Senin, 18 Mei 2015

EVANGELISASI BARU.... BAGAIMANA?

Mewartakan Injil :
Aku Mah Apa Atuh?

Mewartakan Injil itu Ngeri
Mewartakan Injil! Mungkin ungkapan ini masih menjadi sesuatu yang angker, apalagi ketika harus dilakukan di Indonesia ini (tempat dimana Katolik itu minoritas). Orang Katolik pada umumnya lebih nyaman untuk berdinamika di dalam lingkup gereja saja. Ketika ada tantangan untuk mewartakan Injil ke luar, di dunia, di Indonesia, di masyarakat sekitar,  bukan tidak mungkin muncul seruan pesimistis ini: aku mah apa atuh? Akhirnya banyak orang Katolik merasa bahwa tugas mewartakan Injil itu tugas para imam, frater, biarawan-biarawati, atau pengurus-pengurus gereja saja.  Tak jarang muncul juga ungkapan: aku mah jadi umat biasa saja.
"Aku mah apa atuh" dan ungkapan "aku mah jadi umat biasa saja" menjadi cerminan kekeliruan orang Katolik dalam memahamipengertian mewartakan Injil. Harus diakui bahwa mungkin sampai hari ini, orang masih mengerti istilah mewartakan Injil terbatas pada mengajar agama, mengajarkan Injil, atau membaptis orang. Seringkali juga orang menilai keberhasilan mewartakan Injil hanya dari data statistik. Semakin banyak orang yang menjadi Katolik berarti semakin sukseslah usaha mewartakan Injil itu.
Pengertian yang demikianlah yang membuat istilah mewartakan Injil menjadi angker. Mengapa angker? Karena pada kenyataannya orang Katolik hidup di dalam masyarakat yang mayoritas bukan Katolik. Kalau orang berpikir bahwa mewartakan Injil itu sama dengan mengajarkan agama Katolik, mengajarkan Injil, bahkan membaptis orang, sesuailah bila ia menyerukan: aku mah apa atuh! Tetapi kondisi itu tidak membenarkan kita untuk terus-menerus berseru: aku mah apa atuh. Pesan Yesus untuk mewartakan Injil-Nya harus kita laksanakan, tetapi dengan paradigma atau pandangan yang baru.

Paham baru "Mewartakan Injil"
Sebelumnya perlu kita yakinkan dulu bahwa tugas mewartakan Injil adalah tugas Gereja. Siapa Gereja? Gereja adalah kita semua, bukan hanya para uskup dan pastor atau kaum rohaniwan atau rohaniwati. Kita mendapat tugas menjadi saksi Kristus dalam masyarakat karena rahmat baptisan yang telah kita terima. Jadi, jika ada orang yang berkata: aku mah apa atuh? Kita bisa teriakkan kepadanya: KAMU ADALAH ANGGOTA GEREJA!
Sebagai anggota Gereja, kita harus mewartakan Injil di manapun kita berada. Namun, pertama-tama bukan mewartakan Injil dalam arti mengajar agama, berkotbah, atau membaptis orang. Untuk sementara, pemahaman yang demikian boleh kita simpan dahulu. Mari kita angkat lagi hal yang paling mendasar yang mungkin sudah terkesampingkan yaitu mewartakan, menanamkan, dan memperjuangkan pesan dan nilai Kristiani di tengah masyarakat.
Apa pesan dan nilai Kristiani itu? Banyak: cinta kasih, keadilan, rela berkorban demi kebenaran, jujur, tidak mengiri dan mendendam, tidak membenci bahkan ketika lebih dahulu dibenci, mampu diandalkan tetapi juga mampu menolak ajakan yang menyesatkan. Pesan dan nilai inilah yang sesungguhnya harus tersampaikan lewat pewartaan kita, bukan pertama-tama tentang kotbah, mengajar agama, atau membaptis. Penyampaian itu pun tidak cukup dengan membuat orang mengerti apa-apa saja pesan dan nilai Kristiani lewat pengajaran kita. Namun, mewartakan Injil yang benar ialah membuat orang mengerti pesan dan nilai Kristiani terlebih karena mereka secara pribadi tergugah oleh pengalaman dicintai, mendapat keadilan, mendapat pengampunan, mereka mengalami nilai kristiani itu.
Mewartakan Injil juga tidak selalu harus menggunakan jargon atau istilah Kitab Suci melulu. Kondisi masyarakat kita menciptakan sebuah situasi sensitif terhadap hal-hal berbau Kristiani. Bahkan pada masa lalu (kemungkinan masih bertahan sekarang) kecurigaan orang terhadap kristenisasi sungguh kuat. Maka dari itu, menjadi tantangan bagi kita untuk menyampaikan, menanamkan, dan memperjuangkan nilai Kristiani tanpa harus menonjolkan kekristenan kita. Tujuan kita mewartakan Injil bukan lagi pertama-tama untuk mengajak orang lain menjadi Kristen tetapi untuk mengajak orang lain menghidupi nilai-nilai Kristiani sebagai apa adanya mereka. Bukan tidak mungkin seorang muslim atau Buddha atau Hindu atau siapapun lebih kristiani dibanding orang Kristen sendiri, toh?

Mewartakan Injil melalui Profesi
Salah satu sarana mewartakan, menanamkan, dan memperjuangkan nilai-nilai Kristiani ialah melalui karya nyata atau profesi kita. Dr. Franz Magniz Suseno dalam tulisannya untuk Komisi Kerasulan Awam KWI, menekankan pentingnya etika profesi Katolik. Melalui profesinya masing-masing, seorang Katolik seharusnya mampu menghadirkan Yesus yang tidak korup, tidak menipu, sungguh-sungguh memperhatikan orang lain, berjiwa sosial dengan mementingkan kebutuhan sesama, tidak bermain intrik, tidak jahat, mampu memaafkan, tegas menolak kejahatan, menolak bersekongkol untuk menyusahkan yang lain, bertanggung jawab. Itulah cara khas mengemban sebuah profesi bagi seorang Katolik. Seharusnya.
Teladan seorang Katolik yang mampu menjalankan profesinya sedemikian rupa secara Kristiani, dengan sendirinya menyadarkan orang lain akan nilai-nilai Kristiani yang ia hidupi.Dengan begitu pemahaman diperoleh orang lain bukan karena si Katolik mengajarkan nilai-nilai Kristiani, tetapi terlebih karena mereka mengalami sendiri cinta, pelayanan, pengorbanan, dedikasi, kejujuran yang dibawa oleh si Katolik. Inilah salah satu cara mengajarkan, menanamkan, dan memperjuangkan nilai-nilai Kristiani tanpa harus menonjolkan kekristenan itu sendiri.

Mewartakan Injil dalam Persaudaraan Universal
Konsep extra ecclesia nulla salus(di luar Gereja tidak ada keselamatan) telah lama diperlunak dan diperbaharui. Sejak Konsili Vatikan II, Gereja terbuka dengan mengakui bahwa ‘mereka yang mencari Allah dengan hati jujur serta melaksanakan kehendak-Nya, yang diketahuinya berdasarkan perintah suara hati, dapat memperoleh keselamatan abadi’. Konsep baru ini membuka kemungkinan pada penghayatan nilai Kristiani tanpa harus menjadi anggota gereja. Ada keselamatan selama orang hidup sesuai dengan kehendak Allah.
Pada bagian ini, saya hendak mengangkat visi pastoral Gereja Katolik Keuskupan Tanjungkarang. Gereja Keuskupan Tanjungkarang menggerakkan anggotanya untuk dapat hidup bersama dengan yang lain yang berbeda baik secara kultural, agama, dsb. Ada sebuah gagasan baru tentang penghadiran Kerajaan Allah di dunia ini, yaitu Gereja membentuk sebuah persaudaraan yang kokoh dengan kelompok yang lain dan bersama-sama berziarah menuju Bapa melalui Kristus, Sang Putera. Paham ini menciptakan sebuah konsekuensi: tugas untuk menamkan dan memperjuangakan nilai-nilai ajaran Kristus serta menegakkan Kerajaan Allah di dunia ini adalah tugas semua orang, bukan hanya orang kristiani.
Agar visi tersebut dapat tercapai, semua anggota Gereja harus terlibat. Mereka harus menjadi motor penggerak yang memberi teladan penegakan nilai-nilai kristiani dan penegakan Kerajaan Allah di tengah masyarakat. Masing-masing anggota Gereja berperan untuk menciptakan sebuah dialog dengan komunitas lain yang bukan kristen sebab tanpa dialog, usaha menanamkan dan memperjuangkan nilai-nilai kristiani akan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat (yang pada dasarnya telah memiliki bibit curiga terhadap kristenisasi). Usaha ini juga harus diimbangi dengan keterbukaan terhadap nilai-nilai lain yang mendukung nilai-nilai kristiani. Maka, nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat tidak boleh ditolak selama masih sejalan dengan nilai-nilai kristiani.
Akhirnya, jelas bahwa kita semua dipanggil untuk mewartakan Injil secara benar dalam paradigma atau pandangan yang baru. Oleh karena itu, ketika kita harus menjadi pewarta Injil, jangan sampai ada lagi ungkapan: aku mah apa atuh! Atau aku mah jadi umat biasa saja!

Buku bacaan yang dianjurkan:
Paus Fransiskus, Ensiklik Evangelium Gaudii
Dokumen Konsili Vatikan II, Apostolicam Actuositatem
Komisi Kerawam KWI, Awam Tangguh Menyongsong Tantangan Abad XXI
Keuskupan Tanjungkarang, Visi Dasar Pastoral Keuskupan Tanjungkarang







Kamis, 07 Mei 2015

Menemukan Nilai-nilai Hidup Orang Jawa melalui Cerita DEWA RUCI (bagian Kedua)

Filosofi Jawa dalam Lakon Pewayangan
Dewa Ruci

3.      Nilai-Nilai Implisit dalam Kisah Dewa Ruci
Perjalanan panjang Bima untuk menemukan tirtapawitra kaya akan nilai-nilai yang berguna bagi hidup. Memang terdapat nilai yang secara eksplisit disampaikan oleh tokoh di dalamnya namun ada pula nilai-nilai di balik pristiwa yang secara terang-terangan diceritakan. Nilai-nilai yang implisit itu dapat ditemukan dengan cara mendalami simbol-simbol yang ada di dalam cerita.

3.1 Nilai Pedagogis
Dalam kisah Dewa Ruci, kita menemukan pola relasi guru-murid dalam tokoh Pendeta Drona dan Bima. Pola relasi ini bermakna bahwa setiap orang membutuhkan seorang guru atau secara lebih sederhana yakni orang yang dapat ditirunya atau menjadi pribadi untuk belajar. Hal ini juga ditekankan oleh Dewa Ruci pada Bima saat pembicaraan mereka di samudera: “Kamu dapat tahu sesuatu dengan jalan bertanya atau dengan meniru. Jangan menjadi seperti orang bodoh yang membeli emas kepada ahli emas, diberi kertas kuning disangka emas indah.”
Dalam kisah ini kita dapat pula menangkap bahwa seorang guru bertanggung jawab menghantar siswanya menemukan Sang Guru Utama dan menemukan yang terbaik bagi mereka.[1] Ungkapan Sang Indra dan Sang Bayu yang mengatakan bahwa air suci itu ada menunjukkan bahwa Pendeta Drona sebagai guru mengajarkan yang tepat. Jadi seorang guru harus mengajarkan apa yang benar dan jangan sampai menyesatkan muridnya. Kenyataan bahwa Drona tidak memberi tahu tempat sesungguhnya menekankan bahwa selalu ada proses dalam belajar. Dalam kisah Dewa Ruci, Pendeta Drona telah berhasil menjadi guru yang baik yaitu mampu menghantar Bima menemukan sendiri Sang Guru Utama dan ilmu kesempurnaan.

3.2 Nilai Kedisiplinan dan Kesetiaan
Dalam kisah Dewa Ruci, Bima memegang teguh janji kepada sang guru. Meskipun berat dan banyak sekali rintangan, Bima lebih memilih mati daripada tidak menepati janjinya. Dalma hal ini, kesetiaan dijunjung tinggi oleh Bima. Kesetiaan Bima ternyata diuji juga oleh gurunya Pendeta Drona dan ia berhasil melalui ujian kesetiaan itu. Kesetiaan Bima untuk mengikuti segala petunjuk gurunya juga melambangkan disiplin kesempurnaan. Disiplin yang sempurna pada akhirnya menghantar seseorang kepada apa yang didambakan yang dilambangkan dengan tirtapawitra.

3.3 Nilai Etika
Dalam etika Jawa, kisah Dewa Ruci mengandung nilai-nilai yang berharga. Kisah ini mengajarkan bahwa sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti, artinya sifat pengasih mengalahkan semua bentuk kejahatan atau musuh yang sesungguhnya justru ada di dalam ciptaannya sendiri. Hal ini terlihat dari perjalanan Bima yang jauh namun pada akhirnya ia menemukan semua jawaban justru dalam dirinya sendiri yang dipersonifikasikan dalam rupa Dewa Ruci. Selain itu, setiap perjuangan Bima memiliki makna sapa temen bakal tinemu, artinya bahwa segala sesuatu akan berhasil bila dilakukan dengan sungguh-sungguh.[2]
Dalam kitab aslinya, percakapan tokoh-tokoh yang ada menunjukkan sopan santun yang tinggi. Bima tatkala berbicara dengan guru atau orang yang lebih tua darinya, terlebih lagi ketika berbicara dengan dewata akan menggunakan bahasa yang dalam teks asli jawa yakni krama inggil. Hal itu berbeda sekali ketika Bima berbicara dengan dua raksasa, ia berbicara dengan bahasa sehari-hari. Hal ini ingin mengatakan bahwa etika sopan santun harus disesuaikan dalam kondisi tertentu.

3.4 Nilai Religius
Kisah Dewa Ruci mencirikan patheisme yang kuat. Kisah ini mengingatkan manusia bahwa yang ilahi dan yang dicipatakan itu satu adanya. Semuanya berasal dari satu sumber yang sama yang memiliki hidupnya seperti sebuah pipa-pipa kecil yang memperoleh air dari satu pipa yang utama. Semuanya mengalir dari yang satu atau mirip dengan prinsip emanasi, neo-platonisme.
Kisah ini menekankan pentingnya mematikan kehendak agar dapat menjadi kosong dan sunyi. Selebihnya yang dapat dilakukan manusia adalah pasrah kepada Sang Hidup yang ada di dalam dia dan dia berada di dalam Sang Hidup. Pandangan religius ini sama seperti sebuah paradoks jawa demikian: curiga manjing warangka lan warangka manjing curiga, artinya keris memasuki sarung dan sarung memasuki keris.[3]

3.5 Nilai Filosofis dan Teleologis
Kisah perjalanan Bima sebenarnya bermakna sebagai perjalanan Bima mengalahkan hawa nafsu dan keinginan-keinginannya untuk mendapat air suci. Perjalanannya ke gunung Candramuka dan mengalahkan raksasa bermakna Bima berhasil mengalahkan hawa nafsunya.[4] Candramuka berarti gambaran mata, hidung, mulut, telinga yang merupakan pintu bagi segala keinginan.
Hal itu diperteguh oleh ungkapan mati sarjoning urip lan urip sarjoning mati, artinya mati di dalam hidup dan hidup di dalam mati. Wejangan ini menekankan bahwa selama orang masih hidup, nafsu yang mendorong seseorang untuk berbuat jahat harus dipadamkan. Kemudian ketika orang mati untuk nafsu, ia akan mendapat hidup yang satu padu dengan Sang Hidup.[5]
Melihat keseluruhan cerita, ada satu inti yang ingin ditekankan yaitu semua mengarah kepada Manunggal ing Kawula Gusti, kesatuan yang menerima dan yang memberi hidup. Inilah inti teleologis Jawa.[6] Dalam adegan Bima memasuki Dewa Ruci dan melihat seluas segala kenyataan, di sana ditekankan bahwa makrokosmos ada di dalam mikrokosmos sendiri. Perjalanan jauh Bima justru berakhir dalam dirinya sendiri. Hal ini mengakibatkan nilai rohani atau kebatinan lebih diutamakan dibandingkan yang jasmani. Bila seseorang mencapai Manunggal ing Kawula Gusti, ia akan menjadi suci seperti Bima. Dalam istilah Yunani hal ini sama dengan eudaimonia, tetapi eudaimonia-nya Jawa.[7]

2.      Refleksi Kritis
Kisah Dewa Ruci menekankan pentingnya olah batin dan sangat jarang atau hampir tidak pernah menyinggung olah raga. Bahkan, raga dianggap sebagai pintu gerbang nafsu yang harus dimatikan. Paham ini secara ekstrim mengakibatkan hilangnya daya kreasi manusia karena ia hanya terfokus pada kedalaman diri sendiri. Namun harus diakui pula bahwa olah batin itu baik sejauh diimbangi dengan olah raga lewat karsa, kerja, dan karya. Istilah latin ora et labora sekiranya dapat diterapkan dalam olah kebatinan manusia.
Kisah ini mengandung pula pemikiran dualism Plato yaitu adanya ralitas yang asli dan yang bayang-bayang. Kisah ini menekankan bahwa rohlah yang aseli sedangkan tubuh adalah cerminan dari yang asli. Prinsip ini sangat baik karena penerapannya ialah orang tidak hanya hidup menurut kehendak badan yang bukan sunyata. Prinsip ini mengantar manusia khususnya Jawa kepada pengetahuan akan adanya hal yang lebih luhur daripada yang kelihatan sejara inderawi.
Hampir keseluruhan nilai dari kisah ini bersifat praktis. Nilai yang disampaikan ialah nilai yang dapat langsung dipraktikan dalam hidup sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa olah batin yang baik membuat relasi etis orang dengan yang lain semakin baik (tata karma harus dijunjung tinggi), walaupun dampaknya membuat orang kurang tertarik pada dunia di luar diri. Anggapan bahwa semua ada dalam aku membuat orang merasa bahwa mengetahui diri sendiri sudah cukup. Padahal kenyataannya, daya kreasi manusia juga membangun perkembangan dunia.
Akibat positif sikap batin demikian ialah dijunjungtingginya prinsip keharmonisan antara jagad gede (makrokosmos) dengan jagad cilik (mikrokosmos). Hal ini nampak pada kecenderungan yang menjunjung tinggi rasa demi terciptanya tentrem ing manah (tentram di batin). Aplikasinya ialah sikap menghindari konflik demi harmoni. Hal negatifnya ialah kurangnya kontrol sesame sebab lebih mementingkan harmoni.
Terakhir, pemahaman tentang Manunggal ing Kawula Gusti membuat tak terpisahkannya yang mencipta dan yang diciptakan. Hal ini berbahaya ketika jatuh kepada pantheisme yang cenderung kepada atheism. Dalam salah satu buku yaitu Wirid Hidayat Jati, ada sebuah ungkapan demikian: “aku menyaksikan zatku sendiri, sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali aku.”[8] Paham Manunggal ing Kawula Gusti, bila ditangkap salah akan menghantar orang kepada atheisme.
Mengutip penjelasan Dr. Franz Magnis Suseno, paham Manunggal ing Kawula Gusti harus dimengerti sebagai kesadaran bahwa manusia tidak bisa mencapai kesunyataan dengan usaha sendiri misalnya dengan bersamadi atau berlaku tapa puasa. Dalam kisah ini, peran Dewa Ruci sangat besar karena dialah yang menyingkapkan segala pengetahuan kepada Bima. Lebih tepatnya, usaha ini berarti membiarkan Yang Ilahi menganugerahkan dirinya (wahyu) dan manusia membiarkan dirinya dituntun oleh keilahian Yang Ilahi. Manunggal ing Kawula Gusti merupakan karunia Yang Ilahi, bukan hasil usaha sendiri.[9]






[1] TBBDKKPPDJ, Kitab Dewa Rutji…, hlm.19.
[2] S. Haryanto, Bayang-Bayang Adhiluhung, (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm.122.
[3] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm. 126.
[4] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm. 131.
[5] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 133.
[6] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa…, hlm. 133.
[7] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa…, hlm.128.
[8] Franz Magniz-Suseno, Etika Jawa…, hlm.120.
[9] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm.125.