Mewartakan Injil
:
Aku Mah Apa Atuh?
“Mewartakan
Injil” itu Ngeri
Mewartakan Injil! Mungkin ungkapan ini masih
menjadi sesuatu yang angker, apalagi ketika harus dilakukan di Indonesia ini (tempat dimana Katolik itu minoritas). Orang Katolik pada umumnya lebih nyaman untuk berdinamika di dalam
lingkup gereja saja. Ketika ada tantangan untuk mewartakan Injil ke luar, di
dunia, di Indonesia, di masyarakat sekitar,
bukan tidak mungkin muncul seruan pesimistis ini: aku mah apa atuh? Akhirnya banyak orang Katolik merasa bahwa tugas mewartakan
Injil itu tugas para imam, frater, biarawan-biarawati, atau pengurus-pengurus
gereja saja. Tak jarang muncul juga ungkapan: aku mah jadi umat biasa saja.
"Aku mah
apa atuh" dan ungkapan
"aku mah jadi umat biasa
saja" menjadi cerminan kekeliruan orang Katolik dalam memahamipengertian mewartakan
Injil. Harus diakui bahwa mungkin sampai hari ini, orang masih mengerti istilah
mewartakan Injil terbatas pada mengajar agama, mengajarkan Injil, atau membaptis
orang. Seringkali juga orang menilai keberhasilan mewartakan Injil hanya dari
data statistik. Semakin banyak orang yang menjadi Katolik berarti semakin
sukseslah usaha mewartakan Injil itu.
Pengertian yang demikianlah yang membuat istilah
mewartakan Injil menjadi angker. Mengapa angker? Karena pada kenyataannya orang
Katolik hidup di dalam masyarakat yang mayoritas bukan Katolik. Kalau orang
berpikir bahwa mewartakan Injil itu sama dengan mengajarkan agama Katolik,
mengajarkan Injil, bahkan membaptis orang, sesuailah bila ia menyerukan: aku mah apa atuh! Tetapi kondisi itu tidak membenarkan kita untuk terus-menerus
berseru: aku mah apa atuh. Pesan Yesus untuk mewartakan Injil-Nya harus kita laksanakan,
tetapi dengan paradigma atau pandangan yang baru.
Paham
baru "Mewartakan Injil"
Sebelumnya perlu kita yakinkan dulu bahwa tugas
mewartakan Injil adalah tugas Gereja. Siapa Gereja? Gereja adalah kita semua,
bukan hanya para uskup dan pastor atau kaum rohaniwan atau rohaniwati. Kita
mendapat tugas menjadi saksi Kristus dalam masyarakat karena rahmat baptisan
yang telah kita terima. Jadi, jika ada orang yang berkata: aku mah apa atuh? Kita bisa teriakkan kepadanya: KAMU ADALAH ANGGOTA GEREJA!
Sebagai anggota Gereja, kita harus mewartakan Injil di manapun kita berada. Namun, pertama-tama bukan mewartakan
Injil dalam arti mengajar agama, berkotbah, atau membaptis orang. Untuk
sementara, pemahaman yang demikian boleh kita simpan dahulu. Mari kita angkat
lagi hal yang paling mendasar yang mungkin sudah terkesampingkan yaitu mewartakan, menanamkan, dan
memperjuangkan pesan dan nilai Kristiani di tengah masyarakat.
Apa pesan dan nilai Kristiani itu? Banyak: cinta kasih, keadilan,
rela berkorban demi kebenaran, jujur, tidak mengiri dan mendendam, tidak
membenci bahkan ketika lebih dahulu dibenci, mampu diandalkan tetapi juga mampu
menolak ajakan yang menyesatkan. Pesan dan nilai inilah yang sesungguhnya harus
tersampaikan lewat pewartaan kita, bukan pertama-tama tentang kotbah, mengajar
agama, atau membaptis. Penyampaian
itu pun tidak cukup dengan membuat orang mengerti
apa-apa saja pesan dan nilai Kristiani lewat pengajaran kita. Namun, mewartakan
Injil yang benar ialah membuat orang mengerti pesan dan nilai Kristiani terlebih karena mereka
secara pribadi tergugah oleh pengalaman dicintai, mendapat keadilan, mendapat
pengampunan, mereka mengalami nilai
kristiani itu.
Mewartakan Injil juga tidak selalu harus menggunakan jargon atau
istilah Kitab Suci melulu. Kondisi masyarakat kita menciptakan sebuah situasi
sensitif terhadap hal-hal berbau Kristiani. Bahkan pada masa lalu (kemungkinan
masih bertahan sekarang) kecurigaan orang terhadap kristenisasi sungguh kuat. Maka dari itu, menjadi
tantangan bagi kita untuk menyampaikan, menanamkan, dan memperjuangkan nilai
Kristiani tanpa harus menonjolkan kekristenan kita. Tujuan kita mewartakan Injil
bukan lagi pertama-tama untuk mengajak orang lain menjadi Kristen tetapi untuk
mengajak orang lain menghidupi nilai-nilai Kristiani sebagai apa adanya mereka.
