Sabtu, 11 Juni 2016

REFLEKSI KELUARAN 24: 1-11 "MENJADI KELUARGA ALLAH YANG KUDUS"

Menjadi Keluarga TUHAN Yang Kudus

I.              Pensahan Perjanjian Sinai (Kel 24:1-11)
Beberapa ahli (Janzen, Child, Durham) membagi perikop ini ke dalam tiga struktur besar yaitu Kel 24:1-2, Kel 24:3-8, dan Kel 24:9-11.[1] Dari struktur besar ini, terdapat dua tema penting yaitu perjamuan makan bersama (ay.1-2 & 9-11) dan upacara pengikatan perjanjian darah (ay. 3-8).[2] Berikut ini uraian perikop Kel 24:1-11 berdasarkan tiga struktur besarnya:

Kel 24:1-2: Ia mengundang wakil-wakil Israel melalui Musa
1Berfirmanlah Ia kepada Musa: “Naiklah menghadap TUHAN, engkau dan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel dan sujudlah kamu menyembah dari jauh. 2Hanya Musa sendirilah yang mendekat kepada TUHAN, tetapi mereka itu tidak boleh mendekat, dan bangsa itu tidak boleh naik bersama-sama dengan dia.
Kel 24: 3-8: Musa memimpin upacara pengikatan perjanjian
3Lalu datanglah Musa dan memberitahukan kepada bangsa itu segala firman TUHAN dan segala peraturan itu, maka seluruh bangsa itu menjawab serentak: “Segala firman yang telah diucapkan TUHAN itu, akan kami lakukan.” 4 Lalu Musa menuliskan segala firman TUHAN itu. Keesokan harinya pagi-pagi didirikannyalah mezbah di kaki gunung itu, dengan du belas tugu sesuai dengan kedua belas suku Israel. 5Kemudian disuruhnyalah orang-orang muda dari bangsa Israel, maka mereka mempersembahkan korban bakaran dan menyembelih lembu-lembu jantan sebagai korban keselamatan kepada TUHAN. 6Sesudah itu Musa mengambil sebagaian dari darah itu, lalu ditaruhnya ke dalam pasu, sebagian lagi dari darah itu disiramkannya pada mezbah itu. 7Diambilnyalah kitab perjanjian itu, lalu dibacakannya dengan didengar oleh bangsa itu dan mereka berkata: “Segala firman TUHAN akan kami lakukan dan akan kami dengarkan.” 8Kemudian Musa mengambil darah itu dan menyiramkannya pada bangsa itu serta berkata: “Inilah darah perjanjian yang diadakan TUHAN dengan kamu, berdasarkan segala firman ini.”
Kel 24:9-11: Wakil umat Israel di hadapan TUHAN, memandang-Nya dan Makan-Minum dihadapan-Nya
9Dan naiklah Musa dengan Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel. 10Lalu mereka melihat Allah Israel; kaki-Nya berjejak pada sesuatu yang buatannya seperti lantai dari batu nilam dan yang terangnya seperti langit yang cerah. 11Tetapi kepada pemuka-pemuka orang Israel itu tidaklah diulurkan-Nya tangan-Nya; mereka memandang Allah, lalu makan dan minum.

II.      Penjelasan Kel 24:1-11

a) Catatan Diakronis Teks
Melihat struktur Kej 24:1-11, meski hanya dengan kaca mata awam, kita bisa mendapati bahwa alur narasi perikop ini kurang tersusun dengan rapi, atau mungkin juga dipaksakan. Perintah TUHAN yang membuka perikop ini (ay 1-2) terlaksana justru di ayat 9-11 setelah melalui ayat 3-8 yang sebenarnya kurang memiliki kesatuan tema yang sama. Penyusunan ini mengesankan adanya dua untaian narasi yang berbeda yaitu ayat 1-2; 9-11 dan ayat 3-8.[3] Ayat 3-8 seolah-olah menjadi sisipan di dalam perikop ini khususnya dan dalam konteks yang lebih luas di dalam Keluaran bab 24 ini. Atau sebaliknya ayat 3-8 menjadi inti dengan ayat 1-2; 9-11 sebagai kurung literernya (literary bracket).[4]
Dengan melihat sekilas saja, akhirnya sulit untuk mengatakan bahwa perikop ini berasal dari satu sumber tradisi atau dokumen yang sama tanpa campur tangan redaksional. Malahan, perikop ini sangat mungkin memadukan beberapa sumber dokumen yang ada dengan tambahan redaksional dari redaktur di sana-sini. Mengenai masalah ini, terdapat beberapa pendapat para ahli yang dapat dijadikan referensi. P. Hyatt menandai bahwa ay. 3-8 termasuk dalam tradisi E, sementara ay. 9-11 termasuk dalam tradisi J.[5] Bukti yang diajukan untuk mengatakan bahwa ay. 3-8 termasuk dalam tradisi E ialah hubungannya dengan cerita E lainnya yaitu Kel 20:18-21 dan bukti bahwa ay. 3-8 paralel dengan cerita E di Kel 18:38.[6] Beyerlin berpendapat bahwa ayat 1a, 3-8, 9-11 berasal dari tradisi E dengan sedikit perbaikan teologis oleh redaktur di ay 1b-2: “Hanya Musa sendirilah....” Sementara itu Noth menandai bahwa ay. 1-2 berasal dari tradisi E tapi setelah melalui proses redaksional, 9-11 dari tradisi E, dan 3-8 merupakan narasi independen dari sumber perjanjian Sinai (ay. 3-8 bersama Kel 19:3b-8 dan 20:22 merupakan satu kesatuan narasi dari kerangka cerita perjanjian Sinai; ay 3-8 diduga baru ditulis di Kerajaan Utara pada sekitar 721 sM setelah penghimpunan hukum-hukum perjanjian itu sendiri)[7]. Dari banyaknya pendapat, sampai sekarang belum ada kesepakatan resmi mengenai pendapat mana yang paling tepat.
Terlepas dari kepastian mengenai pendapat mana yang paling tepat, hal utama yang perlu kita pahami dalam membaca Kel 24:1-11 adalah konteks mengapa kedua peristiwa dengan tema yang berbeda ini (bahkan menurut ahli, kebiasaan makan bersama sebenarnya tidak umum dalam kesatuan tema utama tradisi Sinai)[8] digabungkan dan ditempatkan setelah peristiwa Sinai. Diduga, perikop ini dibuat oleh editor untuk membawa pembaca kepada kesimpulan dari rangakaian narasi Kel 19-23, perjanjian Sinai.[9] Editor kemungkinan ingin membuat sebuah “akhir yang ideal”[10] namun sekaligus menciptakan sebuah alur yang mendukung untuk pewahyuan dan tuntunan TUHAN selanjutnya (bab 25 dst.). Selain itu, menurut Durham, Kel 24 dilihat sebagai upaya redaktur untuk mendasari persiapan pembentukan dan pensahan pemimpin-pemimpin/wakil-wakil bangsa Israel, sekaligus sebagai penegasan peran Musa sebagai wakil dan perantara TUHAN dengan bangsa-Nya.[11]

b) Catatan Awal
Perikop ini membicarakan dua tema besar yaitu: ikatan perjanjian darah dan kehadiran wakil umat Israel di hadapan TUHAN dalam perjamuan makan. Meskipun berbeda,  keduanya disatukan oleh sebuah benang merah yaitu keduanya merupakan ungkapan yang umum digunakan oleh masyarakat Timur Tengah kuno untuk mengikat perjanjian (bdk. Kej 26:26-31; 31:43-54; Kej 15:7-20; Yer 43:18).[12]
Kata darah (Ibr: dim) dalam Perjanjian lama memiliki artian yang lebih bernuansa kehidupan daripada nuansa daging/organ tubuh. Darah biasa digunakan sebagai bahasa puitis untuk menunjuk hidup (bdk. 2Sam 1:22; Ul 12:23).[13] Di masyarakat sekitar bangsa Israel, darah memiliki makna yang sama mendalamnya. Masyarakat Mesopotamia percaya bahwa manusia diciptakan dari darah allah. Oleh masyarakat Mesir, darah dipercaya sebagai sumber hidup karena manusia lahir dari tetes-tetes darah ilahi. Sementara itu, oleh masyarakat Kanaan dan Arab, darah dipan-dang sebagai hidup. Orang Kanaan biasa mengatakan ungkapan: “tumpahkan darahnya” sebagai seruan untuk membunuh seseorang. Darah merupakan inti hidup yang utama.[14] Sementara itu, di dalam dunia kuno, makan bersama menjadi simbol “sharing of life”. Menghianati orang yang sehidangan dipandang sebagai sebuah pukulan yang sangat telak bagi hidup bersama.[15] Oleh karena itu, makan bersama juga mengandung makna hidup yang sejalan dengan nilai darah.
Perayaan pengikatan perjanjian antara TUHAN dengan bangsa Israel dibingkai dalam nuansa ikatan darah dan makan bersama. Hal ini menunjukkan bahwa perayaan ini bukanlah perayaan yang main-main. Ia bermakna hidup. Selain itu, perayaan pengikatan yang serius ini juga menggambarkan bagaimana perjanjian antara TUHAN dengan bangsa Israel adalah hal yang serius, yang berarti kehidupan bagi bangsa Israel.

c) Penjelasan

Kel 24:1-2: TUHAN mengundang wakil bangsa Israel dengan perantaraan Musa
 Sebenarnya, kita tidak mengetahui secara langsung dan jelas siapakah yang berfirman dalam pembukaan perikop ini karena tidak terdapat pernyataan yang secara eksplisit menerangkan siapa pembicara. Penggunaan kata ‘TUHAN’ daripada ‘Aku’ dalam kalimat langsung di ayat-ayat ini menguatkan keraguan tadi (bdk. Kel 20:22; 24:12)[16] Meskipun demikian, para ahli mengatakan secara pasti bahwa pembicara adalah TUHAN sendiri.[17] Berdasarkan pendapat itu berarti pembukaan perikop ini merupakan sebuah undangan TUHAN kepada wakil bangsa Israel untuk menghadap-Nya.
Orang-orang yang diundang untuk menghadap TUHAN adalah Musa sendiri, Harun, Nadab dan Abihu dan tujuh puluh orang dari para tua-tua Israel. Keikutsertaan Harun dan anak-anaknya (Nadab dan Abihu) diduga sebagai sebuah bentuk antisipasi bagi pensahan peran imamat di kemudian hari.[18] Sementara itu, ketujuhpuluh orang tua-tua yang dimaksudkan dalam ayat ini bisa jadi semua orang tua yang dimaksud Kel 18:12, atau orang-orang cakap dan takut akan Allah yang dimaksud Kel 18:21, atau ketujuhpuluh orang yang disebut lagi dalam Bil 11:24-25.[19]  Pelibatan para tua-tua dalam perikop ini diduga juga sebagai sebuah antisipasi pendasaran sahnya institusi tua-tua Israel.
Undangan yang disampaikan oleh TUHAN ini seolah-olah mengesampingkan peran unik dan istimewa yang diberikan kepada Musa yaitu sebagai mediator antara TUHAN dan bangsa Israel (bdk. Kel 19:1-25; 20:19). Selain itu, undangan ini juga berseberangan dengan larangan mendaki gunung TUHAN dalam Kel 19:12; 21-23. Namun, sesungguhnya undangan ini justru menjadi penegas bahwa pengalaman untuk dekat kepada TUHAN bukanlah suatu hal yang diusahakan secara pribadi melainkan semata-mata berkat rahmat TUHAN. Musa dapat mendekat karena undangan TUHAN dan beberapa umat Israel dapat mendekat juga karena undangan TUHAN.[20]
Meskipun demikian, keterangan lebih lanjut di ay.1b-2: “dan sujudlah kamu menyembah dari jauh. Hanya Musa sendirilah....”[21] menandakan bahwa undangan TUHAN tetap terbatas. Orang Israel tidak dapat berjumpa secaara amat dekat dengan TUHAN. Mereka tetap membutuhkan perantara yaitu Musa. Meskipun Musa menjadi perantara, ia sendiripun tidak diperkenankan untuk memandang wajah TUHAN (bdk. Kel 3:3-5). TUHAN tetap menjadi misteri bagi manusia. Ia diketahui sejauh Ia mengingininya.
Undangan ini, kemudian terlaksana di ay-9-11. Mengapa demikian? Di catatan awal sudah disampaikan bahwa perjanjian ikatan darah dan makan bersama adalah dua ungkapan umum yang digunakan orang zaman kuno untuk mengikat perjanjian. Oleh karena itu, menurut Childs, penyusunan ini sengaja dibuat oleh redaktur agar peristiwa makan bersama antara TUHAN dan wakil-wakil bangsa Israel tidak dilihat sebagai upacara tandingan dari upacara yang utama yaitu upacara perjanjian ikatan darah (ay.3-8). Peristiwa makan bersama hendaknya dilihat sebagai bagian dari upacara perjanjian ikatan darah, tepatnya sebagai wujud kegembiraan.[22]

Kel 24:3-8: Musa memimpin upacara pengikatan perjanjian
Ayat 3-8 merupakan upacara puncak dari pendirian relasi perjanjian antara TUHAN dan umat Israel. Musa sendiri menjadi pemimpin upacara dan hal ini sekali lagi menegaskan peran sentral Musa sebagai mediator TUHAN dan umat Israel.
Musa memulai upacara dengan memberitahukan segala firman TUHAN dan segala peraturan. Dari ayat ini kita dapat menafsirkan bahwa yang dimaksudkan dengan segala firman TUHAN adalah dekalog sendiri sebagaimana itu sering disebut sepuluh firman (bdk. Kel 34:28) dan segala peraturan adalah hukum-hukum yang diberikan pada Kel 21-23 (bdk. Kel 21:1). Atas apa yang disampaikan Musa, umat Israel menjawab: “segala firman yang telah diucapkan TUHAN itu, akan kami lakukan.” Jawaban ini merupakan ungkapan komitmen bangsa Israel kepada TUHAN dan ini dibutuhkan untuk melanjutkan upacara pengikatan karena jika umat Israel tidak merespon positif maka pengikatan perjanjian tidak bisa diteruskan.
Kemudian Musa menuliskan segala firman Tuhan dan mendirikan mezbah bagi TUHAN beserta dua belas tugu sesuai dengan kedua belas suku Israel. Ditulisnya segala firman Tuhan (sebelumnya lisan) dimaksudkan agar umat Israel memahami secara sungguh-sungguh apa yang mereka komitmenkan. Memahami isi firman merupakan langkah awal untuk dapat mewujudkan komitmen tadi (ay. 3). Tidak mungkin orang melakukan atau menaati apa yang tidak atau belum mereka pahami. Sementara itu, tugu-tugu yang didirikan dimaksudkan untuk menjadi monumen yang menandai bahwa relasi antara TUHAN dan suku Israel disahkan.[23]
Sesudah itu (ay. 5) orang-orang muda disuruh untuk mempersembahkan korban ba-karan dan korban keselamatan Kepada TUHAN. Alasan yang paling masuk akal mengapa orang muda yang disuruh untuk mempersembahkan korban ialah belum berdirinya institusi imamat saat itu.[24] Namun, intepretasi lain mengatakan bahwa hal ini berkaitan dengan Kel 19:6 dimana umat Israel dipanggil untuk menjadi kerjaan imam dan bangsa yang kudus.[25] Oleh karena itu seluruh umat Israel, bukan hanya para imam (bdk. Kel 19:21) dipanggil untuk menjadi kudus.
Selanjutnya, dalam ayat 6-8, pemanfaatan darah sebagai ikatan perjanjian diungkapkan secara eksplisit. Di sini Musa menyiramkan darah kurban kepada mezbah (representasi TUHAN) dan kepada umat Israel. Apa makna tindakan Musa ini?
Dalam catatan awal sudah digarisbawahi bahwa penggunaan kata darah dalam tradisi Israel dan bangsa sekitarnya lebih bernuansa tentang hidup. Mencabut/memutus darah dari diri seseorang berarti kematian.[26] Dicurahkannya darah atas mezbah dan umat Israel menandakan sebuah ikatan darah antara TUHAN dan umat Israel. Dengan demikian Israel diperkenankan oleh TUHAN untuk menjadi “saudara sedarah”-Nya. Umat Israel menjadi keluarga kandung TUHAN. Ikatan darah juga menjadi simbol persatuan hidup antara TUHAN dan umat Israel: to share the same blood was the same to share the same life.[27] Oleh karena itu, ketika Israel memutuskan untuk terikat darah dengan TUHAN, mereka harus setia selamanya. Sebab memutusnya sama saja dengan mati.
Ikatan darah itu berdasarkan segala firman Tuhan. Ini berarti bahwa yang menjadi dasar
Ikatan itu tetap eksis adalah Israel menjalankan atau mentaati apa yang difirmankan TUHAN sebagaimana yang mereka serukan sebelum mereka diperciki oleh darah perjanjian (ay.7-8). Ikatan TUHAN-Israel hilang bila secara definitif Israel memilih untuk berpaling dari TUHAN.
Ikatan ini juga yang menuntut Israel untuk menjadi umat yang kudus bagi TUHAN sebab TUHAN sendiri kudus.[28] Memang benar undangan untuk menjadi bagian dari TUHAN dan untuk dekat kepada-Nya semata-mata berasal dari TUHAN, namun tetap dibutuhkan usaha manusia untuk menanggapi undangan itu.
Kesimpulan dari upacara pengikatan ini ialah umat Israel menerima segala firman TUHAN dan dengan ikatan ini mereka dipersatukan dengan TUHAN untuk menjadi kelurga-Nya yang kudus. Untuk tetap menjadi keluarga TUHAN yang kudus, Israel harus senantiasa melaksanakan apa yang telah difirmankan oleh TUHAN. Janji (oath) inilah yang kemudian dipegang terus oleh bangsa Israel dan menjadi fundamen hidup di sepanjang hidup mereka.

Kel 24:9-11: wakil bangsa Israel hadir di hadapan TUHAN, memandang-Nya dan makan-minum di hadapan-Nya
Ayat 9-11 merupakan pemenuhan dari instruksi yang diberikan TUHAN kepada Musa di ay.1-2. Di sini, Musa dan orang-orang yang telah disebutkan sebelumnya naik menghadap TUHAN. Mereka melihat Allah Israel namun bukan dalam arti wajah ke wajah. Mereka melihat lebih kepada apa yang menyelubungi Allah seperti pada umumnya pengelihatan (vision) yang dialami para nabi (bdk. Yes 6:1; Yeh 1). Kemudian, Allah tidak mengulurkan tangan-Nya yang berarti tidak menimpakan celaka (bdk. Kel 3:20; 9:15).
Peristiwa ini mengandaikan dua hal yaitu Allah mengundang dan manusia menguduskan dirinya agar layak bagi Allah (bdk. Kel 19:22). Tanpa kedua hal ini manusia tidak mungkin mendekat kepada Allah, meski bagaimanapun, undangan Allah tetap menjadi hal yang terpenting dalam pewahyuan diri Allah. Oleh karena itu, peristiwa ini tidak dapat dipandang sebagai sebuah prestasi manusia melainkan rahmat.
Rangakian upacara pengikatan perjanjian ditutup dengan peristiwa makan dan minum. Ungkapan makan dan minum di sinilah yang diartikan sebagai peristiwa perjamuan. Perjamuan ini merupakan perayaan syukur umat Israel atas karunia yang Allah berikan yang boleh mereka ikat dalam sebuah ikatan darah.[29]

III. Refleksi atas Kel 24:1-11
Perikop ini adalah respon umat Israel terhadap undangan Allah yaitu perjanjian-Nya. Mereka memilih untuk menjadi satu keluarga dengan TUHAN. Ikatan darah yang mereka lakukan berarti memberi diri untuk hidup di dalam hidup Allah sendiri. Dan ini berarti mereka konsekuen dengan tuntutan untuk menjadi kudus sebagaimana Allah itu kudus. Melanggar janji ini berarti Israel memutus ikatan darah di antara TUHAN dan mereka dan ini berarti juga memutus hidup mereka sendiri. Mulai saat ini hidup bangsa Israel sungguh bersumber dan berpuncak dari ikatan perjanjian mereka.
Dalam konteks hidup kekristenan, peristiwa perjamuan terakhir Yesus sangat dapat dipahami sebagaimana memahami Kel 24:1-11. Seperti pada perjanjian lama ini, Perjanjian baru dalam Yesus juga diikat lewat perayaan makan bersama dan ritual darah. Dalam darah Kristus, kita dipersatukan dalam satu keluarga Allah dan kita saling berbagi hidup dengan Allah. Bila dalam perjanjian lama darah yang digunakan hanya menjadi bagian upacara, dalam perjanjian baru darah Yesus yang tertumpah menjadi jaminan akan pengampunan dosa-dosa kita.[30] Dengan begitu kita dilayakkan oleh-Nya.
Ikatan baru ini diciptakan berdasarkan seluruh kata dan perbuatan dan pelayanan Kristus sendiri. Kristus bukan sekedar perantara, tapi Ialah Sabda Allah sendiri. Maka, kita dengan mengikuti perjamuan-Nya berarti telah berseru seperti umat Israel, “segala ketetapan-Nya akan kami lakukan.” Melakukan yang bertentangan dengan sabda, perbuatan, dan pelayaan Yesus berarti kita memutus ikatan yang telah kita buat. Memutus ikatan itu sama dengan mati sebab hidup kita sudah satu dalam-Nya dan kita tidak dapat hidup tanpa sumber hidup itu sendiri.
Manusia hanya dapat mendekati Tuhan bila rahmat-Nya ada. Dan, kita telah menerima rahmat itu lewat undangan masuk dalam perjanjian-Nya, ‘berbahagialah kita yang diundang ke perjamuan Tuhan’. Bersama dengan undangan itu, sekarang adalah saatnya kita senantiasa menguduskan diri agar layak masuk dalam perjamuan-Nya. Perjamuan-Nya harus menjadi puncak dan sumber hidup kita sebagaimana orang Israel menjadikan ikatan perjanjian itu sebagai puncak dan sumber yang terus menerus mengingatkannya pada perintah Allah dan membuat mereka melaksanakan perintah Allah.







[1] Lih. W.Janzen, Exodus Believers Church Bible Commentary, (Waterloo, Ont: Herald Press, 2000), hlm. 323-331; lihat Brevard S. Childs, Exodus, (London: SCM Press LTD, 1974), hlm. 497-507; lihat John I. Durham, World Biblical Commentary, Vol. III, Exodus, (Nashville: Thomas Nelson Publisher, 1987), hlm.3440-344.
[2] W. Janzen, Exodus Believers..., hlm.323.
[3] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.500.
[4] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.502.
[5] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.341.
[6] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.500.
[7] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.341.
[8] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.501.
[9] Dalam tradisi perjanjian antik, struktur perjanjian antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian selalu mencakup: (1) identification of the covenant giver yang biasanya diawali dengan kata-kata ‘sabda dari...’; (2) historical prologue yang mecakup prolog sejarah, yang bagi bangsa Israel ialah tentang keluaran dari Mesir; (3) the stipulations yaitu syarat-syarat yang dibuat oleh pembuat perjanjian yang biasanya menggunakan forma ‘jika..., maka....’; (4) Provision for deposit and periodic public reading yaitu ketentuan untuk pembacaan perjanjian secara periodik di kemudian hari; (5) the list of witnesses to the treaty yaitu saksi-saksi, yang dalam konteks perjanjian TUHAN dan Israel, TUHAN sendiri yang menjadi saksi; (6) blessing and curse yaitu catatan tentang berkat bila mentaati perjanjian dan kutuk bila melanggar; (7) the ratification ceremony yaitu upacara peneguhan. Poin nomor tujuh inilah yang diduga dimaksudkan oleh redaktur dapat menjadi  “akhir yang ideal” atau puncak atau kesimpulan dari Kel 19-23, seperti pada umumnya perjanjian yang ada di zaman kuno. [Lihat David Noel Freedman  et.al., The Anchor Bible Dictionary, Vol. I, Blood, (New York: Banteem Doubleday Dell Publisihing Group, 1992), hlm.1185].
[10] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.341.
[11] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.342.
[12] W.Janzen, Exodus Believers..., hlm.323-326.
[13] David Noel Freedman et.al., Anchor Bible...Vol.II..., hlm.761.
[14] G. Johannes Botter Weck & Helmer Ringgren, Theological Dictionary of The Old Testament, (Michigan: William B. Eerdmans Publising Company, 1978), hlm.237-238.
[15] David Noel Freedman et.al., Anchor Bible...Vol.I..., hlm. 906.
[16] Pembicara/ subyek kalimat dalam ayat-ayat ini sangat jelas yaitu TUHAN. Hal ini dikuatkan dalam penulisan kalimat  langsung dimana pembicara/ subyek kalimat disebutkan kembali dengan kata ganti orang pertama: Aku daripada menuliskan kembali nama atau siapa si pembicara.
[17] Bdk. Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.504; John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.342;
[18] W.Janzen, Exodus Believers..., hlm.324.
[19] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.343.
[20] W.Janzen, Exodus Believers..., hlm.324.
[21] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.341.
[22] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.502 dan 504.
[23] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.343.
[24] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.505.
[25] W.Janzen, Exodus Believers..., hlm.328.
[26] G.Johannes Botter Weck & Helmer Ringgren, Theological Dictionary of..., hlm.238.
[27] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.506.
[28] John I. Durham, “World Biblical Commentary Vol.III”, Exodus..., hlm.344.
[29] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.507.
[30] Brevard S. Childs, Exodus..., hlm.511.

Sabtu, 04 Juni 2016

SEKILAS KEKELUARGA ORANG JAWA

Sekilas Organisasi Sosial Masyarakat Jawa

Setiap hubungan kemasyarakatan senantiasa diorganisir dalam suatu bentuk kesatuan dimana individu hidup. Kesatuan yang paling dekat terhadap individu ialah kekerabatan. Kemudian meluas hingga pada hubungan dengan masyarakat di luar hubungan kekerabatannya sendiri.
Kesatuan paling sempit dalam kebudayaan Jawa ialah keluarga inti dimana terdapat suami istri dan anak-anak mereka yang belum menikah. Dalam budaya Jawa keluarga inti yang ideal adalah yang mempunyai suatu  rumah tangga sendiri yang neolokal (somah). Hal tersebut ditandai oleh dapur yang terpisah bila keluarga inti masih ikut di dalam rumah orang tuanya atau dapur yang benar-benar berada di rumah sendiri.
Di samping keluarga inti terdapat pula bentuk kesatuan yang lain. Terdapat keluarga inti yang diperluas yang terdiri dari keluarga inti ditambah orang tua suami atau isteri. Kemudian, terdapat keluarga inti multiple yang terdiri dari keluarga inti dengan anak-anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama orang tuanya. Terakhir, terdapat “keluarga” yang terdiri dari satu orang atau membujang sendiri baik laki-laki maupun perempuan. Keempat bentuk keluarga tersebut (keluarga inti, keluarga inti yang  diperluas, keluarga inti multiple, dan “keluarga” satu orang)  merupakan satuan rumah tangga tersendiri dalam masyarakat.

Keluarga Inti
Dalam masyarakat Jawa,  keluarga inti tidak memiliki perbedaan tingkat antara pria dan wanita, atau antara suami dan istri. Maksudnya adalah dapat saja istri menjadi orang yang “berkuasa” karena memiliki penghasilan sendiri[1]. Meskipun demikian, untuk urusan dengan masyarakat (seaindainya ada rapat-rapat), seorang istri tidak tampil melainkan meminta anak pria menjadi wakilnya.
Keluarga inti memang tidak memiliki perbedaan tingkat antara pria dan wanita, atau antara suami dan istri, namun seorang istri, menurut norma-norma dalam keluarga inti harus menunjukkan rasa hormat (ngajeni) terhadap suaminya. Suami dianggap sebagai seorang yang lebih tua umurnya (meskipun pada kenyataannya lebih muda). Seorang istri tetap terutama berkewajiban mengurus rumah tangga dan suami lebih mengutamakan hal-hal yang terjadi di luar rumah tangga.
Dalam lingkup sosial keluarga inti, seorang suami menyapa istrinya dengan njangkar sedangkan seorang istri menyapa dengan istilah untuk kakak yang lebih tua yaitu mas. Mereka akan merubah sapaan tersebut dengan adat teknomini ketika sudah memiliki anak. Seorang suami akan memanggil istrinya ibu, dan seorang istri akan memanggil suaminya pak. Kemudian, anak akan dipanggil namanya, atau singkatan dari namanya, atau nama panggilan yang berasal dari ciri khas yang dimiliki si anak.
       Hubungan dalam keluarga inti antar anak-anak suami istri merupakan hubungan saling membantu menurut adat. Hal tersebut lebih terlihat ketika anak-anak semakin dewasa. Apabila ayah dalam keluarga meninggal, seorang anak pria yang sudah dewasa harus memikul tanggung Jawab atas adik-adiknya (anak-anak ayahnya) yang belum dewasa. Ia biasanya harus menyekolahkan bahkan mendampingi hingga adik-adiknya memiliki rumah tangga atau keluarga sendiri.

Keluarga Inti yang Diperluas
            Mertua juga menjadi tokoh kerabat yang penting bagi suami atau istri. Mertua yang tinggal bersama keluarga inti anaknya menjadikan lingkup keluarga inti tersebut diperluas. Dalam masyarakat Jawa, ayah maupun ibu mertua disapa dengan istilah bapak dan ibu, seperti memanggil ayah dan ibu kandung. Dalam hubungan sesama ayah maupun ibu mertua (ayah dan ibu suami dan istri), orang tua suami selalu dianggap lebih senior dan karena itu mereka akan disapa dengan istilah kamas dan mbakyu. Orang tua istri  disapa dengan istilah dhimas dan jeng atau dhik.
            Dalam bentuk keluarga inti yang diperluas biasanya akan mengakibatkan pertikaian bila orang tua suami tinggal bersama. Hal tersebut dapat terjadi karena ibu mertua istri (ibu suami) kemungkinan bertikai mengenai masalah urusan rumah tangga dengan menantu wanita. Sebaliknya, keadaan kemungkinan besar lebih kondusif jika orang tua istri tinggal bersama. Hal tersebut terjadi karena sangat jarang terjadi seorang ibu mertua suami (ibu istri) berselisih dengan menantu pria.

Hubungan antara Rumah Tangga dengan Masyarakat
            Suatu rumah tangga (somah) dalam masyarakat Jawa harus berusaha menjalin suatu hubungan baik dengan masyarakat di sekitarnya. Masyarakat sekitar mencakup yang sekampung, sedesa, kemudian inter-desa. Hubungan baik dalam budaya Jawa dinyatakan dengan berbagai cara bergotong royong.[2] Gotong royong merupakan adat Jawa yang harus ditaati oleh setiap kepala keluarga yang mewakili rumah tangganya.
            Di samping gotong royong, usaha menjalin hubungan baik diwujudkan dengan saling mengundang slametan pada momen-momen tertentu. Setiap orang di sekitar rumah tangga diundang untuk slametan tanpa memandang latar belakang. Adanya praktik slamatan yang tak mengenal eksogomi keluarga dan spesialisasi kerja turun-temurun menjadi tanda tak adanya sistem kasta dalam hubungan sosial masyarakat Jawa[3]. Meskipun hubungan sosial budaya Jawa tidak mengenal sistem kasta, tetapi tetap mengakui adanya orang-orang yang lebih dituakan sehingga dihormati. Hal tersebut nampak dalam slametan ketika ada perbedaan misalnya ada orang tertentu yang makan menggunakan piring sedangkan tamu pada umumnya menggunakan daun pisang.
            Dalam hubungan sosial, masyarakat Jawa memberi perhatian ketika ada keluarga tetangga yang anggota keluarganya meninggal dengan menyiapkan segala-galanya untuk menguburkan jenazah. Hal ini dimaksudkan untuk meringankan beban keluarga yang mengalami kemalangan[4]. Bantuan tersebut selain member tenaga tetapi juga menyumbangkan uang untuk meringankan biaya pemakaman dan slametan. Semua ini dilakukan secara sukarela dan tanpa pamrih.
            Selain beberapa hal di atas terdapat pula istilah sambat-sinambat (saling meminta pertolongan) di masyarakat Jawa. Saling meminta pertolongan ini terjadi ketika ada keluarga yang hendak memperbaiki rumah, mempersiapkan slametan, dsb. Biasanya permohonan sambat-sinambat tidak boleh ditolak dengan konsekuensi dimana orang yang meminta pertolongan mengembalikan jasa itu pada kesempatan lain. Melihat isi sambat-sinambat, kita dapat mengatakan bahwa tradisi ini sifatnya tidak setulus seperti dalam hal tetulung layat[5].

Kekerabatan dalam Budaya Jawa
            Kekerabatan dalam budaya Jawa merupakan keluarga luas di luar keluarga inti, keluarga inti yang diperluas, juga masyarakat di sekitarnya. Kekerabatan orang Jawa secara praktis Nampak dalam penyelenggaraan perayaan-perayaan adat dan keagamaan. Kegiatan yang melibatkan hubungan kekerabatan juga tak bersifat spontan seperti pada tetulung layat.
            Kekerabatan Jawa terbagi dalam dua kelompok besar yaitu sanak sedherek (kindred) dan alur-waris (ambilineal ancestor-oriented kingroup). Dalam tulisan ini akan dibahas tentang sanak sedherek yang umum ditemui di masyarakat Jawa dan mudah dimengerti dan sedikit tentang alur waris.
            Sanak sedherek merupakan kelompok kekerabatan kadangkala bilateral yang para warganya terkait hubungan keturunan ataupun perkawinan. Sanak Sedherek secara samar-samar mirip dengan golongan atau dalam bahasa antropologi-sosial disebut kindred. Sanak sedherek berpusat pada sepasang suami-istri tertentu, misalnya sanak sedherekipun Nugraha. Biasanya dalam satu kindred rata-rata beranggotakan 33 orang.
            Sanak sedherek mempunyai kewajiban berpartisipasai dan menyumbang dalam rangkaian upacara atau perayaan di lingkungan sanak sedherek tertentu. Acara-acara itu mencakup pernikahan, kematian slametan yang berkaitan dengan pitung ndhina (tujuh hari), patang puluh ndhina (40 hari), nyatus ndhina (100 hari), dan nyewu (1.000 hari) meninggalnya seseorang. Setiap kegiatan dalam budaya Jawa biasanya diikuti dengan suatu slametan, dan di sini sanak sadherek turut memberi sumbangan atau membantu menyiapkan masakan dan lain-lain. Kewajiban hadir sanak sadherek tergantung pada seberapa penting acara. Namun, dalam budaya Jawa, tidak hadir dalam suatu pemakaman merupakan hal yang sangat dicela bila tanpa alasan yang sangat dapat diterima misalnya tugas jabatan.
            Alur waris merupakan suatu kelompok kekerabatan ambilineal yang berpusat kepada satu nenek-moyang. Kekerabatan ini memiliki kewajiban mengurus makam nenek-moyang dan mengurus pemeliharaan dan slametan yang berkaitan dengan hal ini. Perbedaan mendasar dari kekerabatan sanak sadherek dan alur waris terletak pada pusat keluarga, dimana sanak sadherek berpusat pada keluarga tertentu sedangkan alur waris pada nenek-moyang tertentu. Jadi, Dengan sistem kekerabatan dan hubungan masyarakat yang demikian dijelaskan di atas, masyarakat Jawa tidak mengenal sistem marga dan kasta yang membuat masyarakat terpisah-pisah secara vertikal maupun horisontal.





[1] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa...., hlm. 144.
[2] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....,  hlm.151.
[3] P.M. Laksono, Tradisi dalam ..., 56.
[4] Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa....,  hlm.152.
[5] merupakan kegiatan saling menolong ketika ada yang meninggal.

Sabtu, 05 Maret 2016

TANGGUNG JAWAB DALAM UCAPAN MANUSIA (bagian kedua)

BAB III
REFLEKSI KRITIS PEMIKIRAN AUSTIN

1. Analisa Kritis Ucapan Konstatif dan Ucapan Performatif Austin
Hal positif dalam pemikiran Austin tentang ucapan konstatif dan ucapan performatif ialah independensi Austin dari sikap ekstrem yang memukul rata semua konteks bahasa dalam satu konteks saja, seperti misalnya atomisme logik dan positivisme logik.[1] Pemikiran Austin terlihat sebagai harmonisasi antara dua pemikiran sebelumnya yaitu atomisme logik atau postivisme logik dan “permainan bahasa” Wittgenstein. Austin mengakui bahasa sebagai ungkapan fakta tetapi juga mengakui bahwa bahasa harus dipahami dari banyak konteks.[2] Pemahaman ini membuat Austin terbuka terhadap ucapan-ucapan yang melampaui yang fisik (metafisis) yang dapat diverifikasi.[3]
Pemikiran analitis Austin juga menjadi sumbangan besar bagi khazanah studi bahasa[4] yang dalam beberapa kasus, bahasa menjadi “category mistake” bagi para filsuf dalam berpikir.[5] Hal itu terjadi sebab beberapa filsuf seringkali mengabaikan konteks bahasa atau memukul rata begitu saja semua bahasa. Dalam hal ini, Austin berpendapat bahwa penyelidikan analitis merupakan permulaan berpikir yang mutlak perlu.[6]
Pemikiran Austin tentang ucapan performatif menghantar pendengar kepada kesadaran bahwa seseorang memiliki tanggung jawab dalam setiap ucapannya.[7] Namun, pendapatnya bahwa ucapan performatif tidak dapat benar atau tidak dapat salah, secara tidak langsung juga mereduksi dimensi tanggung jawab penutur atas ucapan mereka. Dalam hal ini, moral atau sisi agama dapat memberi klarifikasi yang lebih.
Ucapan performatif yang tidak laik, entah karena penutur tidak bertanggung jawab atau karena penutur sengaja menyalahgunakan bahasa, dalam keagamaan dapat diartikan sebagai dusta. Dusta berarti bahwa orang mengatakan yang tidak benar dengan maksud menyesatkan.[8] Dalam contoh janji kosong oknum politikus, ucapan performatif yang ia lakukan ketika kampanye merupakan sebuah kesalahan karena banyak orang disesatkan oleh janji tersebut. Padahal, masyarakat dapat memilih orang lain yang lebih laik jika ia berkata dengan sesungguhnya. Namun, bagi Austin, ucapan oknum politikus itu hanya dianggap sia-sia dan tidak berdampak pada penutur serta tidak mengandung salah. Seharusnya Austin memperhatikan juga konsekuensi moral dari ucapan seseorang.
Meskipun demikian, dimensi agama juga mengakui bahwa tanggung jawab dapat berkurang hanya karena ketidakpahaman, ketidaksadaran, paksaan, perasaan takut, kebiasaan, emosi yang berlebihan, serta faktor psikis dan sosial lain.[9] Tanpa syarat-syarat tersebut yang dapat mengurangi tanggung jawab, agama menganggap bahwa penyalahgunaan bahasa dengan maksud menyesatkan bernilai salah bahkan dosa. Fakta ini membawa kita pada kesadaran akan pentingnya memahami secara komprehensif ucapan yang diujarkan agar bagi diri sendiri kita dapat bertanggung jawab dan ketika menjadi pendengar, kita dapat menjadi pendengar yang kritis.
Selain itu, sebagian besar ahli berpendapat bahwa perbedaan yang Austin buat terhadap ucapan konstantif dan performatif masih terlalu abstrak dan belum memiliki taksonomi yang jelas. Sebenarnya, Austin sendiri menyadari bahwa perbedaan-perbedaan yang dibuatnya tidak bersifat mutlak. Misalnya, tidak betul bahwa ucapan performatif selalu memakai persona pertama, bentuk indikatif, waktu sekarang dan aktif.[10] Hal tersebut disebabkan oleh adanya ucapan performatif yang dirumuskan sebagai berikut, “hadirin disilahkan berdiri”, “dilarang merokok”, dan sebagainya.[11]
Selain itu, ketika diselidiki lebih terperinci, ternyata beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam ucapan performatif, secara analogis dapat juga diterapkan dalam ucapan konstatif. Hal ini menandakan bahwa, pembedaan yang dibuat oleh Austin belum sepenuhnya dapat membedakan secara persis kedua hal yang ia pisahkan. Ada tiga kemungkinan bagaimana syarat ucapan performatif berlaku juga bagi ucapan konstatif:
1.      Ucapan performatif mensyaratkan wewenang penuturnya. Untuk memberikan sebuah perintah, seseorang harus memiliki wewenang. Dalam hal yang sejalan, ucapan konstatif juga mensyaratkan wewenang penuturnya yaitu berupa pengetahuan atau pengalaman tentang fakta yang hendak dinyatakan.[12] Misalnya: “Saya menghadiahkan koleksi lukisan saya kepada Museum Nasional” dibandingkan dengan “Ibukota Finlandia ialah Helsinki”. Ujaran pertama mengandaikan bahwa penutur memiliki jam, sedangkan ujaran kedua mengandaikan penutur memiliki pengetahuan geografi yang memadai.
2.      Ucapan performatif mensyaratkan kejujuran penutur. Dalam ucapan konstatif, dapat diandaikan bahwa ia tidak berbohong dalam menggambarkan realitas yang dapat diverifikasi. Dengan kata lain, orang yang mengucapkan ucapan konstantif pun harus yakin tentang apa yang dikatakannya.[13] Misalnya: “Saya berjanji menjemputmu besok” dibandingkan dengan “Dia seorang pengangguran”. Kedua ujaran tersebut (yang pertama performatif dan yang kedua konstatif) mengandaikan adanya kejujuran penutur.
3.      Ucapan performatif mensyaratkan tanggung jawab penutur. Dalam hal ini, ucapan konstatif juga membutuhkan tanggung jawab penutur. Misalnya, seseorang mengungkapkan bahwa ia dapat berbahasa Jerman, maka dalam kelanjutannya haruslah ia mengerti bahasa Jerman.[14]
Melihat ketiga contoh di atas, akhirnya banyak orang menyimpulkan bahwa hanya satu kriteria yang membedakan kedua ujaran tadi yaitu kriteria dapat atau tidak dapat dikenakan predikat benar atau tidak benar. Namun, dalam hal ini, Austin sendiri pun mengakui bahwa perbedaan ujaran konstatif dan performatif masih juga tidak selalu jelas. Misalnya dalam sebuah vonis dikatakan: “Atas fakta yang terkumpul, saya menjatuhkan vonis selama enam bulan kepada saudara!” Dalam ujaran itu, jika konsisten pada pemikiran Austin, kita tidak dapat mengenakan kriteria benar atau salah. Namun, pada kenyataanya, ujaran demikian (vonis) selalu berhubungan dengan realitas atau kebenaran fakta-fakta yang menjadi titik fokus ujaran konstatif.[15]

2. Relevansi Pemikiran Austin tentang Ucapan Performatif bagi Pengguna Bahasa Zaman ini
Pemikiran Austin tentang ucapan performatif memiliki beberapa relevansi bagi baik penggunaan maupun pengguna bahasa pada zaman ini. Dalam tulisan ini, terutama penulis hendak memberi perhatian pada aspek tanggung jawab yang diemban penutur setiap kali ia mengungkapkan bahasa dan pada penyadaran bahwa“mengatakan sesuatu berarti melakukan sesuatu”. Pada prakteknya, relevansi pemikiran Austin tentang ucapan performatif dapat menghantar pendengar kepada kesadaran untuk berpikir komprehensif ketika hendak berbicara maupun mendengarkan.

2.1 Berpikir Komprehensif berdasarkan Syarat Ucapan Performatif
Setiap ujaran yang diucapkan baik oleh diri sendiri maupun orang lain selalu bisa diteliti secara komprehensif. Penelitian yang komprehensif dalam sebuah ujaran atau calon ujaran (bagi diri sendiri) membawa kita kepada kesadaran akan tanggung jawab yang mungkin diemban sehingga ucapan kita tidak menjadi ucapan yang “omong doang”.[16]
Di sisi lain, penelitian yang komprehensif dalam sebuah ujaran yang diucapkan oleh orang lain membantu kita untuk bersikap secara tepat[17] sehingga tidak lagi merasa tertipu, dibohongi, dan sejenisnya. Sebab, terkadang kita tertipu (dalam konteks janji oknum politikus) justru karena kita begitu saja menerima ucapan mereka tanpa meneliti dahulu latar belakang subyek dan sebagainya menurut syarat ucapan performatif.[18]

2.1.1 Sikap Kritis terhadap Ucapan sendiri
Ketika kita hendak berkata kepada teman kita: “saya berjanji akan datang ke pesta pernikahanmu” ada beberapa hal yang perlu kita kritisi sebelum mengucapkannya. Pertama, apakah memang ada pesta perkawinan yang akan diselenggarakan? Pertanyaan ini berkaitan dengan syarat harus mengikuti prosedur yang lazim berlaku. Kedua, Apakah pesta perkawinan tersebut belum berlangsung dan diri kita memang diundang? Pertanyaan ini berkaitan dengan syarat setiap orang yang terlibat memang mempunyai wewenang untuk mengatakannya. Dalam konteks ini berarti kita harus memang benar-benar diundang. Ketiga, Apakah ada kemungkinan bagi penutur untuk menghadiri pesta? Pertanyaan ini menuntut kejujuran penutur. Pada bagian ini, terkadang penutur kurang memperhatikannya demi menyenangkan orang yang diajak bicara. Keempat, apakah penutur memiliki minat untuk menghadiri pesta? Pertanyaan ini menyangkut pada pelaksanaannya kelak. Jangan sampai setelah penutur berbicara, baru ia mengakui bahwa ia tidak punya minat sama sekali.[19]
Pertanyaan yang ketiga dan keempat sering kali dilanggar oleh penutur demi menegakkan prinsip “basa-basi” demi menyenangkan orang yang diajak berbicara.[20] Atau oleh beberapa orang, demi melonggarkan dimensi tanggung jawab dari sebuah ucapan performatif, mereka menggunakan istilah “Insya Allah”.[21] Setelah penambahan istilah yang terakhir, bahkan sebuah ucapan performatif tidak bisa dikenakan kategori laik atau tidak laik, apalagi digunakan kategori salah atau tidak salah dalam konteks mengingkari ucapan performatif.
Yang benar yang seharusnya dilakukan penutur ialah memperhatikan keempat aspek di atas. Adalah lebih baik mengatakan tidak atau tidak mengatakan ujaran performatif sama sekali bila kita menyadari bahwa ada salah satu syarat yang tidak dapat kita penuhi. Meskipun, dalam lingkup filsafat kita tidak bersalah ketika melanggar ucapan performatif, namun dalam lingkup keagamaan kita telah melakukan sebuah pelanggaran yang bukannya tidak berarti.[22]

2.1.2 Sikap Kritis terhadap Ucapan Orang Lain
Mendekati masa pemilihan baik legislatif maupun eksekutif, fenomena yang sering terjadi ialah banyak para pejabat yang mulai mengunjungi daerah-daerah. Biasanya mereka menjanjikan ini dan itu apabila mereka terpilih kembali. Sebagai contoh: “Saya berjanji akan mengirimkan bantuan beberapa buah traktor dan peralatan pertanian lainnya jika saya kembali ke Jakarta (menjabat lagi, pen) nanti.”
Ucapan performatif di atas dapat kita analisis dengan beberapa syarat yang diajukan oleh Austin untuk menilai kelaikannya. Setidaknya ada empat pertanyaan (sesuai dengan jumlah syarat yang Austin ajukan) yang perlu kita jawab:
1.      Apakah kunjungan pejabat tersebut dilakukan dalam prosedur yang lazim berlaku dalam setiap kunjungan pejabat pemerintahan? Apakah pemerintah pusat memang sengaja mengirimkannya ke daerah tersebut? Atau barangkali kunjungan tersebut tidaklah resmi, bukan dalam rangka dinas, melainkan karena kebetulan ia ingin mencari suara kelak?
2.      Apakah pejabat tadi memang berwenang dalam bidang pertanian, misalnya sebagai Menteri Pertanian atau staf ahli departemen pertanian? Atau jangan-jangan pejabat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang pertanian?
3.      Apakah ucapan tersebut mengandung kejujuran penutur atau sekedar basa-basi yang menyenangkan hati demi terpilih kembali?
4.      Akhirnya, apakah ucapan tersebut dipertanggungjawabkan oleh si penutur?
Apabila salah satu syarat di atas melenceng dari kelazimannya, maka ucapan yang diutarakan oleh si penutur tidaklah laik. Pada akhirnya kita juga dapat menyimpulkan bahwa si penutur tidak bertanggung jawab dan dengan begitu kita tidak perlu memilihnya.[23]

2.2 Meneguhkan dan Bertanggung jawab Atas Iman Berdasarkan Daya Ucapan Performatif
Pada masa positivisme logik, semua ucapan metafisis tidaklah bermakna. Akibatnya, ucapan teologipun kehilangan maknanya bagi positivisme logik. Namun, Donald D.Evans mengangkat makna ucapan teologi (credo, doa, pujian, dsb.) berdasarkan teori ucapan performatif yang disumbangkan oleh Austin.[24]
 Menurut Donald, ucapan “saya memuji Tuhan”, “saya percaya kepada Allah” tidak dapat disamakan begitu saja dengan “saya membaca buku”. Dua ucapan pertama secara faktual tidak dapat diverifikasi, sementara ucapan yang ketiga sangat mungkin diverifikasi. Menurut, positivisme logik, ucapan macam pertama dan kedua tidak bermakna. Namun, Donald dengan menggunakan prinsip ucapan performatif Austin menyatakan bahwa ucapan tersebut bermakna.
Menurut Donald, ucapan “saya memuji Tuhan” dan “saya percaya kepada Allah” bukanlah sebatas ucapan yang melukiskan fakta, melainkan melakukannya. Ketika, seseorang mengatakan “saya memuji Tuhan”, maka pujian itu tidak terlepas dari ucapan tersebut. Dan sebaliknya, pujian tersebut menjadi nyata justru karena diucapkan.[25] Begitu juga ucapan “saya percaya kepada Allah” merupakan ucapan yang bukan semata-mata ingin melukiskan fakta tetapi dengan ucapan tersebut penutur benar-benar melakukannya.
Dengan mengembangkan pemikiran Austin, Donald memperlihatkan bahwa ketika seseorang mengungkapkan ujaran teologis seperti “saya memuji Allah” atau “saya percaya Allah Pencipta”, orang yang menggunakan ujaran itu melibatkan dirinya dalam Allah. Menggunakan ujaran seperti itu berarti seseorang mengambil suatu sikap. Donald menyebutnya sebagai pemakaian bahasa auto-implikatif.
Dengan mengatakan sesuatu tentang iman, seseorang bukan hanya sedang melukiskan fakta-fakta tertentu. Dengan mengatakan sesuatu tentang iman berarti seseorang melibatkan dirinya dalam ucapan itu sendiri. Misalnya, orang yang mengatakan: “saya berjanji besok akan datang pukul 10, tetapi jangan harap saya akan muncul besok pukul 10”, ia akan dianggap aneh. Begitu juga orang yang mengatakan: “saya percaya kepada Allah, tetapi jangan harap saya percaya kepada-Nya”, akan dianggap aneh karena berada di luar kelaziman.[26]
Donald memperlihatkan perbandingan antara dua ucapan: “Saya mengakui bahwa Allah adalah Pencipta semesta alam” dan “Saya mengakui bahwa Pak Ali yang membuat meja itu”. Kalimat kedua merupakan sebuah ucapan konstatif, dimana penutur mengambil posisi netral. Sementara itu, ucapan pertama tidak pernah hanya mempunyai kekuatan konstatif saja. Ucapan pertama tidak pernah bersifat netral. Dalam ucapan yang pertama, seseorang melibatkan diri dalam ucapan tersebut dan mengambil konsekuensi dari ucapan tersebut. Dengan mengucapkan ujaran yang pertama, orang mengakui dirinya sebagai ciptaan yang tergantung kepada Allah pencipta.[27]
Ucapan iman tidak pernah bersifat netral karena selalu mendatangkan konsekuensi atau tanggung jawab ketika kita memutuskan untuk mengucapkannya. Saat mengucapkan iman, kita juga dapat mengenakan empat syarat yang diberikan Austin dalam menguji ucapan performatif. Ketika kita sudah mengiyakan keempat syarat yang berlaku bagi ucapan iman kita, berarti kita bertanggung jawab atas ucapan iman kita. Bila kita melanggar, menurut filsafat, kita memang tidak dapat salah maupun benar. Namun, menurut agama, perbuatan kita yang secara sadar melanggar ucapan performatif kita sendiri merupakan sebuah kesalahan bahkan dosa yang cukup berarti.[28]

3. Relevansi Pemikiran Austin tentang Ucapan Performatif bagi Diri Sendiri
Dengan memahami teori ucapan performatif Austin, penulis menyadari bahwa mengatakan ujaran performatif tidak hanya sebatas melukiskan fakta melainkan sungguh-sungguh melakukannya.[29] Oleh karena mengucapkan ujaran performatif berarti melakukan sesuatu, dimensi tanggung jawab mendapat tempat dalam ujaran penulis (bdk. syarat keempat sebuah ujaran performatif). Akibatnya, penulis dapat berpikir secara masak ketika hendak mengungkapkan ujaran performatif agar tidak begitu saja melepaskan dimensi tanggung jawab dalam setiap ujaran performatif yang mungkin penulis ucapkan.
Sebagai seorang mahasiswa filsafat, penulis setuju bahwa ujaran performatif tidak dapat dikenakan nilai benar atau salah. Meskipun demikian, sebagai seorang Katolik, penulis memperhitungkan dimensi salah bahkan dosa yang dibuat oleh kesengajaan menyalahgunakan bahasa demi menyesatkan orang lain.[30] Dalam dimensi keagamaan, penulis belajar untuk tidak berdusta. Caranya? Dengan berpikir secara komprehensif berdasarkan prasyarat yang dibuat oleh Austin mengenai ujaran performatif. Penulis menyadari bahwa tindakan tidak bertanggung jawab baik oleh diri sendiri maupun orang lain sebenarnya dapat dihindari karena pada dasarnya setiap ucapan performatif dapat dikritisi dengan masak.
Dalam menghayati hidup sebagai seorang frater, penulis semakin menyadari tanggung jawab penulis di setiap ucapan performatif baik lisan maupun tulisan yang penulis buat. Saat menerima jubah, penulis mengucapkan “saya berjanji setia…”. Saat membuat refleksi akhir semester, penulis senantiasa mendeklarasikan “saya bersedia meneruskan…”. Dengan menggunakan “batu uji” sayarat ucapan performatif, penulis menyadari bahwa ucapan performatif penulis hanya laik bila penulis secara jujur memenuhi keempat syarat kelaikan sebuah ucapan performatif tersebut. Kegagalan yang mungkin terjadi, secara mendasar disebabkan oleh ketidakjujuran penulis akan diri sendiri dan sikap tidak bertanggung jawab terhadap ucapan performatif yang sesungguhnya mengadakan suatu perbuatan nyata.
Penulis menyadari bahwa melakukan sebuah ucapan performatif harus disertai dengan kehendak. Jangan sampai terjadi, seperti yang dikatakan oleh para filsuf willensschwach atau ketiadaan kehendak.[31]
Dalam kehidupan religius, dengan mengetahui kekuatan sebuah ucapan performatif, penulis semakin yakin bahwa setiap pujian, setiap doa brevir yang penulis lambungkan kepada Allah, dan Credo yang senantiasa penulis ungkapkan bukan sekedar ungkapan kosong. Lebih dari itu, penulis menyadari bahwa justru dengan mengungkapkan semua itulah pujian dan doa itu sungguh menjadi kenyataan.[32] Berdasarkan pengembangan teori ucapan performatif Austin oleh Donald D. Evans, penulis menyadari bahwa dengan mengungkapkan segala bentuk kepercayaan iman, penulis semakin melibatkan diri bahkan bersatu dengan apa yang penulis ungkapkan.[33] Penghianatan terhadap ungkapan performatif, sekali lagi secara filosofis tidak bernilai salah. Namun, sebagai seorang mahasiswa filsafat yang sekaligus seorang Katolik bahkan seorang calon imam, penulis mengamini ajaran iman Gereja bahwa penghianatan terhadap apa yang oleh Austin disebut sebagai ungkapan performatif merupakan sebuah penipuan/dusta terhadap diri sendiri, sesama, terlebih Tuhan. Dan, itu semua bernilai salah bahkan dosa.



[1] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.141
[2] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.58.
[3] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.147
[4] K. Bertens, Filsafat Barat..., hlm.58.
[5] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.142
[6] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.143
[7] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60. Bdk. K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.131.
[8] Katekismus Gereja Katolik (KGK) no.2482.
[9] KGK no.1735.
[10] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.
[11] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.60.
[12] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.61.
[13] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.61.
[14] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.61.
[15] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.62.
[16] Reza A.A.Wattimena, Filsafat Sebagai Revolusi Hidup, (Yogyakarta: PT Kanisius, 2015), hlm.274.
[17] Bdk. Maruli Panggabean (ed), Bahasa, Pengaruh, dan Peranannya, (Jakarta: OBOR, 1981), hlm. 106.
[18] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm. 132.
[19] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.139.
[20] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.140.
[21] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.140
[22] KGK no.2484.
[23] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.133-134.
[24] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.148.
[25] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.150.
[26] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.152.
[27] Rizal Mustansyir, Filsafat Analitik..., hlm.152.
[28] KGK no. 2484.
[29] K.Bertens, Filsafat Barat..., hlm.59
[30] KGK no.2483
[31] Reza A.A. Wattimena, Filsafat Sebagai..., hlm.275.
[32] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.150.
[33] K.Bertens, Panorama Filsafat..., hlm.154