Senin, 24 Agustus 2015

Manfaat Belajar Kesenian untuk Persiapan Pastoral (Bagian Kedua)

Aplikasi Pengetahuan
Tentang Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Bagi Mahasiswa STFT Sebagai Calon Tenaga Pastoral

III.    Manfaat Mempelajari Masyarakat dan Kesenian Indonesia
Masyarakat dan kesenian merupakan realitas yang hidup dalam lingkungan individu. Individu hidup dalam sebuah masyarakat. Selain itu, ia juga menjadi bagian dari golongan sosial, kategori sosial, kelompok atau perkumpulan tertentu. Hidup dalam sebuah kelompok berdampak pada penyadaran akan tuntutan untuk hidup selaras dengan yang lain di sekitarnya. Untuk hidup selaras, seseorang perlu mengerti nilai-nilai dan norma-norma masyarakat yang ia ikuti. Salah satu sarana memahami nilai dan norma masyarakat ialah lewat keseniannya.
Bermasyarakat merupakan sesuatu yang diperlajari. Oleh karena itu, pada dasarnya, mempelajari apa itu masyarakat ialah penting. Hal ini menjadi penting agar pertama-tama individu dapat belajar bagaimana ia seharusnya bermasyarakat. Mempelajari kesenian juga berguna karena dari kesenian tersebut, individu dapat menangkap nilai-nilai yang ditawarkan sang masyarakat untuk kemudian diinternalisasikannya. Dengan mengetahui masyarakat dan nilai-nilai serta norma-normanya (salah satunya lewat kesenian), seseorang kemudian dapat belajar dan menyelaraskan dirinya dengan sang masyarakat.[1]
Bagi seorang mahasiswa STFT, mempelajari masyarakat dan kesenian sekurang-kurangnya bermanfaat demikian juga. Namun, karena seorang mahasiswa STFT adalah sekaligus seorang calon tenaga pastoral terutama dengan menjadi imam, maka penerapan ilmu yang didapat seharusnya lebih luas lagi. Seorang mahasiswa STFT seharusnya dapat mengaplikasikan hasil belajarnya tentang masyarakat dan kesenian Indonesia dalam berbagai dimensi: filosofis, pastoral atau kerasulan, eklesial, teologi, dan sebagainya.

1.       Manfaat Filosofis bagi Mahasiswa
Seorang filsuf senantiasa bertanya kedalaman atau hakekat segala sesuatu. Pertanyaan ini tidak pernah selesai sebelum manusia mati. Dengan mempelajari masyarakat, seseorang akhirnya menemukan bahwa dalam diri manusia ada hakikat makhluk sosial. Kenyataan ini, seharusnya membawa seseorang kepada kesadaran sosial yang lebih tinggi yaitu ia sadar bahwa ia memerlukan orang lain untuk hidup.
Secara filosofis, manusia itu bebas. Manusia sebagai individu memiliki kebebasan untuk mengembangkan dirinya se-sempurna mungkin. Namun, seperti yang Hobbes katakana bahwa masyarakat hadir untuk memberi norma dan nilai yang membatasi atau mengontrol individu[2], maka individu juga harus memperhatikan dimensi sosial dalam setiap usaha pengembangan dirinya.
Seorang mahasiswa juga mempunyai kebebasan untuk mengembangkan pengetahuan dan dirinya sendiri. Mahasiswa sebagai pembelajar berhak untuk memperoleh pengetahuan sebanyak mungkin dan mengaplikasikannya serelevan mungkin dengan kondisi hidup masyarakat di sekitarnya. Namun, di samping kebebasan itu, seorang mahasiswa harus menyadari dimensi sosial di mana ia hidup yaitu lingkup masyarakat STFT dan rumah pembinaannya masing-masing.
Masyarakat STFT dan rumah pembinaan tertentu memiliki nilai dan norma mereka masing-masing. Terkadang, seorang mahasiswa menganggap tindakannya sebagai aplikasi dari pengetahuan yang ia peroleh, namun ternyata anggapannya justru sangat bertentangan dengan sang masyarakat. Dengan belajar masyarakat dan nilai-nilainya, mahasiswa akan menyadari kekeliruannya dan akhirnya menempatkan dirinya kembali di jalur yang benar sesuai tatanan nilai dan norma sang masyarakat. Seandainya ia tetap pada kebebalannya, maka ia harus berani menerima konsekuesi yaitu keberadaannya dikeluarkan atau diekslusifkan dari lingkungan sang masyarakat STFT atau rumah pembinaannya.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa STFT lebih diarahkan pada pengerjaan skripsi dengan metodelogi kepustakaan. Hal ini mempertimbangkan kesesuaian waktu dengan jadwal kegiatan rumah pembinaan. Seaindainya terdapat mahasiswa yang begitu memaksakan kehendak untuk mengerjakan skripsi berdasarkan observasi yang membutuhkan banyak waktu di luar rumah pembinaan, maka bukan tidak mungkin ia akan kehilangan eksistensinya sebagai calon imam.
Pengetahuan akan hakekat manusia sebagai makhluk sosial membawa mahasiswa kepada kesadaran akan perlunya keselarasan dan dialog[3]. Sebelumnya telah disinggung bahwa konsekuensi logis dari adanya masyarakat (lingkungan sosial) adalah keselarasan dan dialog. Kebermasyarakatan, keselarasan, dan dialog bukanlah berasal dari bawaan genetis dari manusia. Manusia tidak seperti binatang yang membawa sifat-sifat itu dalam gen mereka. Itu semua harus dipelajari.
Pada kenyataannya, Indonesia di mana kita berada merupakan satuan masyarakat yang terdiri dari banyak unsur masyarakat dan “masyarakat dalam arti sempit” (suku-suku bangsa). Oleh karena itu, tuntutan untuk menjadi seorang yang berjiwa mampu berselaras dengan keberagaman dan berjiwa dialogis sangat dituntut. Hal ini juga dituntut ada dalam diri setiap mahasiswa STFT. Mempelajari masyarakat dan kesenian Indonesia membuka wawasan mahasiswa untuk belajar menjadi pribadi yang pluralis sejak awal.
Kemudian, dengan mempelajari masyarakat dan kesenian Indonesia, mahasiswa mengetahui hakekat hidup berkelompak yang bercirikan lima hal. Hakekat tersebut dimiliki semua manusia, namun sebagai makhluk berakal, manusia secara bebas dapat memilih untuk mengaktifkannya atau membiarkannya dan tetap bertahan dalam keegoisan yang dimilikinya[4]. Sebagai insan yang terdidik, seharusnya mahasiswa belajar untuk mengaktifkan dimensi sosialnya lewat organisasi, sarana, atau apapun juga yang diberikan oleh univeristas. Apabila seorang mahasiswa telah menyadari keberadaannya sebagai makhluk yang membutuhkan orang lain, maka ia dengan sendirinya akan mempunyai kesadaran rendah hati dan mau menjalankan hidup sesuai dengan peran yang ia miliki sesuai dengna nilai dan norma yang berlaku dalam sang masyarakat yang ia ikuti.

2.       Manfaat Pastoral/Kerasulan bagi Mahasiswa
Pada pembahasan tentang masyarakat disinggung pula beberapa unsur masyarakat. Unsur-unsur tersebut yaitu kategori sosial, golongan sosial, kelompok dan perkumpulan. Pemahaman akan adanya unsur-unsur masyarakat tersebut membantu mahasiswa dalam melakukan strukturisasi pelayanan pastoral maupaun kerasulan. Subyek yang hendak dituju oleh mahasiswa dalam tugas kerasulannya menentukan bagaimana mahasiswa harus mempersiapkan dan menampilkan ajaran-ajaran yang hendak disampaikannya.
Mahasiswa STFT, pada tingkat-tingkat tertentu mendapatkan tugas kerasulan. Mahasiswa tingkat II mendapat tugas untuk mengajar di sekolah-sekolah. Mahasiswa tingkat III mendapat tugas untuk kerasulan di stasi-stasi tertentu, dan mahasiswa tingkat V mendapat tugas yang serupa yaitu kerasulan di stasi tertentu. Pengetahuan tentang adanya kategori, golongan sosial, kelompok dan perhimpunan sangat membantu mahasiswa dalam tugas perutusannya. Bahan “evangelisasi” yang mereka bawa terarah bila mereka memahami subyek yang hendak mereka tuju. Dalam hal ini, mahasiswa dapat meniru kepekaan dan kecermatan para sales dalam melakukan pengkategorian dan penggolongan ketika hendak menawarkan produk yang dipasarkannya.
Pengetahuan tentang masyarakat dan kesenian terutama asas-asas dasarnya, menyadarkan mahasiswa untuk merasul dengan tetap mengindahkan nilai-nilai dan norma-norma yang telah ada dalam lingkup masyarakat yang dilayani. Pastoral dan kerasulan kemungkinan besar tidak akan berhasil jika bertentangan sama sekali dengan nilai-nilai yang telah ada.
Sebagai contoh, di Pulau Jawa, agama islam sangat mudah diterima oleh masyarakat Jawa karena ajaran islam berhasil merangkul nilai dan norma yang telah ada sebelumnya dalam masyarakat Jawa. Penyebaran agama islam pada masa itu menggunakan bidang-bidang yang dekat dengan masyarakat, misalnya wayang[5]. Bidang yang sebelumnya telah akrab dengan masyarakat perlahan-lahan diberi sentuhan agama islam dan akhirnya perlahan-lahan masyarakat menerima islam secara terbuka.
Dari fakta tersebut dan dengan mempelajari masyarakat dan kesenian, mahasiswa dirangsang untuk dapat menciptakan strategi pastoral dan kerasulan yang lebih efektif. Dalam masyarakat, diakui bahwa kesenian merupakan salah satu alat komunikasi yang efektif[6]. Hal ini menjadi peluang bagi mahasiswa untuk mengembangkan evangelisasi yang secara langsung menyentuh dan mengakomodasi nilai dan norma dengan sarana kesenian.
Selain itu, pengetahuan akan masyarakat dan individu sebagai makhluk sosial mengantar mahasiswa kepada kesadaran bahwa ia tidak dapat berkarya sendiri. Kesadaran ini sangat penting agar mahasiswa tidak terjebak dalam kondisi stalemate yang tidak bisa diubah[7]. Kondisi stalemate atau kekakuan tidak akan mendukung proses pastoral dan kerasulan yang sedang dan akan dilaksanakan oleh mahasiswa.

3.       Peluang menciptakan Inkulturasi
Kesenian Indonesia sangat beragam. Keberagaman itu terkait erat dengan keberagaman suku bangsa yang ada di Indonesia. Keberagaman tersebut menjadi peluang inkulturasi ajaran iman Katolik bila seseorang peka terhadapnya. Inkulturasi ialah usaha mengintegrasikan nilai-nilai Injil dengan kebudayaan masyarakat[8].
Mengapa usaha inkulturasi penting? Dalam penelitiannya pada tahun 1976, Groner mendapati bahwa orang akan cenderung kembali kepada nilai tradisional masyarakat asalnya. Kita dapat melihat bahwa, individu lebih dekat pada “masyarakat dalam arti sempit”-nya daripada masyarakat pada keseluruhan. Pendapat ini sesuai dengan kenyataan di lapangan yaitu kelebihtertarikan seseorang kepada pengajaran dan ritus yang mengakomodasi nilai dan norma masyarakatnya. Dalam hal ini, kita dapat membandingkan keberhasilan agama islam dalam menyebarkan ajarannya lewat kesenian-kesenian rakyat[9].
Banyak sisi masyarakat yang dapat diinkulturasikan dengan pengajaran iman katolik. Sisi yang paling sederhana ialah sisi kebudayaan masyarakat. Inkulturasi ajaran iman dan kebudayaan membawa pemahaman yang lebih baik baik sebab seseorang dapat melihat ajaran iman katolik dari sudut pandang masyarakatnya.
Gereja sendiri menganjurkan tenaga-tenaga evangelisasinya untuk mengupayakan inkulturasi. Dalam Lumen Gentium No. 13 dikatakan, “.... Gereja memajukan dan menampung segala kemampuan, kekayaan, dan adat-istiadat bangsa-bangsa sejauh itu baik; tetapi dengan menampungnya juga memurnikan, menguatkan serta mengangkatnnya..., merangkung segenap umat manusia beserta segala harta kekayaannya di bawah Kristus kepala dalam kesatuan Roh-Nya.” Sebelum seseorang dapat melakukan inkulturasi, hal yang utama perlu ia lakukan ialah mengenal apa itu masyarakat dan kekayaan di dalamnya. Di sinilah pembelajaran tentang masyarakat dan kesenian Indonesia berperan dalam upaya inkulturasi.
Kesadaran akan adanya peluang inkulturasi tersebut harus dibuka oleh calon-calon tenaga evangelisasi sejak dini. Mahasiswa STFT seharusnya juga terbuka terhadap peluang inkulturasi ketika mereka mempelajari struktur masyarakat dan kesenian Indonesia. Akhirnya dengan mengetahui masyarakat dan kesenian Indonesia, mahasiswa STFT mampu untuk mengaplikasikan dan mengkombinasikan bermacam pengetahuan yang telah mereka terima dalam masyarakat tempat mereka berada yaitu daerahnya dalam arti sempit dan Indonesia dalam arti yang luas.

IV     Penutup
Mempelajari Masyarakat dan Kesenian Indonesia bermanfaat bagi pengembangan pribadi mahasiswa STFT. Untuk diri sendiri, mahasiswa semakin menyadari keberadaannya sebagai bagian dari masyarakat dan menghantarnya untuk dapat bertindak menurut peran yang diembannya. Selain itu, mempelajari mata kuliah ini menghantar mahasiswa pada kesadaran akan pentingnya proses pembelajaran yang menjadi ciri khas manusia. Meskipun demikian, mahasiswa juga diingatkan untuk tetap menyadari batasan-batasan nilai dan norma yang tidak dapat ia lampaui.
Mahasiswa STFT sebagai calon tenaga pastoral juga terbantu dalam mempersiapkan diri untuk melakukan karya pastoral dan evangelisasi dengan memahami masyarakat dan kesenian Indonesia. Tantangan keberagaman dari masyarakat dan kesenian itu, menjadi acuan untuk dapat mengembangkan diri menjadi tenaga pastoral yang “menyelaras”. Hal ini membuat mahasiswa yang kelak menjadi tenaga pastoral tidak secara sembarangan memasuki suatu masyarakat tertentu tanpa memperhatikan nilai dan norma yang telah ada sebelumnya. Akhirnya, dapat dikatakan sekali lagi bahwa pembelajaran tentang masyarakat dan kesenian Indonesia sangat relevan dengan persiapan mahasiswa STFT sebagai calon tenaga pastoral. 

DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI-Obor, 1993.
Colleta, Nat J. dan Umar Kayam. Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Haryanto, S. Bayang-bayang Adhiluhung. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Kirchberger, R Georg dan R. Jhon Mansford Prior (ed). Iman Dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah, 1996.
Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi Edisi Revisi 2009. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2009.
Mulyono, Sri. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung, 1982.
Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (ed). Seni dalam Masyarakat Indonesia Bunga Rampai. Jakarta: Gramedia, 1983.
Suparto. Sosiologi dan Antropologi untuk SMA Kelas IIIA Semester 5-6. Bandung: CV ARMICO, 1987.
Van Baal, J. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga Dekade 1970) Jilid 2. Jakarta: PT GRAMEDIA, 1988.


[1] J.Colleta dan Umar Kayam (ed), Kebudayaan dan…, hlm. 101.
[2] J. van Baal, Sejarah dan…, hlm. 198.
[3] J.Colleta dan Umar Kayam (ed), Kebudayaan dan…, hlm. 316.
[4] Bdk.Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu…, hlm. 109.
[5] S. Haryanto, Bayang-bayang Adhiluhung, (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm. 29.
[6] J. Colleta dan Umar Kayam, Kebudayaan dan…, hlm. 320.
[7] J.Colleta dan Umar Kayam (ed), Kebudayaan dan…, hlm. 316.
[8] R.Georg., R. John Mansford Prior. (Ed.), Iman dan Transformasi Budaya, ( Nusa Indah, 1996)hlm. 186.
[9] S. Haryanto, Bayang-bayang…, hlm. 29.

1 komentar: