 ia menyelesaikan studinya dengan disertasi La theorie de l’intuition dans la phenomenlogue de Husserl (Teori tentan intuisi dalam fenomenologi Husserl).
Pada tahun 1940 sampai akhir masa perang PD II ia menjadi tahanan perang di Jerman. Pada masa itu Nazisme tengah berlangsung dimana jutaan orang Yahudi dibantai secara massal. Peristiwa itu meninggalkan luka yang pedas dalam jiwa Levinas bahkan ia juga mengungkapkan bahwa pada waktu itu Yesaya 53 tentang hamba Yahwe yang menderita sungguh menjadi kenyataan.
Seusai perang, Levinas menjadi direktur lembaga yang mendidik guru-guru bahasa Perancis bagi sekolah-sekolah Yahudi di kawasan Laut Tengah. Saat itu pula Levinas mulai memperdalam pengetahuannya tentang talmud.[5] Pada tahun 1961, Levinas menerbitkan buku Totalite et Infini (Totalitas dan tak berhingga) yang secara umum disambut sebagai sebuah karya filosofis yang sangat original. Setelah itu pula ia memeproleh gelar “doktor negara”.
Setelah tahun 1961, Levinas tetap menghasilkan buku-buku berisikan pemikiran filosofisnya. Mereka adalah Humanisme Manusia Lain (1972), Autrement qu’etre ou au-de la de l’essence (1974), Tentang Allah yang Sampai pada Pikiran (1982) dan Etika & tak berhingga (1982).




     2.2  Pemikiran Filosofis Emmanuel Levinas
            2.2.1 Wajah
Levinas adalah seorang fenomolog,[6] namun pemikirannya secara tradisional tidak termasuk fenomenologi. Ia melahirkan fenomenologi gaya baru dengan membuka suatu dimensi baru yaitu dimensi etis.
Pemikiran Levinas dituangkannya dalam buku Totalitas dan Tak Berhingga. Bagi Levinas istilah totalitas bernada negatif dimana totalitas menempatkan ‘ego” sebagai pusat. Totalitas mengartikan ada dengan kesadaran yang mengkonstituir diri sendiri. Yang lain ada karena dan bagi kesadaran diri (ego). Tanpa “ego” berarti yang lain tidak ada.
Totalitas itu yang juga digunakan oleh para fenomolog-fenomolog seperti Husserl didobrak oleh “Yang Tak Berhingga”. Tak berhingga dimaksudkan sebagai suatu relitas yang secara prinsipal tidak mungkin dimasukkan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan “ego”. Yang tak berhingga menurut Levinas ialah orang lain. Totalitas itu langsung hancur dalam perjumpaan dengan orang lain. Levinas menyebut “wajah” sebagai istilah filosofis yang baru akan pengalaman itu.
Penampakan wajah sesama merobohkan egoisme seseorang. Wajah menurut Levinas bukanlah suatu hal fisis atau empiris. Yang ia maksudkan ialah wajah dalam keadaan telanjang, polos, tanpa suatu konteks.
Penampakan wajah merupakan suatu kejadian etis. Inilah suatu kekhasan dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa seseorang untuk tidak boleh tinggal tidak acuh. Ia mewajibkan seseorang. Ia menghimbau seseorang untuk membuka hati, mempraktikkan keadilan dan kebaikan. Wajah memanggil seseorang untuk bertanggung jawab. Himbauan wajah pada pokoknya ialah “jangan membunuh”. Ketika Kain bertanya, “apakah aku penjaga adikku?, maka penampilan wajah mewajibkan Kain menjadi penjaga saudaranya.
Wajah menimbulkan kewajiban etis bagi seseorang. tampilnya orang lain mengakibatkan saya bertanggungjawab. Namun hubungan etis ini dianggap asimetris. Yang saya beri tak boleh saya tuntut dari orang lain. Saya bertanggungjawab terhadap orang lain tetapi saya tidak dapat menyuruh orang lain bertanggungjawab atas saya.
Levinas kemudian mengungkapkan bahwa bukan refleksi tentang aku yang menyingkapkan bagi saya “Aku” yang sejati melainkan aku menemukan “Aku” perjumpaan dengan “Orang Lain”.[7] Hal itu pula yang melatarbelakangi pemikirannya tentang Allah. Baginya Allah tidak dapat dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Levinas berbicara tentang Allah dalam konteks metafisik, dimana Yang Tak Berhingga tampak dalam wajah. Dimensi Ilahi membuka diri dalam wajah orang lain. Melalui wajah, saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan.[8]

              2.2.2  Tanggung Jawab
Dalam buku Lain daripada ada atau di seberang esensi, Levinas menekankan tanggung jawab. Baginya subyek menjadi subyek karena bertanggungjawab atas orang lain. Biasanya dikatakan bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja, tetapi menurut Levinas, saya bertanggungjawab pula atas perbuatan orang lain itu. Bila ditanya: berarti orang lain bertanggungjawab atas perbuatan kita? Nah, relasi etis yang asimetris berlaku.
Levinas menggunakan pengertian yang sukar untuk menjelaskan hal itu, yaitu substitution[9] (menggantikan tempat orang lain). Saya bertanggungjawab, malahan saya bersalah (guilty) karena perbuatan orang lain. Pemikiran ontologis tidak menerima itu. Bagi ontologi, saya hanya untuk diri saya. Bila begitu, menurut Levinas persaudaraan universal tidak akan terbangun.
Akhirnya Levinas juga sampai pada ungkapan “Aku” adalah mesias. Dengan mencari inspirasi Alkitabiah tentang Mesias yang menederita bagi orang lain (Yes 53), ia berusaha memberi pendasaran pemikiran filosofisnya yang berbeda dengan cogito ergo sum-nya Descartes yang mencerminkan totalitas (aku berpikir, jadi aku ada) dan menggantikannya dengan respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).[10]

3. Aplikasi
     3.1  Wajah dan Tanggung Jawab Cinta, Pengorbanan dan Perdamaian
Pemikiran Levinas tentang wajah dan tanggung jawab menghantar seseorang pada sebuah kepekaan kasih dan etis serta pengorbanan diri. Wajah menjadi kejadian etis bagi kita untuk berbuat baik, adil dan ramah. Pemikiran tentang wajah mengajak kita untuk keluar dari keakuanku “egoistis”-ku dan berdinamika serta membangun persaudaraan dengan yang lain, Yang Tak Berhingga. Bahkan dalam wajah itu pula, wajah sesama kita, tampak Tuhan sendiri sebagai Yang Lain. Hal itu membuat kita memiliki tanggung jawab etis terhadap sesama kita yang mencerminkan Tuhan sendiri.
Bila kita benar-benar menghidupi respondeo ergo sum  yang dituangkan oleh Levinas, maka kesejahteraan (bonum communae) bersama mungkin sekali tercapai. Pemikiran filosofis Levinas ini sangat tepat diaplikasikan dalam karya kasih terhadap sesama yang merupakan yang lain yang membuat eksistensi kita tetap ada. Menyadari wajah sesama sebagai sebuah panggilan etis untuk bertanggung jawab maka seharusnya tidak ada lagi pembiaran atau sikap tak acuh kepada kehidupan sesama apalagi pembiaran terhadap penghilangan eksistensi sesamaku.
Aku dapat menyebut aku karena ada dia yang bukan aku. Aku tergantung pada ada yang lain di luar diriku. Aku tidak akan ada lagi bila dia yang bukan aku juga tidak ada. Adaku ada bila aku tetap bersama dengan yang lain bahkan adaku semakin sempurna saat aku berada bersama Yang Lain Yang Tak Berhingga yaitu Tuhan.





[1] Harun Hadiyuwono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm.7.
[2] Ibid. hlm.8.
[3] Lebih lanjut dalam tulisan ini penyebutan nama Emmanuel Levinas akan disingkat menjadi “Levinas”
[4] K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis(Jakarta: PT Gramedia,1985), hlm.460.
[5] Kumpulan karangan yang berisikan wejangan dan diskusi para Rabbi Yahudi tentang makna Kitab Suci dan cara hidup Yahudi.
[6] K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis(Jakarta: PT Gramedia,1985), hlm.460.
[7] Ibid. hlm.466
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm.468
[10] Ibid. hlm.469

Tidak ada komentar:

Posting Komentar