Sekilas Organisasi Sosial
Masyarakat Jawa
Setiap hubungan kemasyarakatan senantiasa diorganisir
dalam suatu bentuk kesatuan dimana individu hidup. Kesatuan yang paling dekat
terhadap individu ialah kekerabatan. Kemudian meluas hingga pada hubungan
dengan masyarakat di luar hubungan kekerabatannya sendiri.
Kesatuan
paling sempit dalam kebudayaan Jawa ialah keluarga inti dimana terdapat suami
istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Dalam budaya Jawa keluarga inti
yang ideal adalah yang mempunyai suatu
rumah tangga sendiri yang neolokal (somah). Hal tersebut ditandai oleh
dapur yang terpisah bila keluarga inti masih ikut di dalam rumah orang tuanya
atau dapur yang benar-benar berada di rumah sendiri.
Di samping keluarga inti terdapat pula bentuk kesatuan
yang lain. Terdapat keluarga inti yang diperluas yang terdiri dari keluarga
inti ditambah orang tua suami atau isteri. Kemudian, terdapat keluarga inti
multiple yang terdiri dari keluarga inti dengan anak-anak yang sudah menikah
tetap tinggal bersama orang tuanya. Terakhir, terdapat “keluarga” yang terdiri
dari satu orang atau membujang sendiri baik laki-laki maupun perempuan. Keempat
bentuk keluarga tersebut (keluarga inti, keluarga inti yang diperluas, keluarga inti multiple, dan “keluarga” satu orang) merupakan satuan rumah tangga tersendiri
dalam masyarakat.
Keluarga
Inti
Dalam masyarakat Jawa,
keluarga inti tidak memiliki perbedaan tingkat antara pria dan wanita,
atau antara suami dan istri. Maksudnya adalah dapat saja istri menjadi orang
yang “berkuasa” karena memiliki penghasilan sendiri[1].
Meskipun demikian, untuk urusan dengan masyarakat (seaindainya ada
rapat-rapat), seorang istri tidak tampil melainkan meminta anak pria menjadi
wakilnya.
Keluarga inti memang tidak memiliki perbedaan tingkat
antara pria dan wanita, atau antara suami dan istri, namun seorang istri,
menurut norma-norma dalam keluarga inti harus menunjukkan rasa hormat (ngajeni) terhadap suaminya. Suami
dianggap sebagai seorang yang lebih tua umurnya (meskipun pada kenyataannya
lebih muda). Seorang istri tetap terutama berkewajiban mengurus rumah tangga
dan suami lebih mengutamakan hal-hal yang terjadi di luar rumah tangga.
Dalam lingkup sosial keluarga inti, seorang suami menyapa
istrinya dengan njangkar sedangkan seorang istri menyapa dengan istilah untuk
kakak yang lebih tua yaitu mas. Mereka akan merubah sapaan tersebut dengan adat
teknomini ketika sudah memiliki anak. Seorang suami akan memanggil istrinya
ibu, dan seorang istri akan memanggil suaminya pak. Kemudian, anak akan
dipanggil namanya, atau singkatan dari namanya, atau nama panggilan yang
berasal dari ciri khas yang dimiliki si anak.
Hubungan
dalam keluarga inti antar anak-anak suami istri merupakan hubungan saling membantu
menurut adat. Hal tersebut lebih terlihat ketika anak-anak semakin dewasa.
Apabila ayah dalam keluarga meninggal, seorang anak pria yang sudah dewasa
harus memikul tanggung Jawab atas adik-adiknya (anak-anak ayahnya) yang belum
dewasa. Ia biasanya harus menyekolahkan bahkan mendampingi hingga adik-adiknya
memiliki rumah tangga atau keluarga sendiri.
Keluarga
Inti yang Diperluas
Mertua juga menjadi tokoh kerabat yang penting bagi suami
atau istri. Mertua yang tinggal bersama keluarga inti anaknya menjadikan
lingkup keluarga inti tersebut diperluas. Dalam masyarakat Jawa, ayah maupun
ibu mertua disapa dengan istilah bapak dan ibu, seperti memanggil ayah dan ibu
kandung. Dalam hubungan sesama ayah maupun ibu mertua (ayah dan ibu suami dan
istri), orang tua suami selalu dianggap lebih senior dan karena itu mereka akan
disapa dengan istilah kamas dan mbakyu. Orang tua istri disapa dengan istilah dhimas dan jeng atau dhik.
Dalam bentuk keluarga inti yang
diperluas biasanya akan mengakibatkan pertikaian bila orang tua suami tinggal
bersama. Hal tersebut dapat terjadi karena ibu mertua istri (ibu suami)
kemungkinan bertikai mengenai masalah urusan rumah tangga dengan menantu
wanita. Sebaliknya, keadaan kemungkinan besar lebih kondusif jika orang tua istri
tinggal bersama. Hal tersebut terjadi karena sangat jarang terjadi seorang ibu
mertua suami (ibu istri) berselisih dengan menantu pria.
Hubungan
antara Rumah Tangga dengan Masyarakat
Suatu rumah tangga (somah)
dalam masyarakat Jawa harus berusaha menjalin suatu hubungan baik dengan
masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar mencakup yang sekampung, sedesa,
kemudian inter-desa. Hubungan baik dalam budaya Jawa dinyatakan dengan berbagai
cara bergotong royong.[2]
Gotong royong merupakan adat Jawa yang harus ditaati oleh setiap kepala
keluarga yang mewakili rumah tangganya.
Di samping gotong royong, usaha
menjalin hubungan baik diwujudkan dengan saling mengundang slametan pada
momen-momen tertentu. Setiap orang di sekitar rumah tangga diundang untuk
slametan tanpa memandang latar belakang. Adanya praktik slamatan yang tak
mengenal eksogomi keluarga dan spesialisasi kerja turun-temurun menjadi tanda
tak adanya sistem kasta dalam hubungan sosial masyarakat Jawa[3].
Meskipun hubungan sosial budaya Jawa tidak mengenal sistem kasta, tetapi tetap
mengakui adanya orang-orang yang lebih dituakan sehingga dihormati. Hal
tersebut nampak dalam slametan ketika ada perbedaan misalnya ada orang tertentu
yang makan menggunakan piring sedangkan tamu pada umumnya menggunakan daun
pisang.
Dalam hubungan sosial, masyarakat
Jawa memberi perhatian ketika ada keluarga tetangga yang anggota keluarganya
meninggal dengan menyiapkan segala-galanya untuk menguburkan jenazah. Hal ini
dimaksudkan untuk meringankan beban keluarga yang mengalami kemalangan[4].
Bantuan tersebut selain member tenaga tetapi juga menyumbangkan uang untuk
meringankan biaya pemakaman dan slametan. Semua ini dilakukan secara sukarela
dan tanpa pamrih.
Selain beberapa hal di atas terdapat
pula istilah sambat-sinambat (saling meminta pertolongan) di masyarakat Jawa.
Saling meminta pertolongan ini terjadi ketika ada keluarga yang hendak
memperbaiki rumah, mempersiapkan slametan, dsb. Biasanya permohonan
sambat-sinambat tidak boleh ditolak dengan konsekuensi dimana orang yang
meminta pertolongan mengembalikan jasa itu pada kesempatan lain. Melihat isi
sambat-sinambat, kita dapat mengatakan bahwa tradisi ini sifatnya tidak setulus
seperti dalam hal tetulung layat[5].
Kekerabatan
dalam Budaya Jawa
Kekerabatan dalam budaya Jawa merupakan keluarga luas di
luar keluarga inti, keluarga inti yang diperluas, juga masyarakat di
sekitarnya. Kekerabatan orang Jawa secara praktis Nampak dalam penyelenggaraan
perayaan-perayaan adat dan keagamaan. Kegiatan yang melibatkan hubungan
kekerabatan juga tak bersifat spontan seperti pada tetulung layat.
Kekerabatan Jawa terbagi dalam dua
kelompok besar yaitu sanak sedherek (kindred) dan alur-waris (ambilineal
ancestor-oriented kingroup). Dalam tulisan ini akan dibahas tentang sanak
sedherek yang umum ditemui di masyarakat Jawa dan mudah dimengerti dan sedikit
tentang alur waris.
Sanak sedherek merupakan kelompok kekerabatan kadangkala
bilateral yang para warganya terkait hubungan keturunan ataupun perkawinan.
Sanak Sedherek secara samar-samar mirip dengan golongan atau dalam bahasa
antropologi-sosial disebut kindred. Sanak sedherek berpusat pada sepasang suami-istri
tertentu, misalnya sanak sedherekipun Nugraha. Biasanya dalam satu kindred rata-rata beranggotakan 33 orang.
Sanak sedherek mempunyai kewajiban
berpartisipasai dan menyumbang dalam rangkaian upacara atau perayaan di
lingkungan sanak sedherek tertentu. Acara-acara itu mencakup pernikahan,
kematian slametan yang berkaitan dengan pitung ndhina (tujuh hari), patang puluh ndhina (40 hari), nyatus ndhina (100 hari), dan nyewu (1.000 hari) meninggalnya
seseorang. Setiap kegiatan dalam budaya Jawa biasanya diikuti dengan suatu
slametan, dan di sini sanak sadherek turut memberi sumbangan atau membantu
menyiapkan masakan dan lain-lain. Kewajiban hadir sanak sadherek tergantung
pada seberapa penting acara. Namun, dalam budaya Jawa, tidak hadir dalam suatu
pemakaman merupakan hal yang sangat dicela bila tanpa alasan yang sangat dapat
diterima misalnya tugas jabatan.
Alur waris merupakan suatu kelompok
kekerabatan ambilineal yang berpusat kepada satu nenek-moyang. Kekerabatan ini
memiliki kewajiban mengurus makam nenek-moyang dan mengurus pemeliharaan dan
slametan yang berkaitan dengan hal ini. Perbedaan mendasar dari kekerabatan
sanak sadherek dan alur waris terletak pada pusat keluarga, dimana sanak
sadherek berpusat pada keluarga tertentu sedangkan alur waris pada nenek-moyang
tertentu. Jadi, Dengan sistem kekerabatan dan hubungan masyarakat yang demikian
dijelaskan di atas, masyarakat Jawa tidak mengenal sistem marga dan kasta yang
membuat masyarakat terpisah-pisah secara vertikal maupun horisontal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar