BAB
III
REFLEKSI
KRITIS PEMIKIRAN AUSTIN
1. Analisa Kritis Ucapan Konstatif dan Ucapan
Performatif Austin
Hal positif dalam pemikiran Austin tentang
ucapan konstatif dan ucapan performatif ialah independensi Austin dari sikap
ekstrem yang memukul rata semua konteks bahasa dalam satu konteks saja, seperti
misalnya atomisme logik dan positivisme logik.[1]
Pemikiran Austin terlihat sebagai harmonisasi antara dua pemikiran sebelumnya
yaitu atomisme logik atau postivisme logik dan “permainan bahasa” Wittgenstein.
Austin mengakui bahasa sebagai ungkapan fakta tetapi juga mengakui bahwa bahasa
harus dipahami dari banyak konteks.[2]
Pemahaman ini membuat Austin terbuka terhadap ucapan-ucapan yang melampaui yang
fisik (metafisis) yang dapat diverifikasi.[3]
Pemikiran analitis Austin juga menjadi
sumbangan besar bagi khazanah studi bahasa[4]
yang dalam beberapa kasus, bahasa menjadi “category mistake” bagi para filsuf
dalam berpikir.[5]
Hal itu terjadi sebab beberapa filsuf seringkali mengabaikan konteks bahasa
atau memukul rata begitu saja semua bahasa. Dalam hal ini, Austin berpendapat
bahwa penyelidikan analitis merupakan permulaan berpikir yang mutlak perlu.[6]
Pemikiran Austin tentang ucapan performatif
menghantar pendengar kepada kesadaran bahwa seseorang memiliki tanggung jawab
dalam setiap ucapannya.[7]
Namun, pendapatnya bahwa ucapan performatif tidak dapat benar atau tidak dapat
salah, secara tidak langsung juga mereduksi dimensi tanggung jawab penutur atas
ucapan mereka. Dalam hal ini, moral atau sisi agama dapat memberi klarifikasi
yang lebih.
Ucapan performatif yang tidak laik, entah
karena penutur tidak bertanggung jawab atau karena penutur sengaja
menyalahgunakan bahasa, dalam keagamaan dapat diartikan sebagai dusta. Dusta
berarti bahwa orang mengatakan yang tidak benar dengan maksud menyesatkan.[8]
Dalam contoh janji kosong oknum politikus, ucapan performatif yang ia lakukan
ketika kampanye merupakan sebuah kesalahan karena banyak orang disesatkan oleh
janji tersebut. Padahal, masyarakat dapat memilih orang lain yang lebih laik
jika ia berkata dengan sesungguhnya. Namun, bagi Austin, ucapan oknum politikus
itu hanya dianggap sia-sia dan tidak berdampak pada penutur serta tidak mengandung
salah. Seharusnya Austin memperhatikan juga konsekuensi moral dari ucapan
seseorang.
Meskipun demikian, dimensi agama juga mengakui
bahwa tanggung jawab dapat berkurang hanya karena ketidakpahaman,
ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang berlebihan,
serta faktor psikis dan sosial lain.[9]
Tanpa syarat-syarat tersebut yang dapat mengurangi tanggung jawab, agama
menganggap bahwa penyalahgunaan bahasa dengan maksud menyesatkan bernilai salah
bahkan dosa. Fakta ini membawa kita pada kesadaran akan pentingnya memahami
secara komprehensif ucapan yang diujarkan agar bagi diri sendiri kita dapat
bertanggung jawab dan ketika menjadi pendengar, kita dapat menjadi pendengar
yang kritis.
