Sabtu, 05 Maret 2016

TANGGUNG JAWAB DALAM UCAPAN MANUSIA (bagian kedua)

BAB III
REFLEKSI KRITIS PEMIKIRAN AUSTIN

1. Analisa Kritis Ucapan Konstatif dan Ucapan Performatif Austin
Hal positif dalam pemikiran Austin tentang ucapan konstatif dan ucapan performatif ialah independensi Austin dari sikap ekstrem yang memukul rata semua konteks bahasa dalam satu konteks saja, seperti misalnya atomisme logik dan positivisme logik.[1] Pemikiran Austin terlihat sebagai harmonisasi antara dua pemikiran sebelumnya yaitu atomisme logik atau postivisme logik dan “permainan bahasa” Wittgenstein. Austin mengakui bahasa sebagai ungkapan fakta tetapi juga mengakui bahwa bahasa harus dipahami dari banyak konteks.[2] Pemahaman ini membuat Austin terbuka terhadap ucapan-ucapan yang melampaui yang fisik (metafisis) yang dapat diverifikasi.[3]
Pemikiran analitis Austin juga menjadi sumbangan besar bagi khazanah studi bahasa[4] yang dalam beberapa kasus, bahasa menjadi “category mistake” bagi para filsuf dalam berpikir.[5] Hal itu terjadi sebab beberapa filsuf seringkali mengabaikan konteks bahasa atau memukul rata begitu saja semua bahasa. Dalam hal ini, Austin berpendapat bahwa penyelidikan analitis merupakan permulaan berpikir yang mutlak perlu.[6]
Pemikiran Austin tentang ucapan performatif menghantar pendengar kepada kesadaran bahwa seseorang memiliki tanggung jawab dalam setiap ucapannya.[7] Namun, pendapatnya bahwa ucapan performatif tidak dapat benar atau tidak dapat salah, secara tidak langsung juga mereduksi dimensi tanggung jawab penutur atas ucapan mereka. Dalam hal ini, moral atau sisi agama dapat memberi klarifikasi yang lebih.
Ucapan performatif yang tidak laik, entah karena penutur tidak bertanggung jawab atau karena penutur sengaja menyalahgunakan bahasa, dalam keagamaan dapat diartikan sebagai dusta. Dusta berarti bahwa orang mengatakan yang tidak benar dengan maksud menyesatkan.[8] Dalam contoh janji kosong oknum politikus, ucapan performatif yang ia lakukan ketika kampanye merupakan sebuah kesalahan karena banyak orang disesatkan oleh janji tersebut. Padahal, masyarakat dapat memilih orang lain yang lebih laik jika ia berkata dengan sesungguhnya. Namun, bagi Austin, ucapan oknum politikus itu hanya dianggap sia-sia dan tidak berdampak pada penutur serta tidak mengandung salah. Seharusnya Austin memperhatikan juga konsekuensi moral dari ucapan seseorang.
Meskipun demikian, dimensi agama juga mengakui bahwa tanggung jawab dapat berkurang hanya karena ketidakpahaman, ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang berlebihan, serta faktor psikis dan sosial lain.[9] Tanpa syarat-syarat tersebut yang dapat mengurangi tanggung jawab, agama menganggap bahwa penyalahgunaan bahasa dengan maksud menyesatkan bernilai salah bahkan dosa. Fakta ini membawa kita pada kesadaran akan pentingnya memahami secara komprehensif ucapan yang diujarkan agar bagi diri sendiri kita dapat bertanggung jawab dan ketika menjadi pendengar, kita dapat menjadi pendengar yang kritis.
Selain itu, sebagian besar ahli berpendapat bahwa perbedaan yang Austin buat terhadap ucapan konstantif dan performatif masih terlalu abstrak dan belum memiliki taksonomi yang jelas. Sebenarnya, Austin sendiri menyadari bahwa perbedaan-perbedaan yang dibuatnya tidak bersifat mutlak. Misalnya, tidak betul bahwa ucapan performatif selalu memakai persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang dan aktif.[10] Hal tersebut disebabkan oleh adanya ucapan performatif yang dirumuskan sebagai berikut, “hadirin disilahkan berdiri”, “dilarang merokok”, dan sebagainya.[11]
Selain itu, ketika diselidiki lebih terperinci, ternyata beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam ucapan performatif, secara analogis dapat juga diterapkan dalam ucapan konstatif. Hal ini menandakan bahwa, pembedaan yang dibuat oleh Austin belum sepenuhnya dapat membedakan secara persis kedua hal yang ia pisahkan. Ada tiga kemungkinan bagaimana syarat ucapan performatif berlaku juga bagi ucapan konstatif:
1.      Ucapan performatif mensyaratkan wewenang penuturnya. Untuk memberikan sebuah perintah, seseorang harus memiliki wewenang. Dalam hal yang sejalan, ucapan konstatif juga mensyaratkan wewenang penuturnya yaitu berupa pengetahuan atau pengalaman tentang fakta yang hendak dinyatakan.[12] Misalnya: “Saya menghadiahkan koleksi lukisan saya kepada Museum Nasional” dibandingkan dengan “Ibukota Finlandia ialah Helsinki”. Ujaran pertama mengandaikan bahwa penutur memiliki jam, sedangkan ujaran kedua mengandaikan penutur memiliki pengetahuan geografi yang memadai.
2.      Ucapan performatif mensyaratkan kejujuran penutur. Dalam ucapan konstatif, dapat diandaikan bahwa ia tidak berbohong dalam menggambarkan realitas yang dapat diverifikasi. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan ucapan konstantif pun harus yakin tentang apa yang dikatakannya.[13] Misalnya: “Saya berjanji menjemputmu besok” dibandingkan dengan “Dia seorang pengangguran”. Kedua ujaran tersebut (yang pertama performatif dan yang kedua konstatif) mengandaikan adanya kejujuran penutur.
3.      Ucapan performatif mensyaratkan tanggung jawab penutur. Dalam hal ini, ucapan konstatif juga membutuhkan tanggung jawab penutur. Misalnya, seseorang mengungkapkan bahwa ia dapat berbahasa Jerman, maka dalam kelanjutannya haruslah ia mengerti bahasa Jerman.[14]
Melihat ketiga contoh di atas, akhirnya banyak orang menyimpulkan bahwa hanya satu kriteria yang membedakan kedua ujaran tadi yaitu kriteria dapat atau tidak dapat dikenakan predikat benar atau tidak benar. Namun, dalam hal ini, Austin sendiri pun mengakui bahwa perbedaan ujaran konstatif dan performatif masih juga tidak selalu jelas. Misalnya dalam sebuah vonis dikatakan: “Atas fakta yang terkumpul, saya menjatuhkan vonis selama enam bulan kepada saudara!” Dalam ujaran itu, jika konsisten pada pemikiran Austin, kita tidak dapat mengenakan kriteria benar atau salah. Namun, pada kenyataanya, ujaran demikian (vonis) selalu berhubungan dengan realitas atau kebenaran fakta-fakta yang menjadi titik fokus ujaran konstatif.[15]

2. Relevansi Pemikiran Austin tentang Ucapan Performatif bagi Pengguna Bahasa Zaman ini
Pemikiran Austin tentang ucapan performatif memiliki beberapa relevansi bagi baik penggunaan maupun pengguna bahasa pada zaman ini. Dalam tulisan ini, terutama penulis hendak memberi perhatian pada aspek tanggung jawab yang diemban penutur setiap kali ia mengungkapkan bahasa dan pada penyadaran bahwa“mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu”. Pada prakteknya, relevansi pemikiran Austin tentang ucapan performatif dapat menghantar pendengar kepada kesadaran untuk berpikir komprehensif ketika hendak berbicara maupun mendengarkan.

2.1 Berpikir Komprehensif berdasarkan Syarat Ucapan Performatif
Setiap ujaran yang diucapkan baik oleh diri sendiri maupun orang lain selalu bisa diteliti secara komprehensif. Penelitian yang komprehensif dalam sebuah ujaran atau calon ujaran (bagi diri sendiri) membawa kita kepada kesadaran akan tanggung jawab yang mungkin diemban sehingga ucapan kita tidak menjadi ucapan yang “omong doang”.[16]
Di sisi lain, penelitian yang komprehensif dalam sebuah ujaran yang diucapkan oleh orang lain membantu kita untuk bersikap secara tepat[17] sehingga tidak lagi merasa tertipu, dibohongi, dan sejenisnya. Sebab, terkadang kita tertipu (dalam konteks janji oknum politikus) justru karena kita begitu saja menerima ucapan mereka tanpa meneliti dahulu latar belakang subyek dan sebagainya menurut syarat ucapan performatif.[18]

2.1.1 Sikap Kritis terhadap Ucapan sendiri
Ketika kita hendak berkata kepada teman kita: “saya berjanji akan datang ke pesta pernikahanmu” ada beberapa hal yang perlu kita kritisi sebelum mengucapkannya. Pertama, apakah memang ada pesta perkawinan yang akan diselenggarakan? Pertanyaan ini berkaitan dengan syarat harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku. Kedua, Apakah pesta perkawinan tersebut belum berlangsung dan diri kita memang diundang? Pertanyaan ini berkaitan dengan syarat setiap orang yang terlibat memang mempunyai wewenang untuk mengatakannya. Dalam konteks ini berarti kita harus memang benar-benar diundang. Ketiga, Apakah ada kemungkinan bagi penutur untuk menghadiri pesta? Pertanyaan ini menuntut kejujuran penutur. Pada bagian ini, terkadang penutur kurang memperhatikannya demi menyenangkan orang yang diajak bicara. Keempat, apakah penutur memiliki minat untuk menghadiri pesta? Pertanyaan ini menyangkut pada pelaksanaannya kelak. Jangan sampai setelah penutur berbicara, baru ia mengakui bahwa ia tidak punya minat sama sekali.[19]
Pertanyaan yang ketiga dan keempat sering kali dilanggar oleh penutur demi menegakkan prinsip “basa-basi” demi menyenangkan orang yang diajak berbicara.[20] Atau oleh beberapa orang, demi melonggarkan dimensi tanggung jawab dari sebuah ucapan performatif, mereka menggunakan istilah “Insya Allah”.[21] Setelah penambahan istilah yang terakhir, bahkan sebuah ucapan performatif tidak bisa dikenakan kategori laik atau tidak laik, apalagi digunakan kategori salah atau tidak salah dalam konteks mengingkari ucapan performatif.
Yang benar yang seharusnya dilakukan penutur ialah memperhatikan keempat aspek di atas. Adalah lebih baik mengatakan tidak atau tidak mengatakan ujaran performatif sama sekali bila kita menyadari bahwa ada salah satu syarat yang tidak dapat kita penuhi. Meskipun, dalam lingkup filsafat kita tidak bersalah ketika melanggar ucapan performatif, namun dalam lingkup keagamaan kita telah melakukan sebuah pelanggaran yang bukannya tidak berarti.[22]

2.1.2 Sikap Kritis terhadap Ucapan Orang Lain
Mendekati masa pemilihan baik legislatif maupun eksekutif, fenomena yang sering terjadi ialah banyak para pejabat yang mulai mengunjungi daerah-daerah. Biasanya mereka menjanjikan ini dan itu apabila mereka terpilih kembali. Sebagai contoh: “Saya berjanji akan mengirimkan bantuan beberapa buah traktor dan peralatan pertanian lainnya jika saya kembali ke Jakarta (menjabat lagi, pen) nanti.”
Ucapan performatif di atas dapat kita analisis dengan beberapa syarat yang diajukan oleh Austin untuk menilai kelaikannya. Setidaknya ada empat pertanyaan (sesuai dengan jumlah syarat yang Austin ajukan) yang perlu kita jawab:
1.      Apakah kunjungan pejabat tersebut dilakukan dalam prosedur yang lazim berlaku dalam setiap kunjungan pejabat pemerintahan? Apakah pemerintah pusat memang sengaja mengirimkannya ke daerah tersebut? Atau barangkali kunjungan tersebut tidaklah resmi, bukan dalam rangka dinas, melainkan karena kebetulan ia ingin mencari suara kelak?
2.      Apakah pejabat tadi memang berwenang dalam bidang pertanian, misalnya sebagai Menteri Pertanian atau staf ahli departemen pertanian? Atau jangan-jangan pejabat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang pertanian?
3.      Apakah ucapan tersebut mengandung kejujuran penutur atau sekedar basa-basi yang menyenangkan hati demi terpilih kembali?
4.      Akhirnya, apakah ucapan tersebut dipertanggungjawabkan oleh si penutur?
Apabila salah satu syarat di atas melenceng dari kelazimannya, maka ucapan yang diutarakan oleh si penutur tidaklah laik. Pada akhirnya kita juga dapat menyimpulkan bahwa si penutur tidak bertanggung jawab dan dengan begitu kita tidak perlu memilihnya.[23]

2.2 Meneguhkan dan Bertanggung jawab Atas Iman Berdasarkan Daya Ucapan Performatif
Pada masa positivisme logik, semua ucapan metafisis tidaklah bermakna. Akibatnya, ucapan teologipun kehilangan maknanya bagi positivisme logik. Namun, Donald D.Evans mengangkat makna ucapan teologi (credo, doa, pujian, dsb.) berdasarkan teori ucapan performatif yang disumbangkan oleh Austin.[24]
 Menurut Donald, ucapan “saya memuji Tuhan”, “saya percaya kepada Allah” tidak dapat disamakan begitu saja dengan “saya membaca buku”. Dua ucapan pertama secara faktual tidak dapat diverifikasi, sementara ucapan yang ketiga sangat mungkin diverifikasi. Menurut, positivisme logik, ucapan macam pertama dan kedua tidak bermakna. Namun, Donald dengan menggunakan prinsip ucapan performatif Austin menyatakan bahwa ucapan tersebut bermakna.
Menurut Donald, ucapan “saya memuji Tuhan” dan “saya percaya kepada Allah” bukanlah sebatas ucapan yang melukiskan fakta, melainkan melakukannya. Ketika, seseorang mengatakan “saya memuji Tuhan”, maka pujian itu tidak terlepas dari ucapan tersebut. Dan sebaliknya, pujian tersebut menjadi nyata justru karena diucapkan.[25] Begitu juga ucapan “saya percaya kepada Allah” merupakan ucapan yang bukan semata-mata ingin melukiskan fakta tetapi dengan ucapan tersebut penutur benar-benar melakukannya.
Dengan mengembangkan pemikiran Austin, Donald memperlihatkan bahwa ketika seseorang mengungkapkan ujaran teologis seperti “saya memuji Allah” atau “saya percaya Allah Pencipta”, orang yang menggunakan ujaran itu melibatkan dirinya dalam Allah. Menggunakan ujaran seperti itu berarti seseorang mengambil suatu sikap. Donald menyebutnya sebagai pemakaian bahasa auto-implikatif.
Dengan mengatakan sesuatu tentang iman, seseorang bukan hanya sedang melukiskan fakta-fakta tertentu. Dengan mengatakan sesuatu tentang iman berarti seseorang melibatkan dirinya dalam ucapan itu sendiri. Misalnya, orang yang mengatakan: “saya berjanji besok akan datang pukul 10, tetapi jangan harap saya akan muncul besok pukul 10”, ia akan dianggap aneh. Begitu juga orang yang mengatakan: “saya percaya kepada Allah, tetapi jangan harap saya percaya kepada-Nya”, akan dianggap aneh karena berada di luar kelaziman.[26]
Donald memperlihatkan perbandingan antara dua ucapan: “Saya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta semesta alam” dan “Saya mengakui bahwa Pak Ali yang membuat meja itu”. Kalimat kedua merupakan sebuah ucapan konstatif, dimana penutur mengambil posisi netral. Sementara itu, ucapan pertama tidak pernah hanya mempunyai kekuatan konstatif saja. Ucapan pertama tidak pernah bersifat netral. Dalam ucapan yang pertama, seseorang melibatkan diri dalam ucapan tersebut dan mengambil konsekuensi dari ucapan tersebut. Dengan mengucapkan ujaran yang pertama, orang mengakui dirinya sebagai ciptaan yang tergantung kepada Allah pencipta.[27]
Ucapan iman tidak pernah bersifat netral karena selalu mendatangkan konsekuensi atau tanggung jawab ketika kita memutuskan untuk mengucapkannya. Saat mengucapkan iman, kita juga dapat mengenakan empat syarat yang diberikan Austin dalam menguji ucapan performatif. Ketika kita sudah mengiyakan keempat syarat yang berlaku bagi ucapan iman kita, berarti kita bertanggung jawab atas ucapan iman kita. Bila kita melanggar, menurut filsafat, kita memang tidak dapat salah maupun benar. Namun, menurut agama, perbuatan kita yang secara sadar melanggar ucapan performatif kita sendiri merupakan sebuah kesalahan bahkan dosa yang cukup berarti.[28]

3. Relevansi Pemikiran Austin tentang Ucapan Performatif bagi Diri Sendiri
Dengan memahami teori ucapan performatif Austin, penulis menyadari bahwa mengatakan ujaran performatif tidak hanya sebatas melukiskan fakta melainkan sungguh-sungguh melakukannya.[29] Oleh karena mengucapkan ujaran performatif berarti melakukan sesuatu, dimensi tanggung jawab mendapat tempat dalam ujaran penulis (bdk. syarat keempat sebuah ujaran performatif). Akibatnya, penulis dapat berpikir secara masak ketika hendak mengungkapkan ujaran performatif agar tidak begitu saja melepaskan dimensi tanggung jawab dalam setiap ujaran performatif yang mungkin penulis ucapkan.
Sebagai seorang mahasiswa filsafat, penulis setuju bahwa ujaran performatif tidak dapat dikenakan nilai benar atau salah. Meskipun demikian, sebagai seorang Katolik, penulis memperhitungkan dimensi salah bahkan dosa yang dibuat oleh kesengajaan menyalahgunakan bahasa demi menyesatkan orang lain.[30] Dalam dimensi keagamaan, penulis belajar untuk tidak berdusta. Caranya? Dengan berpikir secara komprehensif berdasarkan prasyarat yang dibuat oleh Austin mengenai ujaran performatif. Penulis menyadari bahwa tindakan tidak bertanggung jawab baik oleh diri sendiri maupun orang lain sebenarnya dapat dihindari karena pada dasarnya setiap ucapan performatif dapat dikritisi dengan masak.
Dalam menghayati hidup sebagai seorang frater, penulis semakin menyadari tanggung jawab penulis di setiap ucapan performatif baik lisan maupun tulisan yang penulis buat. Saat menerima jubah, penulis mengucapkan “saya berjanji setia…”. Saat membuat refleksi akhir semester, penulis senantiasa mendeklarasikan “saya bersedia meneruskan…”. Dengan menggunakan “batu uji” sayarat ucapan performatif, penulis menyadari bahwa ucapan performatif penulis hanya laik bila penulis secara jujur memenuhi keempat syarat kelaikan sebuah ucapan performatif tersebut. Kegagalan yang mungkin terjadi, secara mendasar disebabkan oleh ketidakjujuran penulis akan diri sendiri dan sikap tidak bertanggung jawab terhadap ucapan performatif yang sesungguhnya mengadakan suatu perbuatan nyata.
Penulis menyadari bahwa melakukan sebuah ucapan performatif harus disertai dengan kehendak. Jangan sampai terjadi, seperti yang dikatakan oleh para filsuf willensschwach atau ketiadaan kehendak.[31]
Dalam kehidupan religius, dengan mengetahui kekuatan sebuah ucapan performatif, penulis semakin yakin bahwa setiap pujian, setiap doa brevir yang penulis lambungkan kepada Allah, dan Credo yang senantiasa penulis ungkapkan bukan sekedar ungkapan kosong. Lebih dari itu, penulis menyadari bahwa justru dengan mengungkapkan semua itulah pujian dan doa itu sungguh menjadi kenyataan.[32] Berdasarkan pengembangan teori ucapan performatif Austin oleh Donald D. Evans, penulis menyadari bahwa dengan mengungkapkan segala bentuk kepercayaan iman, penulis semakin melibatkan diri bahkan bersatu dengan apa yang penulis ungkapkan.[33] Penghianatan terhadap ungkapan performatif, sekali lagi secara filosofis tidak bernilai salah. Namun, sebagai seorang mahasiswa filsafat yang sekaligus seorang Katolik bahkan seorang calon imam, penulis mengamini ajaran iman Gereja bahwa penghianatan terhadap apa yang oleh Austin disebut sebagai ungkapan performatif merupakan sebuah penipuan/dusta terhadap diri sendiri, sesama, terlebih Tuhan. Dan, itu semua bernilai salah bahkan dosa.



[1] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.141
[2] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.58.
[3] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.147
[4] K. Bertens, Filsafat Barat..., hlm.58.
[5] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.142
[6] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.143
[7] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60. Bdk. K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.131.
[8] Katekismus Gereja Katolik (KGK) no.2482.
[9] KGK no.1735.
[10] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.
[11] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.
[12] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.61.
[13] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.61.
[14] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.61.
[15] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.62.
[16] Reza A.A.Wattimena, Filsafat Sebagai Revolusi Hidup, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2015), hlm.274.
[17] Bdk. Maruli Panggabean (ed), Bahasa, Pengaruh, dan Peranannya, (Jakarta: OBOR, 1981), hlm. 106.
[18] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm. 132.
[19] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.139.
[20] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.140.
[21] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.140
[22] KGK no.2484.
[23] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.133-134.
[24] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.148.
[25] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.150.
[26] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.152.
[27] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.152.
[28] KGK no. 2484.
[29] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.59
[30] KGK no.2483
[31] Reza A.A. Wattimena, Filsafat Sebagai..., hlm.275.
[32] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.150.
[33] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.154