MAKNA SIMBOLIK SAKRAMEN
PENGUATAN/ KRISMA
Beberapa kali saya mengikuti perayaan Ekaristi yang disertai penerimaan
sakramen penguatan atau krisma, saya masih saja selalu tertarik dengan prosesi
tamparan uskup di pipi kanan penerima krisma. Meskipun saya tertarik, tetapi
saya tidak pernah mempertanyakan mengapa ada tamparan di pipi itu. Saya
menganggap memang sudah begitulah ritusnya. Hingga akhirnya suatu hari, seorang
teman mempertanyakan makna tamparan uskup itu pada saya.
Terusik oleh pertanyaan tersebut, saya bermenung dan mendapati bahwa meski
saya sudah menerima sakramen penguatan atau krisma, saya tidak tahu mengapa
pipi saya ditampar oleh bapa uskup saat menerima krisma. Kemungkinan besar,
beberapa dari kita yang sudah menerima sakramen penguatan atau krisma juga
masih bertanya-tanya apa makna tindakan menampar pipi tersebut. Akhirnya, saya
mencoba menemukan penjelasan hal tersebut dari berbagai sumber literatur yang
dapat membantu.
Sejarah dan Makna Simbolik Penerimaan Sakramen Penguatan
atau Krisma
Sakramen penguatan atau sakramen krisma merupakan istilah yang sama-sama
menunjuk pada upacara pengurapan Roh Kudus oleh uskup atau imam yang diberi
wewenang. Disebut sebagai sakramen penguatan karena sakramen ini bertujuan
memperkuat dan memperkokoh rahmat sakramen baptis. Sedangkan disebut sakramen
krisma karena ritus pokoknya ialah pengurapan dengan minyak suci atau myron suci yang disebut krisma (bdk.
Kompendium Katekismus Gereja Katolik [KKGK] 266).
Pada periode gereja perdana sampai dengan awal skolastik (abad ke-13),
krisma melebur menjadi satu dengan sakramen baptis sebagai inisiasi Kristen.
Saat itu, krisma bukanlah sebuah sakramen tersendiri. Seorang imam jemaat Roma
bernama Hippolytalus, sekitar tahun 220 M, menulis Apostolike paradosis (tradisi rasuli) yang salah satunya berisi
prosesi inisiasi yang menyatukan antara krisma dan baptis. Dalam tulisannya,
orang yang baru saja dibaptis langsung diberkati dengan minyak krisma di dahi
dan diakhiri dengan pelukan damai.
Pada tahun 1208, Paus Inosensius III menyatakan secara resmi bahwa
penguatan atau krisma termasuk ke dalam daftar sakramen-sakramen. Seperti
halnya sakramen yang lain, sakramen penguatan atau krisma harus memiliki materia dan forma-nya atau hakekat dan rumusan verbalnya. Materia sakramen penguatan atau krisma ialah (1) penguluran kedua
tangan uskup atau imam yang diberi wewenang kepada calon penerima krisma, (2)
penumpangan tangan kepada penerima krisma sambil mengurapi/ mengolesi dahinya
dengan krisma dalam bentuk salib.[1]
Sementara itu, forma sakramen
penguatan atau krisma ialah rumusan: “Semoga dimaterai oleh karunia Allah, Roh
Kudus” (bdk. Katekismus Gereja Katolik [KGK] 1300).
Setelah pengurapan minyak krisma, pada masa Hippolytalus, pemberi
pengurapan mengakhiri prosesi dengan pelukan damai. Hal ini berbeda dengan
sakramen penguatan atau krisma setelah ditetapkan sebagai sebuah sakramen
tersendiri yaitu pemberi sakramen penguatan atau krisma memberikan salam damai
(bdk. KGK 1303). Lalu pertanyaannya ialah manakah tamparan di pipi oleh uskup?
Tamparan di pipi oleh uskup memang tidak ditemukan dalam sumber-sumber
literatur gereja baik dalam KGK, KKGK, dokumen konsili Vatikan II, maupun Kitab
Hukum Kanonik (KHK). Bahkan, kita juga tidak akan menemukan simbol tamparan di
pipi dalam pencurahan Roh Kudus di masa para rasul (bdk. Kis 8:18). Kemungkinan
besar, simbol tamparan di pipi merupakan sebuah tradisi yang diteruskan dari
gereja terdahulu namun sesudah jemaat perdana atau jaman para rasul.
Tamparan di pipi penerima krisma kemungkinan besar dipengaruhi oleh
pemahaman teologis gereja tentang sakramen itu sendiri. Mengutip dua pemikiran
pujangga besar gereja yaitu Thomas Aquinas dan Bonaventura (abad ke-13) secara
berturut-turut sakramen krisma dimengerti sebagai saat orang menerima kuasa (potestas) untuk melakukan apa saja yang
termasuk pertempuran (pugnam) rohani
melawan musuh iman dan dimengerti sebagai saat orang dikuatkan untuk menjadi
serdadu (miles) Kristus.
Pemikiran tersebut mengesankan bahwa sakramen krisma menandakan seseorang,
sebagai serdadu Kristus, harus siap menghadapi pertempuran rohani. Atas dasar ini
jugalah kemungkinan besar terjadi perubahan simbolik dari pelukan atau salam
damai menjadi tamparan di pipi.
Mundur lebih jauh lagi dari masa Thomas dan Bonaventura, kita dapat
menemukan bahwa simbol tamparan di pipi penerima krisma yang diberikan oleh
uskup telah digunakan. Antara abad ke-7 dan ke-8, di Perancis, penumpangan
tangan uskup dalam Krisma lebih menekankan pemberian Roh Kudus yang menguatkan.
Salah satu karunia Roh Kudus yang ditekankan ini mengubah sikap uskup yang
memberi krisma: semula sebuah pelukan atau salam damai menjadi tamparan pada
pipi sebagai simbol peperangan rohani (lih. Confirmation
karya Gerard Austin, hlm. 223).
Kemungkinan besar, tradisi inilah yang kemudian diterima dan dipraktikkan
oleh gereja selanjutnya. Secara teologis, Thomas dan Bonaventura mengkokohkan
tradisi yang sebelumnya telah ada. Pendapat teologis mereka sesuai dengan makna
tamparan di pipi yang sudah dipraktikkan sejak abad ke-7 terutama di Perancis yaitu
sebagai tanda penguatan dalam peperangan rohani. Jadi, tamparan di pipi
penerima krisma oleh uskup pemberi sakramen penguatan atau krisma memiliki
makna peneguhan agar si penerima krisma menjadi kuat dalam menghadapi
peperangan rohani (pugnam) melawan
musuh iman yang akan mereka hadapi. Diharapkan, si penerima krisma mengingat
kembali tamparan di pipi mereka ketika mereka merasa takut dan ragu dalam
menghadapi musuh iman mereka dalam rupa apapun juga dan akhirnya mereka menjadi
dikuatkan kembali.
[1] C. Groenen, Teologi Sakramen Inisisasi Baptisan Krisma
Sejarah dan Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm.
Ada uskup yg tamparannya keras sehingga membuat orang yang ditampar menangis karena kesakitan. Hal ini bagaimana?
BalasHapusItu cuma tamparan biasa dikanan. Ga pake keras. Saya tau soalnya saya baru menerima sakramen krisma.
Hapussekarang tamparan udah gak dipake. tinggal dielus atau pundak disentuh
BalasHapus