Selain itu, sebagian besar ahli berpendapat
bahwa perbedaan yang Austin buat terhadap ucapan konstantif dan performatif
masih terlalu abstrak dan belum memiliki taksonomi yang jelas. Sebenarnya,
Austin sendiri menyadari bahwa perbedaan-perbedaan yang dibuatnya tidak
bersifat mutlak. Misalnya, tidak betul bahwa ucapan performatif selalu memakai
persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang dan aktif.[10]
Hal tersebut disebabkan oleh adanya ucapan performatif yang dirumuskan sebagai
berikut, “hadirin disilahkan berdiri”, “dilarang merokok”, dan sebagainya.[11]
Selain itu, ketika diselidiki lebih terperinci,
ternyata beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam ucapan performatif, secara
analogis dapat juga diterapkan dalam ucapan konstatif. Hal ini menandakan
bahwa, pembedaan yang dibuat oleh Austin belum sepenuhnya dapat membedakan secara
persis kedua hal yang ia pisahkan. Ada tiga kemungkinan bagaimana syarat ucapan
performatif berlaku juga bagi ucapan konstatif:
1. Ucapan performatif mensyaratkan wewenang
penuturnya. Untuk memberikan sebuah perintah, seseorang harus memiliki
wewenang. Dalam hal yang sejalan, ucapan konstatif juga mensyaratkan wewenang
penuturnya yaitu berupa pengetahuan atau pengalaman tentang fakta yang hendak
dinyatakan.[12]
Misalnya: “Saya menghadiahkan koleksi lukisan saya kepada Museum Nasional” dibandingkan
dengan “Ibukota Finlandia ialah Helsinki”. Ujaran pertama mengandaikan bahwa
penutur memiliki jam, sedangkan ujaran kedua mengandaikan penutur memiliki
pengetahuan geografi yang memadai.
2. Ucapan performatif mensyaratkan kejujuran
penutur. Dalam ucapan konstatif, dapat diandaikan bahwa ia tidak berbohong
dalam menggambarkan realitas yang dapat diverifikasi. Dengan kata lain, orang
yang mengucapkan ucapan konstantif pun harus yakin tentang apa yang
dikatakannya.[13]
Misalnya: “Saya berjanji menjemputmu besok” dibandingkan dengan “Dia seorang pengangguran”.
Kedua ujaran tersebut (yang pertama performatif dan yang kedua konstatif)
mengandaikan adanya kejujuran penutur.
3. Ucapan performatif mensyaratkan tanggung jawab
penutur. Dalam hal ini, ucapan konstatif juga membutuhkan tanggung jawab
penutur. Misalnya, seseorang mengungkapkan bahwa ia dapat berbahasa Jerman,
maka dalam kelanjutannya haruslah ia mengerti bahasa Jerman.[14]
Melihat ketiga contoh di atas, akhirnya banyak orang menyimpulkan bahwa
hanya satu kriteria yang membedakan kedua ujaran tadi yaitu kriteria dapat atau
tidak dapat dikenakan predikat benar atau tidak benar. Namun, dalam hal ini,
Austin sendiri pun mengakui bahwa perbedaan ujaran konstatif dan performatif
masih juga tidak selalu jelas. Misalnya dalam sebuah vonis dikatakan: “Atas
fakta yang terkumpul, saya menjatuhkan vonis selama enam bulan kepada saudara!”
Dalam ujaran itu, jika konsisten pada pemikiran Austin, kita tidak dapat
mengenakan kriteria benar atau salah. Namun, pada kenyataanya, ujaran demikian
(vonis) selalu berhubungan dengan realitas atau kebenaran fakta-fakta yang
menjadi titik fokus ujaran konstatif.[15]
2. Relevansi Pemikiran Austin tentang Ucapan
Performatif bagi Pengguna Bahasa Zaman ini
Pemikiran Austin tentang ucapan performatif memiliki beberapa relevansi bagi
baik penggunaan maupun pengguna bahasa pada zaman ini. Dalam tulisan ini,
terutama penulis hendak memberi perhatian pada aspek tanggung jawab yang
diemban penutur setiap kali ia mengungkapkan bahasa dan pada penyadaran bahwa“mengatakan
sesuatu berarti melakukan sesuatu”. Pada prakteknya, relevansi pemikiran Austin
tentang ucapan performatif dapat menghantar pendengar kepada kesadaran untuk
berpikir komprehensif ketika hendak berbicara maupun mendengarkan.
