Kamis, 12 Maret 2015

Makna Tamparan Uskup dalam Sakramen Krisma?

MAKNA SIMBOLIK SAKRAMEN PENGUATAN/ KRISMA

Beberapa kali saya mengikuti perayaan Ekaristi yang disertai penerimaan sakramen penguatan atau krisma, saya masih saja selalu tertarik dengan prosesi tamparan uskup di pipi kanan penerima krisma. Meskipun saya tertarik, tetapi saya tidak pernah mempertanyakan mengapa ada tamparan di pipi itu. Saya menganggap memang sudah begitulah ritusnya. Hingga akhirnya suatu hari, seorang teman mempertanyakan makna tamparan uskup itu pada saya.
Terusik oleh pertanyaan tersebut, saya bermenung dan mendapati bahwa meski saya sudah menerima sakramen penguatan atau krisma, saya tidak tahu mengapa pipi saya ditampar oleh bapa uskup saat menerima krisma. Kemungkinan besar, beberapa dari kita yang sudah menerima sakramen penguatan atau krisma juga masih bertanya-tanya apa makna tindakan menampar pipi tersebut. Akhirnya, saya mencoba menemukan penjelasan hal tersebut dari berbagai sumber literatur yang dapat membantu.

Sejarah dan Makna Simbolik Penerimaan Sakramen Penguatan atau Krisma
Sakramen penguatan atau sakramen krisma merupakan istilah yang sama-sama menunjuk pada upacara pengurapan Roh Kudus oleh uskup atau imam yang diberi wewenang. Disebut sebagai sakramen penguatan karena sakramen ini bertujuan memperkuat dan memperkokoh rahmat sakramen baptis. Sedangkan disebut sakramen krisma karena ritus pokoknya ialah pengurapan dengan minyak suci atau myron suci yang disebut krisma (bdk. Kompendium Katekismus Gereja Katolik [KKGK] 266).
Pada periode gereja perdana sampai dengan awal skolastik (abad ke-13), krisma melebur menjadi satu dengan sakramen baptis sebagai inisiasi Kristen. Saat itu, krisma bukanlah sebuah sakramen tersendiri. Seorang imam jemaat Roma bernama Hippolytalus, sekitar tahun 220 M, menulis Apostolike paradosis (tradisi rasuli) yang salah satunya berisi prosesi inisiasi yang menyatukan antara krisma dan baptis. Dalam tulisannya, orang yang baru saja dibaptis langsung diberkati dengan minyak krisma di dahi dan diakhiri dengan pelukan damai.
Pada tahun 1208, Paus Inosensius III menyatakan secara resmi bahwa penguatan atau krisma termasuk ke dalam daftar sakramen-sakramen. Seperti halnya sakramen yang lain, sakramen penguatan atau krisma harus memiliki materia dan forma­-nya atau hakekat dan rumusan verbalnya. Materia sakramen penguatan atau krisma ialah (1) penguluran kedua tangan uskup atau imam yang diberi wewenang kepada calon penerima krisma, (2) penumpangan tangan kepada penerima krisma sambil mengurapi/ mengolesi dahinya dengan krisma dalam bentuk salib.[1] Sementara itu, forma sakramen penguatan atau krisma ialah rumusan: “Semoga dimaterai oleh karunia Allah, Roh Kudus” (bdk. Katekismus Gereja Katolik [KGK] 1300).
Setelah pengurapan minyak krisma, pada masa Hippolytalus, pemberi pengurapan mengakhiri prosesi dengan pelukan damai. Hal ini berbeda dengan sakramen penguatan atau krisma setelah ditetapkan sebagai sebuah sakramen tersendiri yaitu pemberi sakramen penguatan atau krisma memberikan salam damai (bdk. KGK 1303). Lalu pertanyaannya ialah manakah tamparan di pipi oleh uskup?
Tamparan di pipi oleh uskup memang tidak ditemukan dalam sumber-sumber literatur gereja baik dalam KGK, KKGK, dokumen konsili Vatikan II, maupun Kitab Hukum Kanonik (KHK). Bahkan, kita juga tidak akan menemukan simbol tamparan di pipi dalam pencurahan Roh Kudus di masa para rasul (bdk. Kis 8:18). Kemungkinan besar, simbol tamparan di pipi merupakan sebuah tradisi yang diteruskan dari gereja terdahulu namun sesudah jemaat perdana atau jaman para rasul.
Tamparan di pipi penerima krisma kemungkinan besar dipengaruhi oleh pemahaman teologis gereja tentang sakramen itu sendiri. Mengutip dua pemikiran pujangga besar gereja yaitu Thomas Aquinas dan Bonaventura (abad ke-13) secara berturut-turut sakramen krisma dimengerti sebagai saat orang menerima kuasa (potestas) untuk melakukan apa saja yang termasuk pertempuran (pugnam) rohani melawan musuh iman dan dimengerti sebagai saat orang dikuatkan untuk menjadi serdadu (miles) Kristus.
Pemikiran tersebut mengesankan bahwa sakramen krisma menandakan seseorang, sebagai serdadu Kristus, harus siap menghadapi pertempuran rohani. Atas dasar ini jugalah kemungkinan besar terjadi perubahan simbolik dari pelukan atau salam damai menjadi tamparan di pipi.
Mundur lebih jauh lagi dari masa Thomas dan Bonaventura, kita dapat menemukan bahwa simbol tamparan di pipi penerima krisma yang diberikan oleh uskup telah digunakan. Antara abad ke-7 dan ke-8, di Perancis, penumpangan tangan uskup dalam Krisma lebih menekankan pemberian Roh Kudus yang menguatkan. Salah satu karunia Roh Kudus yang ditekankan ini mengubah sikap uskup yang memberi krisma: semula sebuah pelukan atau salam damai menjadi tamparan pada pipi sebagai simbol peperangan rohani (lih. Confirmation karya Gerard Austin, hlm. 223).
Kemungkinan besar, tradisi inilah yang kemudian diterima dan dipraktikkan oleh gereja selanjutnya. Secara teologis, Thomas dan Bonaventura mengkokohkan tradisi yang sebelumnya telah ada. Pendapat teologis mereka sesuai dengan makna tamparan di pipi yang sudah dipraktikkan sejak abad ke-7 terutama di Perancis yaitu sebagai tanda penguatan dalam peperangan rohani. Jadi, tamparan di pipi penerima krisma oleh uskup pemberi sakramen penguatan atau krisma memiliki makna peneguhan agar si penerima krisma menjadi kuat dalam menghadapi peperangan rohani (pugnam) melawan musuh iman yang akan mereka hadapi. Diharapkan, si penerima krisma mengingat kembali tamparan di pipi mereka ketika mereka merasa takut dan ragu dalam menghadapi musuh iman mereka dalam rupa apapun juga dan akhirnya mereka menjadi dikuatkan kembali.


                                                                                                                                        



[1] C. Groenen, Teologi Sakramen Inisisasi Baptisan Krisma Sejarah dan Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm.

3 komentar:

  1. Ada uskup yg tamparannya keras sehingga membuat orang yang ditampar menangis karena kesakitan. Hal ini bagaimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu cuma tamparan biasa dikanan. Ga pake keras. Saya tau soalnya saya baru menerima sakramen krisma.

      Hapus
  2. sekarang tamparan udah gak dipake. tinggal dielus atau pundak disentuh

    BalasHapus