Minggu, 23 Agustus 2015

Manfaat Belajar Kesenian untuk Persiapan Pastoral (Bagian Pertama)

Aplikasi Pengetahuan
Tentang Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Bagi Mahasiswa STFT Sebagai Calon Tenaga Pastoral

I.       Pendahuluan
Pernyataan ‘manusia adalah makhluk sosial’ merupakan sebuah tesis umum yang hingga saat ini masih benar dan eksis. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena ia merupakan jenis makhluk yang hidup dalam kelompok[1]. Artinya, manusia saling membutuhkan satu sama lain
Ciri kehidupan berkelompok manusia yaitu: (1) memiliki pembagian kerja; (2) memiliki ketergantungan individu kepada yang lain; (3) adanya kerja sama antar individu sebagai konsekuensi langsung dari ketergantungan yang tercipta; (4) adanya komunikasi, dan; (5) mampu melakukan diskriminasi (pembedaan) antara individu-individu warga kelompok.
Untuk memasuki kehidupan berkelompok itu, seorang manusia harus melalui tahap belajar[2]. Manusia perlu belajar tentang hidup berkelompok agar dapat mengaktifkan sifat sosialnya. Sejauh mana usaha manusia mempelajari hidup berkelompok, apakah baik atau tidak, akan nampak dalam cara pandang dan sikapnya terhadap kehidupan berkelompok: ada yang cukup anti, ada yang biasa saja, namun ada pula yang dapat hidup dengan sangat baik.
Kehidupan berkelompok manusia terwujud dalam beberapa bentuk. Pada mulanya, kehidupan berkelompok terwujud dalam skala kecil antara lain suku-suku. Kemudian, bentuk tersebut diwadahi dalam wujud yang lebih luas yaitu negara yang merupakan kesatuan beragam suku[3]. Salah satu kelompok luas yang terdiri dari banyak suku ialah Indonesia. Dalam negara Indonesia dan juga lingkup yang lebih kecil di dalamnya, terdapat sebuah kesatuan manusia yang lazim disebut sebagai masyarakat atau dapat juga dikatakan sebagai masyarakat Indonesia.
Masyarakat tersebut, dalam dinamika hidupnya, mampu menciptakan banyak hal. Salah satunya ialah kebudayaan. Kebudayaan menjadi sistem gagasan yang dimiliki oleh masyarakat untuk menafsirkan dan memanfaatkan lingkungan untuk mempertahankan ke-adaan masyarakat itu sendiri[4]. Salah satu unsur kebudayaan yang dihasilkan masyarakat adalah kesenian. Maka, kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai kesenian Indonesia.
Dari penjelasan di atas, kita dapat mengangkap adanya interaksi antara masyarakat, kesenian dan masing-masing individu. Masyarakat terdiri dari individu-individu yang kemudian mencipatakan kesenian dan kesenian menjadi salah satu bagian kebudayaan yang dapat mempertahankan eksistensi sang masyarakat dan setiap anggotanya. Dengan mempelajari masyarakat dan kesenian, kita dapat memahami keberadaan kita sebagai individu di dalam tatanan masyarakat yang memiliki kebudayaan yang salah satunya ialah kesenian. Sekarang, pertanyaan yang muncul berkaitan dengan hal tersebut ialah: Apa manfaat yang diperoleh mahasiswa STFT (yang notabene-nya sedang mempersiapkan diri menjadi tenaga pastoral) ketika mempelajari dan memahami Manusia dan Kesenian Indonesia?

II.      Masyarakat dan Kesenian Indonesia
1.             Masyarakat
Hobbes berpendapat bahwa manusia adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Manusia yang demikian membutuhkan suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat tatanan norma dan nilai yang dapat menertibkannya[5]. Namun, pendapat ini tidak selamanya benar karena pada kenyataannya manusia juga memiliki hakekat sebagai makhluk sosial[6]. Oleh karena itu, terciptanya masyarakat bukan semata-mata menjadi alat kontrol tetapi juga merupakan konsekuensi logis dari esensi manusia itu sendiri.
Tidak seorang manusiapun terlahir tidak dalam suatu masyarakat tertentu. Sekurang-kurangnya, seorang manusia pasti terlahir dalam tatanan masyarakat yang diikuti ibunya. Masyarakat di sini berarti kesautan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama[7]. Sekali lagi ditegaskan bahwa pastilah ada sebuah sang masyarakat yang menjadi tempat seseorang hidup.
Karena hidup dalam sebuah masyarakat yang merupakan salah satu wujud kehidupan berkelompok, seseorang harus mampu menginternalisasi kelima ciri kehidupan berkelompok manusia yang sebelumnya telah disebutkan dalam pendahuluan. Dari pemahaman akan lima hal tersebut, seseorang kemudian dapat menempatkan diri secara tepat di dalam masyarakat sesuai dengan perannya. Menempatkan diri secara tepat juga mengandaikan seseorang telah mampu menginternalisasi nilai-nilai dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat yang diikutinya. Seseorang yang tidak mampu memenuhi kriteria hidup dalam standar nilai dan norma suatu kelompok yang diikutinya akan dianggap sebagai orang yang menyimpang.
Masyarakat secara teknis dapat dibedakan menjadi “masyarakat dalam arti luas” dan “masyarakat dalam arti sempit”[8]. Konsep ini dikemukakan oleh seorang guru besar ilmu sosiologi Universitas Gadjah Mada, M.M. Djojodigoeno. Negara merupakan sebuah “masyarakat dalam arti luas”, sedangkan klan atau suku termasuk dalam sebuah “masyarakat dalam arti sempit”. Karena negara selalu terdiri dari beberapa suku bangsa, maka hal ini juga mencerminkan bahwa “masyarakat dalam arti luas” selalu teridri dari “masyarakat dalam arti sempit”.
Seseorang selalu hidup di dalam dua lingkup masyarakat tersebut di atas. Seseorang selalu sekaligus menjadi anggota “masyarakat dalam arti sempit” dan menjadi anggota “masyarakat dalam arti luas”. Menurut Groener, seseorang cenderung akan kembali kepada tatanan tradisional dari “masyarakat dalam arti sempit”, terutama dalam hal daur hidup dan daur matinya. Hal ini terjadi pertama-tama demi keberlangsungan eksistensi seseorang dalam masyarakat yang lebih sempit.
Kecenderungan etnosentris tersebut di atas dapat mengancam keberlangsungan masyarakat dalam arti yang lebih luas. Oleh karena itu, muncullah kebutuhan akan keselarasan untuk mengawal eksistensi sebuah masyarakat yang lebih luas[9]. Tanpa keselarasan, masyarakat dalam lingkup yang lebih luas sulit bertahan. Padahal, bermasyarakat secara umum lebih menguntungkan, efisien, dan efektif daripada hidup sendirian atau hidup dalam kelompok yang terisolasi[10]. Masyarakat ada agar orang dapat saling membatu, misalnya yang kuat membantu yang lemah dan sebagainya[11]. Maka, masing-masing individu maupun sub-sub masyarakat wajib memupuk keselarasan dan tujuan bermasyarakat (kepedulian satu sama lain).
“Masyarakat dalam arti sempit” yang beragam jenisnya memiliki kewajiban untuk tetap mempertahankan keselarasan masyarakat keseluruhan. Ini merupakan bibit dari dialog dan toleransi dalam masyarakat. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial mendorong dirinya untuk menciptakan kedua hal tersebut. Namun, semuanya itu harus terlebih dahulu dipelajari karena dialog dan toleransi merupakan sebuah kegiatan diri yang dilakukan secara sadar dan bebas (action)[12].
Akhirnya, kita dapat melihat bahwa meskipun hidup bermasyarakat merupakan konsekuensi logis dari hakekat manusia sebagai makhluk sosial, namun kehidupan bermasyarakat dapat terus berlangsung juga dapat punah. Semuanya tergantung pada individu yang hidup dalam kehidupan bermasyarakat tersebut. Manusia dengan akal dan kebebasannya dapat mengingkari makna dirinya sebagai makhluk sosil, kemudian merusak tatanan hidup bermasyarakat dengan dorongan egoisme yang dimilikinya[13].

2.       Unsur-unsur Masyarakat
Unsur-unsur masyarakat mencakup kategori sosial, golongan sosial, komuniatas, kelompok dan perkumpulan. Masyarakat pada dasarnya merupakan sebuah kesatuan hidup manusia yang saling berinteraksi. Semakin luas wilayah masyarakat, bila tanpa alat, maka akan semakin sulit terjadi interaksi yang efektif. Sebaliknya, semakin sempit wilayah maka semakin mudah masyarakat berinteraksi.
Meski demikian, tidak semua yang berinteraksi akan disebut masyarakat. Harus ada ikatan lain yang khusus. Ikatan yang lain yang khusus berarti pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan dalam jangka yang kontinu. Orang-orang di asrama putri tidak dapat disebut sebagai masyarakat karena orang-orang yang berada di sana akan silih berganti. Sedangkan, sebuah komunitas biara dapat disebut sebuah masyarakat karena walaupun orang-orang dalam komunitas biara berubah-ubah namun ada sebuah nilai yang menyatukan, mungkin konstitusi atau sejenisnya.
Contoh lain yang tak dapat dikatakan sebagai masyarakat ialah kerumunan orang-orang di warung jamu. Namun kerumunan itu bisa juga dikoordinir seperti di biara, misalnya ada yang berteriak ‘maling!’, tetapi hal ini hanya bersifat sementara dan tidak kontinu sehingga tidak memenuhi kriteria masyarakat dalam arti yang sebenarnya.
Masyarakat dan segala unsur-unsurnya ada lagi-lagi untuk kepentingan eksistensi manusia. Masyarakat dibutuhkan untuk membangun sebuah kepedulian satu sama lain. Harapan adanya masyarakat ialah orang saling membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Untuk itulah masyarakat ada.

2.1     Kategori Sosial
Kategori sosial tidak sama dengan masyarakat. Kategori sosial terwujud karena adanya suatu ciri obyektif yang dapat dikenakan pada manusia-manusia tertentu[14]. Misalnya, orang-orang berumur di bawah tujuh belas tahun dapat dikategorikan ke dalam kategori orang berumur di bawah tujuh belas tahun. Dalam kategori sosial tidak harus ada interaksi dan norma-norma yang mengikat layaknya pada masyarakat.
Kategori sosial muncul sesuai kebutuhan orang yang melakukan pengkategorian. Biasanya, orang-orang yang sering dan sangat vital melakukan pengkategorian ialah para sales pemasaran. Kategori sosial menjadi penting agar barang atau jasa yang mereka tawarkan dapat diterima baik oleh orang-orang yang ditawari. Kesalahan pengkategorian akan berakibat tidak lakunya barang yang dipasarkan.

2.2     Golongan Sosial
Golongan sosial dan kategori sosial meskipun dalam bahasa Inggris diterjemahkan dari kata yang sama social category, namun memiliki sedikit  perbedaan. Golongan sosial memiliki ikatan tertentu  atau ciri tertentu meskipun hanya sedikit. Misalnya golongan muda. Golongan muda memiliki ciri pengikat yaitu sifat "muda", jadi meskipun orang sudah tua tetapi memiliki semangat muda dapat masuk dalam golongan ini. Sebaliknya, orang muda yang memiliki semangat tua tidak masuk dalam golongan ini.
Selain itu, adanya ungkapan, "Ah, kami hanya petani!" juga menunjukkan adanya penggolongan sosial. Perlu diakui pula bahwa tetap masih ada kesatuan manusia yang disebut golongan sosial atau lebih dikenal dengan sebutan lapisan atau kelas sosial. Seperti ungkapan pada awal kalimat tadi, adanya lapisan petani mengandaikan ada juga lapisan-lapisan lain seperti guru, nelayan, kaya, miskin, bangsawan, jelata, dll.
Pada masa sekarang, golongan sosial dalam beberapa konteks tertentu dapat “naik dan turun”. Status sosial tinggi dalam masyarakat tidak selalu otomatis memudahkan seseorang dalam hal finansial. Sebaliknya juga, orang dengan finansial tinggi belum tentu memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat. Sebagai contoh, sebagai berikut: seorang uskup termasuk dalam golongan yang tinggi di tengah masyarakatnya, namun dalam hal finansial seorang uskup tidak tergolong tinggi. Kemudian, seorang Polisi yang korup, meskipun memiliki finansial tinggi namun tidak digolongkan ke dalam kelas yang tinggi.
Golongan sosial dengan contoh-contoh di atas tetap tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat karena meski ada sistem norma, rasa identitas sosial, dan kontinuitas, namun golongan sosial tidak memiliki sebuah syarat lain yaitu prasarana khusus untuk melakukan interaksi sosial. Banyak “anggota” golongan pemuda atau golongan polisi atau golongan kaya tidak seluruhnya dapat berinteraksi melalui sebuah sistem prasarana khusus yang sudah ada dalam masyarakat[15].