2.1 Berpikir Komprehensif berdasarkan Syarat
Ucapan Performatif
Setiap ujaran yang diucapkan baik oleh diri sendiri maupun orang lain
selalu bisa diteliti secara komprehensif. Penelitian yang komprehensif dalam
sebuah ujaran atau calon ujaran (bagi diri sendiri) membawa kita kepada kesadaran
akan tanggung jawab yang mungkin diemban sehingga ucapan kita tidak menjadi
ucapan yang “omong doang”.[16]
Di sisi lain, penelitian yang komprehensif dalam sebuah ujaran yang
diucapkan oleh orang lain membantu kita untuk bersikap secara tepat[17]
sehingga tidak lagi merasa tertipu, dibohongi, dan sejenisnya. Sebab, terkadang
kita tertipu (dalam konteks janji oknum politikus) justru karena kita begitu
saja menerima ucapan mereka tanpa meneliti dahulu latar belakang subyek dan
sebagainya menurut syarat ucapan performatif.[18]
2.1.1 Sikap Kritis terhadap
Ucapan sendiri
Ketika kita hendak berkata kepada teman kita: “saya berjanji akan datang
ke pesta pernikahanmu” ada beberapa hal yang perlu kita kritisi sebelum
mengucapkannya. Pertama, apakah memang ada pesta perkawinan yang akan
diselenggarakan? Pertanyaan ini berkaitan dengan syarat harus mengikuti
prosedur yang lazim berlaku. Kedua, Apakah pesta perkawinan tersebut belum
berlangsung dan diri kita memang diundang? Pertanyaan ini berkaitan dengan
syarat setiap orang yang terlibat memang mempunyai wewenang untuk
mengatakannya. Dalam konteks ini berarti kita harus memang benar-benar diundang.
Ketiga, Apakah ada kemungkinan bagi penutur untuk menghadiri pesta? Pertanyaan
ini menuntut kejujuran penutur. Pada bagian ini, terkadang penutur kurang
memperhatikannya demi menyenangkan orang yang diajak bicara. Keempat, apakah
penutur memiliki minat untuk menghadiri pesta? Pertanyaan ini menyangkut pada
pelaksanaannya kelak. Jangan sampai setelah penutur berbicara, baru ia mengakui
bahwa ia tidak punya minat sama sekali.[19]
Pertanyaan yang ketiga dan keempat sering kali dilanggar oleh penutur
demi menegakkan prinsip “basa-basi” demi menyenangkan orang yang diajak
berbicara.[20]
Atau oleh beberapa orang, demi melonggarkan dimensi tanggung jawab dari sebuah
ucapan performatif, mereka menggunakan istilah “Insya Allah”.[21]
Setelah penambahan istilah yang terakhir, bahkan sebuah ucapan performatif
tidak bisa dikenakan kategori laik atau
tidak laik, apalagi digunakan kategori salah atau tidak salah dalam konteks
mengingkari ucapan performatif.
Yang benar yang seharusnya dilakukan penutur ialah memperhatikan keempat
aspek di atas. Adalah lebih baik mengatakan tidak atau tidak mengatakan ujaran
performatif sama sekali bila kita menyadari bahwa ada salah satu syarat yang
tidak dapat kita penuhi. Meskipun, dalam lingkup filsafat kita tidak bersalah
ketika melanggar ucapan performatif, namun dalam lingkup keagamaan kita telah
melakukan sebuah pelanggaran yang bukannya tidak berarti.[22]
2.1.2 Sikap Kritis terhadap
Ucapan Orang Lain
Mendekati masa pemilihan baik legislatif maupun
eksekutif, fenomena yang sering terjadi ialah banyak para pejabat yang mulai
mengunjungi daerah-daerah. Biasanya mereka menjanjikan ini dan itu apabila
mereka terpilih kembali. Sebagai contoh: “Saya berjanji akan mengirimkan
bantuan beberapa buah traktor dan peralatan pertanian lainnya jika saya kembali
ke Jakarta (menjabat lagi, pen)
nanti.”
Ucapan performatif di atas dapat kita analisis
dengan beberapa syarat yang diajukan oleh Austin untuk menilai kelaikannya.
Setidaknya ada empat pertanyaan (sesuai dengan jumlah syarat yang Austin
ajukan) yang perlu kita jawab:
1. Apakah kunjungan pejabat tersebut dilakukan
dalam prosedur yang lazim berlaku dalam setiap kunjungan pejabat pemerintahan?
Apakah pemerintah pusat memang sengaja mengirimkannya ke daerah tersebut? Atau
barangkali kunjungan tersebut tidaklah resmi, bukan dalam rangka dinas,
melainkan karena kebetulan ia ingin mencari suara kelak?
2. Apakah pejabat tadi memang berwenang dalam
bidang pertanian, misalnya sebagai Menteri Pertanian atau staf ahli departemen
pertanian? Atau jangan-jangan pejabat tersebut tidak ada hubungannya sama
sekali dengan bidang pertanian?
3. Apakah ucapan tersebut mengandung kejujuran
penutur atau sekedar basa-basi yang menyenangkan hati demi terpilih kembali?
4. Akhirnya, apakah ucapan tersebut
dipertanggungjawabkan oleh si penutur?
Apabila
salah satu syarat di atas melenceng dari kelazimannya, maka ucapan yang
diutarakan oleh si penutur tidaklah laik. Pada akhirnya kita juga dapat
menyimpulkan bahwa si penutur tidak bertanggung jawab dan dengan begitu kita
tidak perlu memilihnya.[23]
2.2 Meneguhkan dan Bertanggung jawab Atas Iman
Berdasarkan Daya Ucapan Performatif
Pada masa positivisme logik, semua ucapan
metafisis tidaklah bermakna. Akibatnya, ucapan teologipun kehilangan maknanya
bagi positivisme logik. Namun, Donald D.Evans mengangkat makna ucapan teologi (credo, doa, pujian, dsb.) berdasarkan
teori ucapan performatif yang disumbangkan oleh Austin.[24]
Menurut
Donald, ucapan “saya memuji Tuhan”, “saya percaya kepada Allah” tidak dapat
disamakan begitu saja dengan “saya membaca buku”. Dua ucapan pertama secara
faktual tidak dapat diverifikasi, sementara ucapan yang ketiga sangat mungkin
diverifikasi. Menurut, positivisme logik, ucapan macam pertama dan kedua tidak
bermakna. Namun, Donald dengan menggunakan prinsip ucapan performatif Austin
menyatakan bahwa ucapan tersebut bermakna.
Menurut Donald, ucapan “saya memuji Tuhan” dan
“saya percaya kepada Allah” bukanlah sebatas ucapan yang melukiskan fakta,
melainkan melakukannya. Ketika, seseorang mengatakan “saya memuji Tuhan”, maka
pujian itu tidak terlepas dari ucapan tersebut. Dan sebaliknya, pujian tersebut
menjadi nyata justru karena diucapkan.[25]
Begitu juga ucapan “saya percaya kepada Allah” merupakan ucapan yang bukan
semata-mata ingin melukiskan fakta tetapi dengan ucapan tersebut penutur
benar-benar melakukannya.
Dengan mengembangkan pemikiran Austin, Donald
memperlihatkan bahwa ketika seseorang mengungkapkan ujaran teologis seperti
“saya memuji Allah” atau “saya percaya Allah Pencipta”, orang yang menggunakan
ujaran itu melibatkan dirinya dalam Allah. Menggunakan ujaran seperti itu
berarti seseorang mengambil suatu sikap. Donald menyebutnya sebagai pemakaian
bahasa auto-implikatif.
Dengan mengatakan sesuatu tentang iman,
seseorang bukan hanya sedang melukiskan fakta-fakta tertentu. Dengan mengatakan
sesuatu tentang iman berarti seseorang melibatkan dirinya dalam ucapan itu
sendiri. Misalnya, orang yang mengatakan: “saya berjanji besok akan datang
pukul 10, tetapi jangan harap saya akan muncul besok pukul 10”, ia akan
dianggap aneh. Begitu juga orang yang mengatakan: “saya percaya kepada Allah,
tetapi jangan harap saya percaya kepada-Nya”, akan dianggap aneh karena berada
di luar kelaziman.[26]
Donald memperlihatkan perbandingan antara dua
ucapan: “Saya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta semesta alam” dan “Saya
mengakui bahwa Pak Ali yang membuat meja itu”. Kalimat kedua merupakan sebuah
ucapan konstatif, dimana penutur mengambil posisi netral. Sementara itu, ucapan
pertama tidak pernah hanya mempunyai kekuatan konstatif saja. Ucapan pertama
tidak pernah bersifat netral. Dalam ucapan yang pertama, seseorang melibatkan
diri dalam ucapan tersebut dan mengambil konsekuensi dari ucapan tersebut.
Dengan mengucapkan ujaran yang pertama, orang mengakui dirinya sebagai ciptaan
yang tergantung kepada Allah pencipta.[27]
Ucapan iman tidak pernah bersifat netral karena
selalu mendatangkan konsekuensi atau tanggung jawab ketika kita memutuskan
untuk mengucapkannya. Saat mengucapkan iman, kita juga dapat mengenakan empat
syarat yang diberikan Austin dalam menguji ucapan performatif. Ketika kita
sudah mengiyakan keempat syarat yang berlaku bagi ucapan iman kita, berarti
kita bertanggung jawab atas ucapan iman kita. Bila kita melanggar, menurut
filsafat, kita memang tidak dapat salah maupun benar. Namun, menurut agama,
perbuatan kita yang secara sadar melanggar ucapan performatif kita sendiri
merupakan sebuah kesalahan bahkan dosa yang cukup berarti.[28]
3. Relevansi Pemikiran Austin tentang Ucapan
Performatif bagi Diri Sendiri
Dengan memahami teori ucapan performatif Austin, penulis menyadari bahwa
mengatakan ujaran performatif tidak hanya sebatas melukiskan fakta melainkan
sungguh-sungguh melakukannya.[29]
Oleh karena mengucapkan ujaran performatif berarti melakukan sesuatu, dimensi
tanggung jawab mendapat tempat dalam ujaran penulis (bdk. syarat keempat sebuah
ujaran performatif). Akibatnya, penulis dapat berpikir secara masak ketika
hendak mengungkapkan ujaran performatif agar tidak begitu saja melepaskan
dimensi tanggung jawab dalam setiap ujaran performatif yang mungkin penulis
ucapkan.
Sebagai seorang mahasiswa filsafat, penulis setuju bahwa ujaran
performatif tidak dapat dikenakan nilai benar atau salah. Meskipun demikian,
sebagai seorang Katolik, penulis memperhitungkan dimensi salah bahkan dosa yang
dibuat oleh kesengajaan menyalahgunakan bahasa demi menyesatkan orang lain.[30]
Dalam dimensi keagamaan, penulis belajar untuk tidak berdusta. Caranya? Dengan
berpikir secara komprehensif berdasarkan prasyarat yang dibuat oleh Austin
mengenai ujaran performatif. Penulis menyadari bahwa tindakan tidak bertanggung
jawab baik oleh diri sendiri maupun orang lain sebenarnya dapat dihindari
karena pada dasarnya setiap ucapan performatif dapat dikritisi dengan masak.
Dalam menghayati hidup sebagai seorang frater, penulis semakin menyadari
tanggung jawab penulis di setiap ucapan performatif baik lisan maupun tulisan
yang penulis buat. Saat menerima jubah, penulis mengucapkan “saya berjanji
setia…”. Saat membuat refleksi akhir semester, penulis senantiasa
mendeklarasikan “saya bersedia meneruskan…”. Dengan menggunakan “batu uji”
sayarat ucapan performatif, penulis menyadari bahwa ucapan performatif penulis
hanya laik bila penulis secara jujur memenuhi keempat syarat kelaikan sebuah
ucapan performatif tersebut. Kegagalan yang mungkin terjadi, secara mendasar
disebabkan oleh ketidakjujuran penulis akan diri sendiri dan sikap tidak
bertanggung jawab terhadap ucapan performatif yang sesungguhnya mengadakan
suatu perbuatan nyata.
Penulis menyadari bahwa melakukan sebuah ucapan performatif harus
disertai dengan kehendak. Jangan sampai terjadi, seperti yang dikatakan oleh
para filsuf willensschwach atau
ketiadaan kehendak.[31]
Dalam kehidupan religius, dengan mengetahui kekuatan sebuah ucapan
performatif, penulis semakin yakin bahwa setiap pujian, setiap doa brevir yang
penulis lambungkan kepada Allah, dan Credo
yang senantiasa penulis ungkapkan bukan sekedar ungkapan kosong. Lebih dari
itu, penulis menyadari bahwa justru dengan mengungkapkan semua itulah pujian
dan doa itu sungguh menjadi kenyataan.[32]
Berdasarkan pengembangan teori ucapan performatif Austin oleh Donald D. Evans,
penulis menyadari bahwa dengan mengungkapkan segala bentuk kepercayaan iman,
penulis semakin melibatkan diri bahkan bersatu dengan apa yang penulis
ungkapkan.[33] Penghianatan
terhadap ungkapan performatif, sekali lagi secara filosofis tidak bernilai
salah. Namun, sebagai seorang mahasiswa filsafat yang sekaligus seorang Katolik
bahkan seorang calon imam, penulis mengamini ajaran iman Gereja bahwa
penghianatan terhadap apa yang oleh Austin disebut sebagai ungkapan performatif
merupakan sebuah penipuan/dusta terhadap diri sendiri, sesama, terlebih Tuhan.
Dan, itu semua bernilai salah bahkan dosa.
[17] Bdk.
Maruli Panggabean (ed), Bahasa, Pengaruh,
dan Peranannya, (Jakarta: OBOR, 1981), hlm. 106.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar