Aplikasi Pengetahuan
Tentang Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Bagi Mahasiswa STFT Sebagai Calon Tenaga Pastoral
III. Manfaat Mempelajari Masyarakat dan Kesenian
Indonesia
Masyarakat dan kesenian merupakan realitas
yang hidup dalam lingkungan individu. Individu hidup dalam sebuah masyarakat.
Selain itu, ia juga menjadi bagian dari golongan sosial, kategori sosial,
kelompok atau perkumpulan tertentu. Hidup dalam sebuah kelompok berdampak pada
penyadaran akan tuntutan untuk hidup selaras dengan yang lain di sekitarnya.
Untuk hidup selaras, seseorang perlu mengerti nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat yang ia ikuti. Salah satu sarana memahami nilai dan norma masyarakat
ialah lewat keseniannya.
Bermasyarakat merupakan sesuatu yang
diperlajari. Oleh karena itu, pada dasarnya, mempelajari apa itu masyarakat
ialah penting. Hal ini menjadi penting agar pertama-tama individu dapat belajar
bagaimana ia seharusnya bermasyarakat. Mempelajari kesenian juga berguna karena
dari kesenian tersebut, individu dapat menangkap nilai-nilai yang ditawarkan
sang masyarakat untuk kemudian diinternalisasikannya. Dengan mengetahui
masyarakat dan nilai-nilai serta norma-normanya (salah satunya lewat kesenian),
seseorang kemudian dapat belajar dan menyelaraskan dirinya dengan sang
masyarakat.[1]
Bagi seorang mahasiswa STFT, mempelajari
masyarakat dan kesenian sekurang-kurangnya bermanfaat demikian juga. Namun,
karena seorang mahasiswa STFT adalah sekaligus seorang calon tenaga pastoral
terutama dengan menjadi imam, maka penerapan ilmu yang didapat seharusnya lebih
luas lagi. Seorang mahasiswa STFT seharusnya dapat mengaplikasikan hasil
belajarnya tentang masyarakat dan kesenian Indonesia dalam berbagai dimensi:
filosofis, pastoral atau kerasulan, eklesial, teologi, dan sebagainya.
1. Manfaat Filosofis bagi Mahasiswa
Seorang filsuf senantiasa bertanya
kedalaman atau hakekat segala sesuatu. Pertanyaan ini tidak pernah selesai
sebelum manusia mati. Dengan mempelajari masyarakat, seseorang akhirnya
menemukan bahwa dalam diri manusia ada hakikat makhluk sosial. Kenyataan ini,
seharusnya membawa seseorang kepada kesadaran sosial yang lebih tinggi yaitu ia
sadar bahwa ia memerlukan orang lain untuk hidup.
Secara filosofis, manusia itu bebas.
Manusia sebagai individu memiliki kebebasan untuk mengembangkan dirinya
se-sempurna mungkin. Namun, seperti yang Hobbes katakana bahwa masyarakat hadir
untuk memberi norma dan nilai yang membatasi atau mengontrol individu[2],
maka individu juga harus memperhatikan dimensi sosial dalam setiap usaha
pengembangan dirinya.
Seorang mahasiswa juga mempunyai kebebasan
untuk mengembangkan pengetahuan dan dirinya sendiri. Mahasiswa sebagai
pembelajar berhak untuk memperoleh pengetahuan sebanyak mungkin dan
mengaplikasikannya serelevan mungkin dengan kondisi hidup masyarakat di
sekitarnya. Namun, di samping kebebasan itu, seorang mahasiswa harus menyadari
dimensi sosial di mana ia hidup yaitu lingkup masyarakat STFT dan rumah
pembinaannya masing-masing.
Masyarakat STFT dan rumah pembinaan
tertentu memiliki nilai dan norma mereka masing-masing. Terkadang, seorang
mahasiswa menganggap tindakannya sebagai aplikasi dari pengetahuan yang ia
peroleh, namun ternyata anggapannya justru sangat bertentangan dengan sang
masyarakat. Dengan belajar masyarakat dan nilai-nilainya, mahasiswa akan
menyadari kekeliruannya dan akhirnya menempatkan dirinya kembali di jalur yang
benar sesuai tatanan nilai dan norma sang masyarakat. Seandainya ia tetap pada
kebebalannya, maka ia harus berani menerima konsekuesi yaitu keberadaannya
dikeluarkan atau diekslusifkan dari lingkungan sang masyarakat STFT atau rumah
pembinaannya.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa STFT
lebih diarahkan pada pengerjaan skripsi dengan metodelogi kepustakaan. Hal ini
mempertimbangkan kesesuaian waktu dengan jadwal kegiatan rumah pembinaan.
Seaindainya terdapat mahasiswa yang begitu memaksakan kehendak untuk
mengerjakan skripsi berdasarkan observasi yang membutuhkan banyak waktu di luar
rumah pembinaan, maka bukan tidak mungkin ia akan kehilangan eksistensinya
sebagai calon imam.
Pengetahuan akan hakekat manusia sebagai
makhluk sosial membawa mahasiswa kepada kesadaran akan perlunya keselarasan dan
dialog[3].
Sebelumnya telah disinggung bahwa konsekuensi logis dari adanya masyarakat
(lingkungan sosial) adalah keselarasan dan dialog. Kebermasyarakatan, keselarasan,
dan dialog bukanlah berasal dari bawaan genetis dari manusia. Manusia tidak
seperti binatang yang membawa sifat-sifat itu dalam gen mereka. Itu semua harus
dipelajari.
Pada kenyataannya, Indonesia di mana kita
berada merupakan satuan masyarakat yang terdiri dari banyak unsur masyarakat
dan “masyarakat dalam arti sempit” (suku-suku bangsa). Oleh karena itu,
tuntutan untuk menjadi seorang yang berjiwa mampu berselaras dengan keberagaman
dan berjiwa dialogis sangat dituntut. Hal ini juga dituntut ada dalam diri
setiap mahasiswa STFT. Mempelajari masyarakat dan kesenian Indonesia membuka
wawasan mahasiswa untuk belajar menjadi pribadi yang pluralis sejak awal.
Kemudian, dengan mempelajari masyarakat
dan kesenian Indonesia, mahasiswa mengetahui hakekat hidup berkelompak yang
bercirikan lima hal. Hakekat tersebut dimiliki semua manusia, namun sebagai
makhluk berakal, manusia secara bebas dapat memilih untuk mengaktifkannya atau
membiarkannya dan tetap bertahan dalam keegoisan yang dimilikinya[4].
Sebagai insan yang terdidik, seharusnya mahasiswa belajar untuk mengaktifkan
dimensi sosialnya lewat organisasi, sarana, atau apapun juga yang diberikan
oleh univeristas. Apabila seorang mahasiswa telah menyadari keberadaannya
sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain, maka ia dengan sendirinya akan
mempunyai kesadaran rendah hati dan mau menjalankan hidup sesuai dengan peran
yang ia miliki sesuai dengna nilai dan norma yang berlaku dalam sang masyarakat
yang ia ikuti.
2. Manfaat Pastoral/Kerasulan bagi Mahasiswa
Pada pembahasan tentang masyarakat
disinggung pula beberapa unsur masyarakat. Unsur-unsur tersebut yaitu kategori
sosial, golongan sosial, kelompok dan perkumpulan. Pemahaman akan adanya
unsur-unsur masyarakat tersebut membantu mahasiswa dalam melakukan
strukturisasi pelayanan pastoral maupaun kerasulan. Subyek yang hendak dituju
oleh mahasiswa dalam tugas kerasulannya menentukan bagaimana mahasiswa harus
mempersiapkan dan menampilkan ajaran-ajaran yang hendak disampaikannya.
Mahasiswa STFT, pada tingkat-tingkat
tertentu mendapatkan tugas kerasulan. Mahasiswa tingkat II mendapat tugas untuk
mengajar di sekolah-sekolah. Mahasiswa tingkat III mendapat tugas untuk
kerasulan di stasi-stasi tertentu, dan mahasiswa tingkat V mendapat tugas yang
serupa yaitu kerasulan di stasi tertentu. Pengetahuan tentang adanya kategori,
golongan sosial, kelompok dan perhimpunan sangat membantu mahasiswa dalam tugas
perutusannya. Bahan “evangelisasi” yang mereka bawa terarah bila mereka
memahami subyek yang hendak mereka tuju. Dalam hal ini, mahasiswa dapat meniru
kepekaan dan kecermatan para sales
dalam melakukan pengkategorian dan penggolongan ketika hendak menawarkan produk
yang dipasarkannya.
Pengetahuan tentang masyarakat dan
kesenian terutama asas-asas dasarnya, menyadarkan mahasiswa untuk merasul
dengan tetap mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma yang telah ada dalam
lingkup masyarakat yang dilayani. Pastoral dan kerasulan kemungkinan besar tidak
akan berhasil jika bertentangan sama sekali dengan nilai-nilai yang telah ada.
Sebagai contoh, di Pulau Jawa, agama islam
sangat mudah diterima oleh masyarakat Jawa karena ajaran islam berhasil
merangkul nilai dan norma yang telah ada sebelumnya dalam masyarakat Jawa. Penyebaran
agama islam pada masa itu menggunakan bidang-bidang yang dekat dengan
masyarakat, misalnya wayang[5].
Bidang yang sebelumnya telah akrab dengan masyarakat perlahan-lahan diberi
sentuhan agama islam dan akhirnya perlahan-lahan masyarakat menerima islam
secara terbuka.
Dari fakta tersebut dan dengan mempelajari
masyarakat dan kesenian, mahasiswa dirangsang untuk dapat menciptakan strategi
pastoral dan kerasulan yang lebih efektif. Dalam masyarakat, diakui bahwa
kesenian merupakan salah satu alat komunikasi yang efektif[6].
Hal ini menjadi peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan evangelisasi yang
secara langsung menyentuh dan mengakomodasi nilai dan norma dengan sarana
kesenian.
Selain itu, pengetahuan akan masyarakat
dan individu sebagai makhluk sosial mengantar mahasiswa kepada kesadaran bahwa
ia tidak dapat berkarya sendiri. Kesadaran ini sangat penting agar mahasiswa
tidak terjebak dalam kondisi stalemate
yang tidak bisa diubah[7].
Kondisi stalemate atau kekakuan tidak
akan mendukung proses pastoral dan kerasulan yang sedang dan akan dilaksanakan
oleh mahasiswa.
3. Peluang menciptakan Inkulturasi
Kesenian Indonesia sangat beragam.
Keberagaman itu terkait erat dengan keberagaman suku bangsa yang ada di
Indonesia. Keberagaman tersebut menjadi peluang inkulturasi ajaran iman Katolik
bila seseorang peka terhadapnya. Inkulturasi ialah usaha mengintegrasikan
nilai-nilai Injil dengan kebudayaan masyarakat[8].
Mengapa usaha inkulturasi penting? Dalam
penelitiannya pada tahun 1976, Groner mendapati bahwa orang akan cenderung
kembali kepada nilai tradisional masyarakat asalnya. Kita dapat melihat bahwa,
individu lebih dekat pada “masyarakat dalam arti sempit”-nya daripada
masyarakat pada keseluruhan. Pendapat ini sesuai dengan kenyataan di lapangan
yaitu kelebihtertarikan seseorang kepada pengajaran dan ritus yang
mengakomodasi nilai dan norma masyarakatnya. Dalam hal ini, kita dapat
membandingkan keberhasilan agama islam dalam menyebarkan ajarannya lewat
kesenian-kesenian rakyat[9].
Banyak sisi masyarakat yang dapat
diinkulturasikan dengan pengajaran iman katolik. Sisi yang paling sederhana
ialah sisi kebudayaan masyarakat. Inkulturasi ajaran iman dan kebudayaan
membawa pemahaman yang lebih baik baik sebab seseorang dapat melihat ajaran
iman katolik dari sudut pandang masyarakatnya.
Gereja
sendiri menganjurkan tenaga-tenaga evangelisasinya untuk mengupayakan
inkulturasi. Dalam Lumen Gentium No. 13 dikatakan, “....
Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat
bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan,
menguatkan serta mengangkatnnya..., merangkung segenap umat manusia beserta
segala harta kekayaannya di bawah Kristus kepala dalam kesatuan Roh-Nya.”
Sebelum seseorang dapat melakukan inkulturasi,
hal yang utama perlu ia lakukan ialah mengenal apa itu masyarakat dan kekayaan
di dalamnya. Di sinilah pembelajaran tentang masyarakat dan kesenian Indonesia berperan
dalam upaya inkulturasi.
Kesadaran akan adanya peluang inkulturasi tersebut harus
dibuka oleh calon-calon tenaga evangelisasi sejak dini. Mahasiswa STFT
seharusnya juga terbuka terhadap peluang inkulturasi ketika mereka mempelajari
struktur masyarakat dan kesenian Indonesia. Akhirnya dengan mengetahui
masyarakat dan kesenian Indonesia, mahasiswa STFT mampu untuk mengaplikasikan
dan mengkombinasikan bermacam pengetahuan yang telah mereka terima dalam
masyarakat tempat mereka berada yaitu daerahnya dalam arti sempit dan Indonesia
dalam arti yang luas.
IV Penutup
Mempelajari Masyarakat
dan Kesenian Indonesia bermanfaat bagi pengembangan pribadi mahasiswa STFT. Untuk
diri sendiri, mahasiswa semakin menyadari keberadaannya sebagai bagian dari
masyarakat dan menghantarnya untuk dapat bertindak menurut peran yang
diembannya. Selain itu, mempelajari mata kuliah ini menghantar mahasiswa pada
kesadaran akan pentingnya proses pembelajaran yang menjadi ciri khas manusia.
Meskipun demikian, mahasiswa juga diingatkan untuk tetap menyadari
batasan-batasan nilai dan norma yang tidak dapat ia lampaui.
Mahasiswa STFT sebagai
calon tenaga pastoral juga terbantu dalam mempersiapkan diri untuk melakukan
karya pastoral dan evangelisasi dengan memahami masyarakat dan kesenian
Indonesia. Tantangan keberagaman dari masyarakat dan kesenian itu, menjadi
acuan untuk dapat mengembangkan diri menjadi tenaga pastoral yang “menyelaras”.
Hal ini membuat mahasiswa yang kelak menjadi tenaga pastoral tidak secara
sembarangan memasuki suatu masyarakat tertentu tanpa memperhatikan nilai dan
norma yang telah ada sebelumnya. Akhirnya, dapat dikatakan sekali lagi bahwa
pembelajaran tentang masyarakat dan kesenian Indonesia sangat relevan dengan
persiapan mahasiswa STFT sebagai calon tenaga pastoral.
DAFTAR
PUSTAKA
Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan
Penerangan KWI-Obor, 1993.
Colleta,
Nat J. dan Umar Kayam. Kebudayaan dan
Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Haryanto, S. Bayang-bayang
Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Kirchberger, R Georg dan
R. Jhon Mansford Prior (ed). Iman Dan
Transformasi Budaya. Ende: Nusa
Indah, 1996.
Koentjaraningrat. Pengantar
Ilmu Antropologi Edisi Revisi 2009. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Mulyono, Sri. Wayang
dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (ed). Seni dalam Masyarakat Indonesia Bunga Rampai.
Jakarta: Gramedia, 1983.
Suparto.
Sosiologi dan Antropologi untuk SMA Kelas
IIIA Semester 5-6. Bandung: CV ARMICO, 1987.
Van
Baal, J. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi
Budaya (Hingga Dekade 1970) Jilid 2.
Jakarta: PT GRAMEDIA, 1988.
[8] R.Georg., R. John
Mansford Prior. (Ed.), Iman dan
Transformasi Budaya, ( Nusa Indah, 1996)hlm. 186.
Teruslah berkarya, Tuhan Memberkati.
BalasHapus