Bukan tidak mungkin seorang muslim atau Buddha atau Hindu atau siapapun lebih
kristiani dibanding orang Kristen sendiri, toh?
Mewartakan Injil melalui
Profesi
Salah satu sarana mewartakan, menanamkan, dan memperjuangkan
nilai-nilai Kristiani ialah melalui karya nyata atau profesi kita. Dr. Franz
Magniz Suseno dalam tulisannya untuk Komisi Kerasulan Awam KWI, menekankan
pentingnya etika profesi Katolik. Melalui profesinya masing-masing, seorang
Katolik seharusnya mampu menghadirkan Yesus yang tidak korup, tidak menipu,
sungguh-sungguh memperhatikan orang lain, berjiwa sosial dengan mementingkan
kebutuhan sesama, tidak bermain intrik, tidak jahat, mampu memaafkan, tegas
menolak kejahatan, menolak bersekongkol untuk menyusahkan yang lain,
bertanggung jawab. Itulah cara khas mengemban sebuah profesi bagi seorang
Katolik. Seharusnya.
Teladan seorang Katolik yang mampu menjalankan profesinya sedemikian
rupa secara Kristiani, dengan sendirinya menyadarkan orang lain akan nilai-nilai
Kristiani yang ia hidupi.Dengan
begitu pemahaman diperoleh orang lain bukan karena si Katolik mengajarkan
nilai-nilai Kristiani, tetapi terlebih karena mereka mengalami sendiri cinta, pelayanan,
pengorbanan, dedikasi, kejujuran yang dibawa oleh si Katolik. Inilah salah satu
cara mengajarkan, menanamkan, dan memperjuangkan nilai-nilai Kristiani tanpa
harus menonjolkan kekristenan itu sendiri.
Mewartakan Injil dalam
Persaudaraan Universal
Konsep extra ecclesia nulla
salus(di luar Gereja tidak ada
keselamatan) telah lama diperlunak dan diperbaharui.
Sejak Konsili Vatikan II, Gereja terbuka dengan mengakui bahwa ‘mereka yang
mencari Allah dengan hati jujur serta melaksanakan kehendak-Nya, yang
diketahuinya berdasarkan perintah suara hati, dapat memperoleh keselamatan
abadi’. Konsep baru ini membuka kemungkinan pada penghayatan nilai Kristiani
tanpa harus menjadi anggota gereja. Ada keselamatan selama orang hidup sesuai
dengan kehendak Allah.
Pada bagian ini, saya hendak mengangkat visi pastoral Gereja Katolik
Keuskupan Tanjungkarang. Gereja Keuskupan Tanjungkarang menggerakkan anggotanya
untuk dapat hidup bersama dengan yang lain yang berbeda baik secara kultural,
agama, dsb. Ada sebuah gagasan baru tentang penghadiran Kerajaan Allah di dunia
ini, yaitu Gereja membentuk sebuah persaudaraan yang kokoh dengan kelompok yang lain
dan bersama-sama berziarah menuju Bapa melalui Kristus, Sang Putera. Paham ini
menciptakan sebuah konsekuensi: tugas untuk menamkan dan memperjuangakan
nilai-nilai ajaran Kristus serta menegakkan Kerajaan Allah di dunia ini adalah
tugas semua orang, bukan hanya orang kristiani.
Agar visi tersebut dapat tercapai, semua anggota Gereja harus
terlibat. Mereka harus menjadi motor penggerak yang memberi teladan penegakan
nilai-nilai kristiani dan penegakan Kerajaan Allah di tengah masyarakat.
Masing-masing anggota Gereja berperan untuk menciptakan sebuah dialog dengan
komunitas lain yang bukan kristen sebab tanpa dialog, usaha menanamkan dan
memperjuangkan nilai-nilai kristiani akan ditolak mentah-mentah oleh masyarakat
(yang pada dasarnya telah memiliki bibit curiga terhadap kristenisasi). Usaha
ini juga harus diimbangi dengan keterbukaan terhadap nilai-nilai lain yang
mendukung nilai-nilai kristiani. Maka, nilai-nilai yang sudah ada di masyarakat
tidak boleh ditolak selama masih sejalan dengan nilai-nilai kristiani.
Akhirnya, jelas bahwa kita semua dipanggil untuk mewartakan Injil
secara benar dalam paradigma atau pandangan yang baru. Oleh karena itu, ketika
kita harus menjadi pewarta Injil, jangan sampai ada lagi ungkapan: aku mah apa atuh! Atau aku mah jadi
umat biasa saja!
Buku bacaan yang dianjurkan:
Paus Fransiskus, Ensiklik
Evangelium Gaudii
Dokumen Konsili Vatikan II, Apostolicam
Actuositatem
Komisi Kerawam KWI, Awam
Tangguh Menyongsong Tantangan Abad XXI
Keuskupan Tanjungkarang, Visi
Dasar Pastoral Keuskupan Tanjungkarang