2.3     Kelompok dan Perkumpulan
Kelompok atau group juga merupakan seuatu masyarakat. Kelompok memiliki sistem interaksi, norma yang mengatur, rasa identitas yang menyatukan, dan kontunuitas. Selain itu, kelompok memiliki dua ciri tambahan yaitu organisasi dan sitem pimpinan.
Dua ciri tambahan itu juga dimiliki oleh kesatuan manusia yang paling besar masa kini yaitu negara. Meskipun demikian, sangat jarang Indonesia disebut sebagai kelompok Indonesia atau misalnya, kelompok Yogyakarta. Dari ilustrasi ini, yang hendak dikatakan ialah ketakterikatan kelompok terhadap ciri lokasi tertentu. Ciri lokasi bukan berupakan ciri khas kelompok.
Ciri lokasi memang bukan ciri khas kelomopok, meski begitu, ada pula kelompok-kelompok yang kebetulan se-lokasi. Contohnya ialah PSIS di Semarang atau Sriwijaya di Palembang. Berlawanan dari contoh kelompok yang memiliki lokasi sama, contoh kelompok Tarigan tidak terbatas dalam lokasi tertentu. Kelompok marga Tarigan tidak hanya terbatas di asal mereka yaitu Kabanjahe tetapi juga tersebar di banyak daerah lain.
Contoh kelompok yang pertama yaitu PSIS dan Sriwijaya disebut sebagai formal organization atau association. Kemudian, contoh kelompok yang kedua yaitu marga Tarigan disebut sebagai primary group atau informal organization. Perbedaan keduanya terletak pada dasar pembentukannya. Association dasarnya ialah “organisasi buatan”, sedangkan primary group dasarnya ialah “organisasi adat”[16].

3.       Kesenian Indonesia
Indonesia terdiri dari banyak sub-sub masyarakat yaitu suku-suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke. Masing-masing masyarakat menciptakan alat-alat baik material maupun immaterial untuk mempertahankan eksistensi mereka. Alat tersebut ialah kebudayaan. Kebudayaan menjadi alat masyarakat untuk saling berinteraksi dan juga memberi makna pada diri mereka[17]. Salah satu hasil kebudayaan masyarakat ialah kesenian.
Kesenian sebuah masyarakat terkadang merupakan representasi atau ekspresi pola pandang masyarakat tersebut atas alam dan sesamanya. Di dalam kesenian, terkadang kita menemukan adanya diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Contohnya ialah kesenian-kesenian tari tradisional dalam masyarakat Nias: hombo batu, faubele, dan sebagainya. Kenyataan ini mengindikasikan adanya pendekatan yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Nias. Diskriminasi tersebut menampilkan bahwa ada nilai tertentu yang harus diikuti ketika seseorang hendak berinteraksi dengan anggota masyarakat Nias.
Di sisi lain, kesenian juga menjadi ekspresi dari ideologi pembuatnya. Tidak jarang dalam masyarakat Jawa, nilai-nilai, ajaran-ajaran, dan ideologi Jawa disampaikan dalam sebuah seni pewayangan[18]. Dalam hal ini, kesenian wayang menjadi ekspresi ideologi masyarakat pengikutnya. Sebagai perbandingan: masyarakat Batak Toba mengekspresikan ide tentang pembagian kosmos yaitu banua ginjang, banua tonga, dan banua toru dalam arsitektur rumah adatnya yang terbagi menjadi tiga. Oleh karena itu, pendekatan nilai-nilai dan norma masyarkat lewat keseniannya ternyata efektif.
Kemudian, kita dapat mengerti bahwa kesenian dapat menjadi sarana komunikasi yang baik[19]. Kesenian juga dapat menjadi sarana berintegrasi ke dalam sebuah masyarakat tertentu, karena seni suatu masyarakat senantiasa mengandung nilai-nilai dan norma yang mengikat dalam masyarakat tersebut[20]. Ketika seseorang mengerti kesenian masyarakat tertentu, ia dapat menangkap nilai yang ditawarkan, dan ketika ia mampu menginternalisasikan nilai-nilai dan norma tersebut kepada dirinya maka ia diterima dalam masyarakat tersebut[21].
Dalam beberapa presentasi tentang kesenian: Batak Toba, Nias, Batak Karo, Jawa, Flores, dan Timor; ada sebuah fakta yang sama yaitu semua kesenian selalu menawarkan nilai dan norma tertentu yang dipengang oleh anggota masyarakat. Nilai yang ditawarkan selalu relevan dengan kehidupan anggota. Kesenian dengan nilai-nilai yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan anggota masyarkat, ternyata mengalami kepunahan. Misalnya, seni wayang beber dalam budaya Jawa tidak lagi eksis karena menceritakan tentang konsep kerajaan yang sekarang tidak lagi diikuti oleh anggota masyarakat.
Akan tetapi, tidak semua kesenian dengan nilai yang tidak lagi relevan akhirnya punah. Ada pula beberapa kesenian masyarakat yang akhirnya menyesuaikan nilai masa kini dan meninggalkan nilai masa sebelumnya yang telah ada dalam kesenian tersebut. Misalnya, tari perang dalam masyarakat Nias diberi makna baru karena makna yang lama yaitu yang selalu berhubungan dengan perang sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan anggota masyarakat masa kini yang tidak lagi hidup dalam suasana perang.
Melihat dua kenyataan tersebut, ternyata segala bentuk penyesuaian menjadi tindakan yang penting. Segala sesuatu, bila ingin tetap ada, perlu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang ada dalam sebuah masyarakat. Ketidakpekaan terhadap penyesuaan atau penyelarasan mengakibatkan sesuatu ditinggalkan oleh sang masyarakat hingga akhirnya kehilangan eksistensinya.



[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 109; bdk. Suparto, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA Kelas IIIA Semester 5-6, (Bandung: Armico, 1987), hlm. 68.
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 111.
[3] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 115.
[4] Kebudayaan dalam arti ini adalah pengertian kebudayaan yang disampaikan oleh Parsudi Suparlan.
[5] J. van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970), (Jakarta: PT Gramedia, 1988), hlm. 198.
[6] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 118.
[7] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 109.
[8] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 119.
[9] J.Coleta dan Umar Kayam (ed), Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987), hlm. 101.
[10] Bdk. J.Coleta dan Umar Kayam (ed), Kebudayaan dan…, hlm. 101.
[11] Berdasarkan penjelasan dalam kuliah Masyarakat dan Kesenian Indonesia, 13 Februari 2015.
[12] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 111.
[13] Bdk. koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 109.
[14] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 120.
[15] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 124.
[16] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 126.
[17] J.Colleta dan Umar Kayam (ed), Kebudayaan dan…, hlm. 320.
[18] Sri Mulyono, Wayang dan Filsafat Nusantara, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1982), hlm 79.
[19] Edi Sedyawati dan Sapardi Djoko Damono (ed.), Seni dalam Masyarakat Indonesia Bunga Rampai, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 57.
[20] Penjelasan dalam mata kulih Masyarakat dan Kesenian Indonesia,
[21] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 185.

4 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas tulisannya. Sangat inspiratif.
    Saran:
    1. Hati-hati terhadap kesalahan penulisan
    2. Tetap perhatikan sistematika penulisan (pendahuluan, landasan penulisan, data dan pembahasan, penutup dan kesimpulan)
    Tuhan memberkati.

    BalasHapus
  3. makasih mas koreksinya
    itung2 belajar nulis

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus