Sabtu, 04 Juni 2016

SEKILAS KEKELUARGA ORANG JAWA

Sekilas Organisasi Sosial Masyarakat Jawa

Setiap hubungan kemasyarakatan senantiasa diorganisir dalam suatu bentuk kesatuan dimana individu hidup. Kesatuan yang paling dekat terhadap individu ialah kekerabatan. Kemudian meluas hingga pada hubungan dengan masyarakat di luar hubungan kekerabatannya sendiri.
Kesatuan paling sempit dalam kebudayaan Jawa ialah keluarga inti dimana terdapat suami istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Dalam budaya Jawa keluarga inti yang ideal adalah yang mempunyai suatu  rumah tangga sendiri yang neolokal (somah). Hal tersebut ditandai oleh dapur yang terpisah bila keluarga inti masih ikut di dalam rumah orang tuanya atau dapur yang benar-benar berada di rumah sendiri.
Di samping keluarga inti terdapat pula bentuk kesatuan yang lain. Terdapat keluarga inti yang diperluas yang terdiri dari keluarga inti ditambah orang tua suami atau isteri. Kemudian, terdapat keluarga inti multiple yang terdiri dari keluarga inti dengan anak-anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama orang tuanya. Terakhir, terdapat “keluarga” yang terdiri dari satu orang atau membujang sendiri baik laki-laki maupun perempuan. Keempat bentuk keluarga tersebut (keluarga inti, keluarga inti yang  diperluas, keluarga inti multiple, dan “keluarga” satu orang)  merupakan satuan rumah tangga tersendiri dalam masyarakat.

Keluarga Inti
Dalam masyarakat Jawa,  keluarga inti tidak memiliki perbedaan tingkat antara pria dan wanita, atau antara suami dan istri. Maksudnya adalah dapat saja istri menjadi orang yang “berkuasa” karena memiliki penghasilan sendiri[1]. Meskipun demikian, untuk urusan dengan masyarakat (seaindainya ada rapat-rapat), seorang istri tidak tampil melainkan meminta anak pria menjadi wakilnya.
Keluarga inti memang tidak memiliki perbedaan tingkat antara pria dan wanita, atau antara suami dan istri, namun seorang istri, menurut norma-norma dalam keluarga inti harus menunjukkan rasa hormat (ngajeni) terhadap suaminya. Suami dianggap sebagai seorang yang lebih tua umurnya (meskipun pada kenyataannya lebih muda). Seorang istri tetap terutama berkewajiban mengurus rumah tangga dan suami lebih mengutamakan hal-hal yang terjadi di luar rumah tangga.
Dalam lingkup sosial keluarga inti, seorang suami menyapa istrinya dengan njangkar sedangkan seorang istri menyapa dengan istilah untuk kakak yang lebih tua yaitu mas. Mereka akan merubah sapaan tersebut dengan adat teknomini ketika sudah memiliki anak. Seorang suami akan memanggil istrinya ibu, dan seorang istri akan memanggil suaminya pak. Kemudian, anak akan dipanggil namanya, atau singkatan dari namanya, atau nama panggilan yang berasal dari ciri khas yang dimiliki si anak.
       Hubungan dalam keluarga inti antar anak-anak suami istri merupakan hubungan saling membantu menurut adat. Hal tersebut lebih terlihat ketika anak-anak semakin dewasa. Apabila ayah dalam keluarga meninggal, seorang anak pria yang sudah dewasa harus memikul tanggung Jawab atas adik-adiknya (anak-anak ayahnya) yang belum dewasa. Ia biasanya harus menyekolahkan bahkan mendampingi hingga adik-adiknya memiliki rumah tangga atau keluarga sendiri.

Keluarga Inti yang Diperluas
            Mertua juga menjadi tokoh kerabat yang penting bagi suami atau istri. Mertua yang tinggal bersama keluarga inti anaknya menjadikan lingkup keluarga inti tersebut diperluas. Dalam masyarakat Jawa, ayah maupun ibu mertua disapa dengan istilah bapak dan ibu, seperti memanggil ayah dan ibu kandung. Dalam hubungan sesama ayah maupun ibu mertua (ayah dan ibu suami dan istri), orang tua suami selalu dianggap lebih senior dan karena itu mereka akan disapa dengan istilah kamas dan mbakyu. Orang tua istri  disapa dengan istilah dhimas dan jeng atau dhik.
            Dalam bentuk keluarga inti yang diperluas biasanya akan mengakibatkan pertikaian bila orang tua suami tinggal bersama. Hal tersebut dapat terjadi karena ibu mertua istri (ibu suami) kemungkinan bertikai mengenai masalah urusan rumah tangga dengan menantu wanita. Sebaliknya, keadaan kemungkinan besar lebih kondusif jika orang tua istri tinggal bersama. Hal tersebut terjadi karena sangat jarang terjadi seorang ibu mertua suami (ibu istri) berselisih dengan menantu pria.

Hubungan antara Rumah Tangga dengan Masyarakat
            Suatu rumah tangga (somah) dalam masyarakat Jawa harus berusaha menjalin suatu hubungan baik dengan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar mencakup yang sekampung, sedesa, kemudian inter-desa. Hubungan baik dalam budaya Jawa dinyatakan dengan berbagai cara bergotong royong.[2] Gotong royong merupakan adat Jawa yang harus ditaati oleh setiap kepala keluarga yang mewakili rumah tangganya.
            Di samping gotong royong, usaha menjalin hubungan baik diwujudkan dengan saling mengundang slametan pada momen-momen tertentu. Setiap orang di sekitar rumah tangga diundang untuk slametan tanpa memandang latar belakang. Adanya praktik slamatan yang tak mengenal eksogomi keluarga dan spesialisasi kerja turun-temurun menjadi tanda tak adanya sistem kasta dalam hubungan sosial masyarakat Jawa[3]. Meskipun hubungan sosial budaya Jawa tidak mengenal sistem kasta, tetapi tetap mengakui adanya orang-orang yang lebih dituakan sehingga dihormati. Hal tersebut nampak dalam slametan ketika ada perbedaan misalnya ada orang tertentu yang makan menggunakan piring sedangkan tamu pada umumnya menggunakan daun pisang.
            Dalam hubungan sosial, masyarakat Jawa memberi perhatian ketika ada keluarga tetangga yang anggota keluarganya meninggal dengan menyiapkan segala-galanya untuk menguburkan jenazah. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban keluarga yang mengalami kemalangan[4]. Bantuan tersebut selain member tenaga tetapi juga menyumbangkan uang untuk meringankan biaya pemakaman dan slametan. Semua ini dilakukan secara sukarela dan tanpa pamrih.
            Selain beberapa hal di atas terdapat pula istilah sambat-sinambat (saling meminta pertolongan) di masyarakat Jawa. Saling meminta pertolongan ini terjadi ketika ada keluarga yang hendak memperbaiki rumah, mempersiapkan slametan, dsb. Biasanya permohonan sambat-sinambat tidak boleh ditolak dengan konsekuensi dimana orang yang meminta pertolongan mengembalikan jasa itu pada kesempatan lain. Melihat isi sambat-sinambat, kita dapat mengatakan bahwa tradisi ini sifatnya tidak setulus seperti dalam hal tetulung layat[5].

Kekerabatan dalam Budaya Jawa
            Kekerabatan dalam budaya Jawa merupakan keluarga luas di luar keluarga inti, keluarga inti yang diperluas, juga masyarakat di sekitarnya. Kekerabatan orang Jawa secara praktis Nampak dalam penyelenggaraan perayaan-perayaan adat dan keagamaan. Kegiatan yang melibatkan hubungan kekerabatan juga tak bersifat spontan seperti pada tetulung layat.
            Kekerabatan Jawa terbagi dalam dua kelompok besar yaitu sanak sedherek (kindred) dan alur-waris (ambilineal ancestor-oriented kingroup). Dalam tulisan ini akan dibahas tentang sanak sedherek yang umum ditemui di masyarakat Jawa dan mudah dimengerti dan sedikit tentang alur waris.
            Sanak sedherek merupakan kelompok kekerabatan kadangkala bilateral yang para warganya terkait hubungan keturunan ataupun perkawinan. Sanak Sedherek secara samar-samar mirip dengan golongan atau dalam bahasa antropologi-sosial disebut kindred. Sanak sedherek berpusat pada sepasang suami-istri tertentu, misalnya sanak sedherekipun Nugraha. Biasanya dalam satu kindred rata-rata beranggotakan 33 orang.
            Sanak sedherek mempunyai kewajiban berpartisipasai dan menyumbang dalam rangkaian upacara atau perayaan di lingkungan sanak sedherek tertentu. Acara-acara itu mencakup pernikahan, kematian slametan yang berkaitan dengan pitung ndhina (tujuh hari), patang puluh ndhina (40 hari), nyatus ndhina (100 hari), dan nyewu (1.000 hari) meninggalnya seseorang. Setiap kegiatan dalam budaya Jawa biasanya diikuti dengan suatu slametan, dan di sini sanak sadherek turut memberi sumbangan atau membantu menyiapkan masakan dan lain-lain. Kewajiban hadir sanak sadherek tergantung pada seberapa penting acara. Namun, dalam budaya Jawa, tidak hadir dalam suatu pemakaman merupakan hal yang sangat dicela bila tanpa alasan yang sangat dapat diterima misalnya tugas jabatan.
            Alur waris merupakan suatu kelompok kekerabatan ambilineal yang berpusat kepada satu nenek-moyang. Kekerabatan ini memiliki kewajiban mengurus makam nenek-moyang dan mengurus pemeliharaan dan slametan yang berkaitan dengan hal ini. Perbedaan mendasar dari kekerabatan sanak sadherek dan alur waris terletak pada pusat keluarga, dimana sanak sadherek berpusat pada keluarga tertentu sedangkan alur waris pada nenek-moyang tertentu. Jadi, Dengan sistem kekerabatan dan hubungan masyarakat yang demikian dijelaskan di atas, masyarakat Jawa tidak mengenal sistem marga dan kasta yang membuat masyarakat terpisah-pisah secara vertikal maupun horisontal.





[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa...., hlm. 144.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....,  hlm.151.
[3] P.M. Laksono, Tradisi dalam ..., 56.
[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....,  hlm.152.
[5] merupakan kegiatan saling menolong ketika ada yang meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar