Aplikasi Pengetahuan
Tentang Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Bagi Mahasiswa STFT Sebagai Calon Tenaga Pastoral
I. Pendahuluan
Pernyataan ‘manusia adalah makhluk sosial’
merupakan sebuah tesis umum yang hingga saat ini masih benar dan eksis. Manusia
dikatakan sebagai makhluk sosial karena ia merupakan jenis makhluk yang hidup
dalam kelompok[1].
Artinya, manusia saling membutuhkan satu sama lain
Ciri kehidupan berkelompok manusia yaitu:
(1) memiliki pembagian kerja; (2) memiliki ketergantungan individu kepada yang
lain; (3) adanya kerja sama antar individu sebagai konsekuensi langsung dari
ketergantungan yang tercipta; (4) adanya komunikasi, dan; (5) mampu melakukan
diskriminasi (pembedaan) antara individu-individu warga kelompok.
Untuk memasuki kehidupan berkelompok itu,
seorang manusia harus melalui tahap belajar[2].
Manusia perlu belajar tentang hidup berkelompok agar dapat mengaktifkan sifat
sosialnya. Sejauh mana usaha manusia mempelajari hidup berkelompok, apakah baik
atau tidak, akan nampak dalam cara pandang dan sikapnya terhadap kehidupan
berkelompok: ada yang cukup anti, ada yang biasa saja, namun ada pula yang
dapat hidup dengan sangat baik.
Kehidupan berkelompok manusia terwujud
dalam beberapa bentuk. Pada mulanya, kehidupan berkelompok terwujud dalam skala
kecil antara lain suku-suku. Kemudian, bentuk tersebut diwadahi dalam wujud
yang lebih luas yaitu negara yang merupakan kesatuan beragam suku[3].
Salah satu kelompok luas yang terdiri dari banyak suku ialah Indonesia. Dalam
negara Indonesia dan juga lingkup yang lebih kecil di dalamnya, terdapat sebuah
kesatuan manusia yang lazim disebut sebagai masyarakat atau dapat juga
dikatakan sebagai masyarakat Indonesia.
Masyarakat tersebut, dalam dinamika
hidupnya, mampu menciptakan banyak hal. Salah satunya ialah kebudayaan.
Kebudayaan menjadi sistem gagasan yang dimiliki oleh masyarakat untuk
menafsirkan dan memanfaatkan lingkungan untuk mempertahankan ke-adaan
masyarakat itu sendiri[4].
Salah satu unsur kebudayaan yang dihasilkan masyarakat adalah kesenian. Maka,
kesenian yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia dapat dikatakan sebagai
kesenian Indonesia.
Dari
penjelasan di atas, kita dapat mengangkap adanya interaksi antara masyarakat,
kesenian dan masing-masing individu. Masyarakat terdiri dari individu-individu
yang kemudian mencipatakan kesenian dan kesenian menjadi salah satu bagian
kebudayaan yang dapat mempertahankan eksistensi sang masyarakat dan setiap
anggotanya. Dengan mempelajari masyarakat dan kesenian, kita dapat memahami
keberadaan kita sebagai individu di dalam tatanan masyarakat yang memiliki kebudayaan
yang salah satunya ialah kesenian. Sekarang, pertanyaan yang muncul berkaitan
dengan hal tersebut ialah: Apa manfaat yang diperoleh mahasiswa STFT (yang notabene-nya sedang mempersiapkan diri
menjadi tenaga pastoral) ketika mempelajari dan memahami Manusia dan Kesenian
Indonesia?
II. Masyarakat dan Kesenian Indonesia
1.
Masyarakat
Hobbes berpendapat bahwa
manusia adalah serigala bagi manusia yang lain (homo homini lupus). Manusia
yang demikian membutuhkan suatu masyarakat yang di dalamnya terdapat tatanan
norma dan nilai yang dapat menertibkannya[5].
Namun, pendapat ini tidak selamanya benar karena pada kenyataannya manusia juga
memiliki hakekat sebagai makhluk sosial[6].
Oleh karena itu, terciptanya masyarakat bukan semata-mata menjadi alat kontrol
tetapi juga merupakan konsekuensi logis dari esensi manusia itu sendiri.
Tidak seorang manusiapun
terlahir tidak dalam suatu masyarakat tertentu. Sekurang-kurangnya, seorang
manusia pasti terlahir dalam tatanan masyarakat yang diikuti ibunya. Masyarakat
di sini berarti kesautan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem
adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan yang terikat oleh suatu rasa
identitas bersama[7].
Sekali lagi ditegaskan bahwa pastilah ada sebuah sang masyarakat yang menjadi
tempat seseorang hidup.
Karena hidup dalam sebuah
masyarakat yang merupakan salah satu wujud kehidupan berkelompok, seseorang
harus mampu menginternalisasi kelima ciri kehidupan berkelompok manusia yang
sebelumnya telah disebutkan dalam pendahuluan. Dari pemahaman akan lima hal tersebut,
seseorang kemudian dapat menempatkan diri secara tepat di dalam masyarakat
sesuai dengan perannya. Menempatkan diri secara tepat juga mengandaikan
seseorang telah mampu menginternalisasi nilai-nilai dan norma-norma yang ada di
dalam masyarakat yang diikutinya. Seseorang yang tidak mampu memenuhi kriteria
hidup dalam standar nilai dan norma suatu kelompok yang diikutinya akan
dianggap sebagai orang yang menyimpang.
Masyarakat secara teknis
dapat dibedakan menjadi “masyarakat dalam arti luas” dan “masyarakat dalam arti
sempit”[8].
Konsep ini dikemukakan oleh seorang guru besar ilmu sosiologi Universitas
Gadjah Mada, M.M. Djojodigoeno. Negara merupakan sebuah “masyarakat dalam arti
luas”, sedangkan klan atau suku termasuk dalam sebuah “masyarakat dalam arti
sempit”. Karena negara selalu terdiri dari beberapa suku bangsa, maka hal ini
juga mencerminkan bahwa “masyarakat dalam arti luas” selalu teridri dari
“masyarakat dalam arti sempit”.
Seseorang selalu hidup di
dalam dua lingkup masyarakat tersebut di atas. Seseorang selalu sekaligus
menjadi anggota “masyarakat dalam arti sempit” dan menjadi anggota “masyarakat
dalam arti luas”. Menurut Groener, seseorang cenderung akan kembali kepada tatanan
tradisional dari “masyarakat dalam arti sempit”, terutama dalam hal daur hidup
dan daur matinya. Hal ini terjadi pertama-tama demi keberlangsungan eksistensi
seseorang dalam masyarakat yang lebih sempit.
Kecenderungan etnosentris
tersebut di atas dapat mengancam keberlangsungan masyarakat dalam arti yang
lebih luas. Oleh karena itu, muncullah kebutuhan akan keselarasan untuk
mengawal eksistensi sebuah masyarakat yang lebih luas[9].
Tanpa keselarasan, masyarakat dalam lingkup yang lebih luas sulit bertahan.
Padahal, bermasyarakat secara umum lebih menguntungkan, efisien, dan efektif
daripada hidup sendirian atau hidup dalam kelompok yang terisolasi[10].
Masyarakat ada agar orang dapat saling membatu, misalnya yang kuat membantu
yang lemah dan sebagainya[11].
Maka, masing-masing individu maupun sub-sub masyarakat wajib memupuk
keselarasan dan tujuan bermasyarakat (kepedulian satu sama lain).
“Masyarakat dalam arti
sempit” yang beragam jenisnya memiliki kewajiban untuk tetap mempertahankan
keselarasan masyarakat keseluruhan. Ini merupakan bibit dari dialog dan
toleransi dalam masyarakat. Hakekat manusia sebagai makhluk sosial mendorong
dirinya untuk menciptakan kedua hal tersebut. Namun, semuanya itu harus
terlebih dahulu dipelajari karena dialog dan toleransi merupakan sebuah
kegiatan diri yang dilakukan secara sadar dan bebas (action)[12].
Akhirnya, kita dapat
melihat bahwa meskipun hidup bermasyarakat merupakan konsekuensi logis dari
hakekat manusia sebagai makhluk sosial, namun kehidupan bermasyarakat dapat
terus berlangsung juga dapat punah. Semuanya tergantung pada individu yang
hidup dalam kehidupan bermasyarakat tersebut. Manusia dengan akal dan
kebebasannya dapat mengingkari makna dirinya sebagai makhluk sosil, kemudian
merusak tatanan hidup bermasyarakat dengan dorongan egoisme yang dimilikinya[13].
2.
Unsur-unsur Masyarakat
Unsur-unsur
masyarakat mencakup kategori sosial, golongan sosial, komuniatas, kelompok dan
perkumpulan. Masyarakat pada dasarnya merupakan sebuah kesatuan hidup manusia
yang saling berinteraksi. Semakin luas wilayah masyarakat, bila tanpa alat,
maka akan semakin sulit terjadi interaksi yang efektif. Sebaliknya, semakin
sempit wilayah maka semakin mudah masyarakat berinteraksi.
Meski demikian, tidak semua yang berinteraksi akan
disebut masyarakat. Harus ada ikatan lain yang khusus. Ikatan yang lain yang
khusus berarti pola tingkah laku yang khas mengenai semua faktor kehidupan
dalam jangka yang kontinu. Orang-orang di asrama putri tidak dapat disebut
sebagai masyarakat karena orang-orang yang berada di sana akan silih berganti.
Sedangkan, sebuah komunitas biara dapat disebut sebuah masyarakat karena
walaupun orang-orang dalam komunitas biara berubah-ubah namun ada sebuah nilai
yang menyatukan, mungkin konstitusi atau sejenisnya.
Contoh lain yang tak dapat dikatakan sebagai masyarakat
ialah kerumunan orang-orang di warung jamu. Namun kerumunan itu bisa juga
dikoordinir seperti di biara, misalnya ada yang berteriak ‘maling!’, tetapi hal
ini hanya bersifat sementara dan tidak kontinu sehingga tidak memenuhi kriteria
masyarakat dalam arti yang sebenarnya.
Masyarakat dan segala unsur-unsurnya ada lagi-lagi untuk
kepentingan eksistensi manusia. Masyarakat dibutuhkan untuk membangun sebuah
kepedulian satu sama lain. Harapan adanya masyarakat ialah orang saling
membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin. Untuk
itulah masyarakat ada.
2.1 Kategori Sosial
Kategori sosial tidak sama dengan masyarakat. Kategori
sosial terwujud karena adanya suatu ciri obyektif yang dapat dikenakan pada
manusia-manusia tertentu[14].
Misalnya, orang-orang berumur di bawah tujuh belas tahun dapat dikategorikan ke
dalam kategori orang berumur di bawah tujuh belas tahun. Dalam kategori sosial
tidak harus ada interaksi dan norma-norma yang mengikat layaknya pada
masyarakat.
Kategori sosial muncul sesuai kebutuhan orang yang
melakukan pengkategorian. Biasanya, orang-orang yang sering dan sangat vital
melakukan pengkategorian ialah para sales
pemasaran. Kategori sosial menjadi penting agar barang atau jasa yang mereka
tawarkan dapat diterima baik oleh orang-orang yang ditawari. Kesalahan
pengkategorian akan berakibat tidak lakunya barang yang dipasarkan.
2.2 Golongan Sosial
Golongan sosial dan kategori sosial meskipun dalam bahasa
Inggris diterjemahkan dari kata yang sama social
category, namun memiliki sedikit
perbedaan. Golongan sosial memiliki ikatan tertentu atau ciri tertentu meskipun hanya sedikit.
Misalnya golongan muda. Golongan muda memiliki ciri pengikat yaitu sifat
"muda", jadi meskipun orang sudah tua tetapi memiliki semangat muda
dapat masuk dalam golongan ini. Sebaliknya, orang muda yang memiliki semangat
tua tidak masuk dalam golongan ini.
Selain itu, adanya ungkapan, "Ah, kami hanya petani!" juga menunjukkan adanya
penggolongan sosial. Perlu diakui pula bahwa tetap masih ada kesatuan manusia
yang disebut golongan sosial atau lebih dikenal dengan sebutan lapisan atau
kelas sosial. Seperti ungkapan pada awal kalimat tadi, adanya lapisan petani
mengandaikan ada juga lapisan-lapisan lain seperti guru, nelayan, kaya, miskin,
bangsawan, jelata, dll.
Pada masa sekarang, golongan sosial dalam beberapa
konteks tertentu dapat “naik dan turun”. Status sosial tinggi dalam masyarakat
tidak selalu otomatis memudahkan seseorang dalam hal finansial. Sebaliknya
juga, orang dengan finansial tinggi belum tentu memiliki status sosial yang
tinggi di masyarakat. Sebagai contoh, sebagai berikut: seorang uskup termasuk
dalam golongan yang tinggi di tengah masyarakatnya, namun dalam hal finansial
seorang uskup tidak tergolong tinggi. Kemudian, seorang Polisi yang korup,
meskipun memiliki finansial tinggi namun tidak digolongkan ke dalam kelas yang
tinggi.
Golongan sosial dengan contoh-contoh di atas tetap tidak
dapat dikatakan sebagai masyarakat karena meski ada sistem norma, rasa
identitas sosial, dan kontinuitas, namun golongan sosial tidak memiliki sebuah
syarat lain yaitu prasarana khusus untuk melakukan interaksi sosial. Banyak
“anggota” golongan pemuda atau golongan polisi atau golongan kaya tidak seluruhnya
dapat berinteraksi melalui sebuah sistem prasarana khusus yang sudah ada dalam
masyarakat[15].
2.3 Kelompok dan Perkumpulan
Kelompok atau group
juga merupakan seuatu masyarakat. Kelompok memiliki sistem interaksi, norma
yang mengatur, rasa identitas yang menyatukan, dan kontunuitas. Selain itu,
kelompok memiliki dua ciri tambahan yaitu organisasi dan sitem pimpinan.
Dua ciri tambahan itu juga dimiliki oleh kesatuan manusia
yang paling besar masa kini yaitu negara. Meskipun demikian, sangat jarang
Indonesia disebut sebagai kelompok Indonesia atau misalnya, kelompok
Yogyakarta. Dari ilustrasi ini, yang hendak dikatakan ialah ketakterikatan
kelompok terhadap ciri lokasi tertentu. Ciri lokasi bukan berupakan ciri khas
kelompok.
Ciri lokasi memang bukan ciri khas kelomopok, meski
begitu, ada pula kelompok-kelompok yang kebetulan se-lokasi. Contohnya ialah
PSIS di Semarang atau Sriwijaya di Palembang. Berlawanan dari contoh kelompok
yang memiliki lokasi sama, contoh kelompok Tarigan tidak terbatas dalam lokasi
tertentu. Kelompok marga Tarigan tidak hanya terbatas di asal mereka yaitu
Kabanjahe tetapi juga tersebar di banyak daerah lain.
Contoh kelompok yang pertama yaitu PSIS dan Sriwijaya
disebut sebagai formal organization
atau association. Kemudian, contoh
kelompok yang kedua yaitu marga Tarigan disebut sebagai primary group atau informal
organization. Perbedaan keduanya terletak pada dasar pembentukannya. Association dasarnya ialah “organisasi
buatan”, sedangkan primary group
dasarnya ialah “organisasi adat”[16].
3. Kesenian Indonesia
Indonesia terdiri dari banyak sub-sub
masyarakat yaitu suku-suku bangsa yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke.
Masing-masing masyarakat menciptakan alat-alat baik material maupun immaterial
untuk mempertahankan eksistensi mereka. Alat tersebut ialah kebudayaan.
Kebudayaan menjadi alat masyarakat untuk saling berinteraksi dan juga memberi
makna pada diri mereka[17].
Salah satu hasil kebudayaan masyarakat ialah kesenian.
Kesenian sebuah masyarakat terkadang
merupakan representasi atau ekspresi pola pandang masyarakat tersebut atas alam
dan sesamanya. Di dalam kesenian, terkadang kita menemukan adanya diskriminasi
antara laki-laki dan perempuan. Contohnya ialah kesenian-kesenian tari
tradisional dalam masyarakat Nias: hombo
batu, faubele, dan sebagainya.
Kenyataan ini mengindikasikan adanya pendekatan yang berbeda terhadap laki-laki
dan perempuan dalam masyarakat Nias. Diskriminasi tersebut menampilkan bahwa
ada nilai tertentu yang harus diikuti ketika seseorang hendak berinteraksi
dengan anggota masyarakat Nias.
Di sisi lain, kesenian juga menjadi
ekspresi dari ideologi pembuatnya. Tidak jarang dalam masyarakat Jawa,
nilai-nilai, ajaran-ajaran, dan ideologi Jawa disampaikan dalam sebuah seni
pewayangan[18].
Dalam hal ini, kesenian wayang menjadi ekspresi ideologi masyarakat
pengikutnya. Sebagai perbandingan: masyarakat Batak Toba mengekspresikan ide
tentang pembagian kosmos yaitu banua
ginjang, banua tonga, dan banua toru dalam arsitektur rumah
adatnya yang terbagi menjadi tiga. Oleh karena itu, pendekatan nilai-nilai dan
norma masyarkat lewat keseniannya ternyata efektif.
Kemudian, kita dapat mengerti bahwa
kesenian dapat menjadi sarana komunikasi yang baik[19].
Kesenian juga dapat menjadi sarana berintegrasi ke dalam sebuah masyarakat
tertentu, karena seni suatu masyarakat senantiasa mengandung nilai-nilai dan
norma yang mengikat dalam masyarakat tersebut[20].
Ketika seseorang mengerti kesenian masyarakat tertentu, ia dapat menangkap
nilai yang ditawarkan, dan ketika ia mampu menginternalisasikan nilai-nilai dan
norma tersebut kepada dirinya maka ia diterima dalam masyarakat tersebut[21].
Dalam beberapa presentasi tentang
kesenian: Batak Toba, Nias, Batak Karo, Jawa, Flores, dan Timor; ada sebuah
fakta yang sama yaitu semua kesenian selalu menawarkan nilai dan norma tertentu
yang dipengang oleh anggota masyarakat. Nilai yang ditawarkan selalu relevan
dengan kehidupan anggota. Kesenian dengan nilai-nilai yang tidak lagi relevan
dengan kebutuhan anggota masyarkat, ternyata mengalami kepunahan. Misalnya,
seni wayang beber dalam budaya Jawa tidak lagi eksis karena menceritakan
tentang konsep kerajaan yang sekarang tidak lagi diikuti oleh anggota
masyarakat.
Akan tetapi, tidak semua kesenian dengan
nilai yang tidak lagi relevan akhirnya punah. Ada pula beberapa kesenian
masyarakat yang akhirnya menyesuaikan nilai masa kini dan meninggalkan nilai
masa sebelumnya yang telah ada dalam kesenian tersebut. Misalnya, tari perang
dalam masyarakat Nias diberi makna baru karena makna yang lama yaitu yang
selalu berhubungan dengan perang sudah tidak lagi relevan dengan kebutuhan
anggota masyarakat masa kini yang tidak lagi hidup dalam suasana perang.
Melihat dua kenyataan tersebut, ternyata
segala bentuk penyesuaian menjadi tindakan yang penting. Segala sesuatu, bila
ingin tetap ada, perlu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang ada dalam
sebuah masyarakat. Ketidakpekaan terhadap penyesuaan atau penyelarasan
mengakibatkan sesuatu ditinggalkan oleh sang masyarakat hingga akhirnya
kehilangan eksistensinya.
[1] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2009), hlm. 109; bdk. Suparto, Sosiologi dan Antropologi untuk SMA Kelas IIIA Semester 5-6,
(Bandung: Armico, 1987), hlm. 68.
[5] J. van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga Dekade 1970), (Jakarta: PT Gramedia, 1988), hlm. 198.
[9] J.Coleta dan Umar Kayam
(ed), Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah
Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1987), hlm. 101.
[19] Edi Sedyawati dan
Sapardi Djoko Damono (ed.), Seni dalam
Masyarakat Indonesia Bunga Rampai, (Jakarta: PT Gramedia, 1983), hlm. 57.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTerima kasih atas tulisannya. Sangat inspiratif.
BalasHapusSaran:
1. Hati-hati terhadap kesalahan penulisan
2. Tetap perhatikan sistematika penulisan (pendahuluan, landasan penulisan, data dan pembahasan, penutup dan kesimpulan)
Tuhan memberkati.
makasih mas koreksinya
BalasHapusitung2 belajar nulis
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus