Minggu, 28 Mei 2017

ULASAN ENSIKLIK FIDES ET RATIO

Dialog Iman dan Akal Menuju Kebenaran
Menurut Surat Ensiklik Fides et Ratio

1.        Pengantar
Manusia, secara kodrati, berhasrat untuk mencari dan menemukan kebenaran.[1] Kebenaran merupakan kesesuaian antara pemahaman manusia dengan kenyataan yang dipahaminya.[2] Sepanjang sejarah kemanusiaan, usaha manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran ditopang oleh dua kemampuan manusiawi yaitu kemampuan akal dan kemampuan iman[3] yang masing-masing otonom.
Kemampuan akal dan kemampuan iman, idealnya saling mendukung. Pengembangan akal yang nyata dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknik akan berguna bagi peradaban dan kemanusiaan jika di dalamnya kebijaksanaan Ilahi juga terlibat. Sebaliknya, pengembangan iman tanpa penalaran malahan akan lebih mudah membawa pada kepicikan dan kesempitan. Iman dan akal bagaikan sepasang sayap, keduanya mengepak bersama dalam menggapai kebenaran. Keduanya merupakan anugerah Allah yang ditanamkan dalam diri manusia, sehingga dengan iman maupun akal budi, Allah dikenali dan dicintai, serta kepenuhan kebenaran didapatkan. Demikianlah pandangan resmi Gereja Katolik tentang iman dan akal yang tertulis dalam surat ensiklik Paus Yohanes Paulus II, Fides et Ratio.
Dewasa ini, keprihatinan muncul berkaitan dengan hubungan iman dan akal. Di satu sisi, dunia perlahan-lahan dirusak oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menyingkirkan iman dan moral. Dunia cenderung berkembang hanya berdasarkan rasionalitas murni. [4] Misalnya: semakin berkembangnya kaum ateis (tidak ada tuhan), kaum deistis (mereka yang percaya akan adanya Tuhan tetapi Tuhan tidak mempunyai pengaruh atas hidup), kaum pragmatis-postivis; di Eropa (perlahan tumbuh di Asia) banyak negara mengesahkan UU perkawinan homosex, lesbian, abortus, dan sebagainya dengan argumen-argumen yang sangat masuk akal.[5] Di sisi lain, muncul aliran iman buta dalam fundamentalisme dan fanatisme sempit yang bermuara pada suatu kekuatan arkhais dan berbahaya, yang menciptakan universalisme palsu yang mengarah pada intoleransi dan pada titik yang ekstrem, terorisme.[6] Dua kelompok tersebut seolah-olah saling bersaing mengklaim diri sebagai yang paling benar sehingga saling menunjukkan dominasi satu sama lain.
Keprihatian tadi bukanlah hal baru. Pada Tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II berseru kepada masyarakat San Domingo bahwa pewartaan Injil memuat panggilan untuk melakukan dialog intensif antara iman dan ilmu pengetahuan (akal) agar dengan demikian humanisme Kristiani semakin dapat terbangun. Orang Kristen tidak boleh berada di salah satu sisi atau iman atau akal saja. Pewartaan kebenaran Injil tidak dapat mengesampingkan perkembangan ratio meskipun tidak boleh terseret arusnya. Pewartaan kebenaran Injil juga tidak dapat hanya menggunakan penanaman dogma buta yang menolak segala daya nalar manusiawi. Dialog intensif iman dan akal menuju kebenaran sangat diperlukan. Paus Yohanes Paulus II secara sistematis memaparkan tema tersebut dalam ensiklik Fides et Ratio. Oleh sebab itu, penulis hendak memaparkan bagaimana dialog iman dan akal menuju kebenaran menurut surat ensiklik Fides et Ratio yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II.

2.                  Selayang Pandang Tentang Surat Ensiklik Fides et Ratio
2.1.                 Latarbelakang dan Alamat Penulisan Ensiklik Fides et Ratio
Ensiklik Fides et Ratio dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tahun 1998. Latarbelakang diterbitkannya ensiklik ini adalah problematik yang dihadapi umat manusia tentang apa yang baik dan yang benar. Dengan ensiklik ini, Paus hendak meyakinkan kembali orang-orang yang menjadi gelisah karena aliran skeptisisme dan relativisme yang berkembang bahwa manusia memiliki kemampuan kodrati untuk mencapai kebenaran yang obyektif.[7] Paus ingin menempatkan kembali potensi nalar pada arah sebenarnya yaitu yang dibangun atas dasar prinsip otonom yang terkait dengan realitas kebenaran abadi.[8] Selain itu Paus juga hendak memperhatikan fenomena pengkotak-kotakan pengetahuan yang terpisah satu sama lain. Paus menekankan dalam ensikliknya bahwa dialog sangat diperlukan untuk mencapai kebenaran.
Dalam kondisi yang demikian (problematik), Paus melihat bahwa Gereja berkepentingan untuk menyatakan ajarannya mengenai kebenaran. Bukan sebatas kebenaran kognitif tetapi lebih jauh lagi yaitu kebenaran hidup manusia dalam kaitannya dengan karya keselamatan Allah. Dengan demikian diharapkan manusia semakin membangun hidup pada apa yang sungguh baik dan benar. Dalam arah dasar ini Fides et Ratio ditulis.[9]
Dalam Gereja Katolik, pengajaran atau saksi akan kebenaran Ilahi adalah uskup. Oleh karena itu, berbeda dengan ensiklik lainnya, Fides et Ratio ditujukan secara khusus kepada para uskup. Paus mendorong para uskup untuk memberi kesaksian akan kebenaran agar umat manusia semakin terbuka akan kebenaran. Para uskup perlu mewaspadai kecenderungan manusia untuk memalsukan atau menyangkal kebenaran demi kepentingan ekonomis, politis, “kemajuan”. Pemahaman manusia yang utuh tentang kebenaran harus ditegakkan kembali dan kebenaran iman sebagai dasarnya harus dinyatakan kembali.
Meskipun ensiklik ini secara khusus ditujukan kepada para uskup, bukan berarti bahwa kita tidak harus terlibat dalam penyuaraan kebenaran. Kita juga harus memiliki kebenaran yang diserukan Gereja yaitu bukan hanya kebenaran iman atau hanya kebenaran akal melainkan dialog antara keduanya. Kembali lagi kita menggemakan pembukaan ensiklik ini: iman dan akal adalah sepasang sayap yang mengangkat jiwa manusia mengontemplasikan kebenaran.[10]

2.2.                 Isi Ringkas Ensiklik Fides et Ratio
Ensiklik ini dibagi ke dalam tujuh (7) bab isi dan sebuah pengantar. Dalam pengantar, Paus mengutip perkataan Sokrates di gerbang kuil di Delphi: “kenalilah dirimu”.[11] Paus mengatakan bahwa mengenali diri merupakan kebenaran yang paling fundamental yang darinya keseluruhan ciptaan akan dipahami.[12]  Berpangkal dari keingintahuan akan dirinya makna dan tujuan dirinya, manusia berupaya mendapat pengetahuan, pemahaman akan realitas yang lain. Ia tidak ingin tersesat, ia ingin menemukan jalan yang benar meskipun tidak mudah.[13] Paus memberi tempat khusus bagi filsafat mengenai pencarian ini sebab filsafat memang berarti “cinta akan kebijaksanaan”.[14] Filsafat memberi bentuk yang lebih pasti berkaitan dengan pemikiran, misalnya prinsip penalaran lurus (recta ratio).[15] Di samping itu pertanyaan tentang kebenaran juga diajukan oleh iman Kristian dan atas itu umat beriman mendengarkan dan mendalaminya lewat pewahyuan Ilahi.
Pada bab pertama, Paus menulis tentang pewahyuan kebijaksanaan Allah. Paus menuliskan bahwa kebijaksanaan Allah terwahyukan dalam diri Yesus.[16] Kebijaksanaan Allah menyejarah dalam Pribadi, dan oleh karena itu kebenaran tentang diri manusia benar-benar terselami dalam sejarah. Meskipun Yesus mewahyukan kebijaksanaan Allah, tetap ada misteri karena keterbatasan pemahaman manusia. Akal manusia tidak sanggup. Dalam keadaan ini, iman yang mungkin mencapainya secara koheren.[17] Yang jelas, kehadiran Yesus memungkinkan manusia untuk merangkul misteri hidupnya yang sepenuhnya (seruan “kenalilah dirimu”).[18]
Pada bab kedua, Paus menulis tentang kegiatan iman. Paus mengutip Keb 9:11 tentang kebijaksanaan yang mengetahui dan mengerti segala sesuatu.[19] Orang menerima kebijaksanaan akan menerima pemahaman.[20] Allah yang adalah kebijaksanaan menjadi garansi kebenaran. Meskipun daya intelektual memungkinkan manusia mengetahui sesuatu, tanpa iman, pengetahuan itu tidak mendalam.[21]
Pada bab ketiga, Paus menulis tentang kegiatan akal. Kegiatan akal yang utama ialah mencari kebenaran.[22] Dalam perjalanan mencari, akal menemukan bahwa terdapat banyak wajah kebenaran manusiawi yang berbeda-beda.[23] Dalam prosesnya pun kebenaran akal dapat diperoleh dengan banyak cara, salah satunya dengan menerima pengalaman rasional orang lain. Lama-kelamaan kebenaran tersebut disetujui. Dapat dikatakan bahwa orang yang mencari kebenaran berarti juga orang yang hidup dengan kepercayaan (terhadap pengalaman rasional orang lain).[24] Tahap demi setahap, proses tersebut dapat juga sampai pada kebenaran yang ada dalam Pribadi Yesus Kristus. Maka tidak ada pertentangan antara kebenaran iman dan proses pikir akal (filosofis) tadi.[25]
Pada bab keempat, Paus menulis tentang hubungan antara iman dan akal. Tidak dapat dipungkiri bahwa akal (filsafat) mempunyai sumbangan besar pada iman (teologi) dimana filsafat menjadi prasyarat dasar untuk belajar teologi.[26] Akal budi menjelaskan (intellectus fidei) kebenaran iman yang ia terima (auditus fidei). Akal harus mencari apa yang ia cintai (kebenaran). Di samping itu, Paus juga menuliskan situasi dimana terjadi perpisahan antara iman dan akal yang seharusnya tidak perlu: rasionalisme lawan fideisme, dan sebagainya.[27]
Pada bab kelima, Paus menuliskan tentang campur tangan magisterium dalam masalah filosofis. Gereja tidak berada dalam satu aliran filsafat tertentu. Gereja setia pada penyingkapan kebenaran. Oleh karena itu, Gereja melalui magisteriumnya mengintervensi beberapa aliran filsafat yang tidak setia pada kebenaran sesungguhnya misalnya: fideisme, tradisionalisme yang radikal, rasionalisme, ontologisme.[28] Selain intervensi itu, Gereja juga menunjukkan ketertarikannya pada filsafat (dengan menyebut beberapa teladan doktor gereja). Terutama, agar filsafat dan teologi berjalan bersama menuju kebenaran.
Pada bab keenam, Paus menuliskan tentang interaksi antara filsafat dan teologi. Paus menekankan bahwa pengetahuan iman (teologi) memerlukan rasio filosofis. Paus menggunakan istilah auditus fidei dan intellectus fidei. Yang pertama menempatkan teologi pada sumbernya sendiri yaitu Tradisi, Kitab Suci, dan magisterium.[29] Sementara yang kedua, teologi ditanggapi dengan disiplin pemikiran rasional. Meskipun demikian, pertimbangan pertama tetap pada Kebenaran ilahi: Kitab Suci yang ditafsir dengan magisterium yang berpuncak pada pribadi Yesus Kristus .
Pada bab ketujuh, Paus menuliskan tugas dan apa yang diperlukan untuk zaman ini. Pertama-tama Paus sangat menekankan perlunya  Sabda Allah. Sabda Allah memberikan kebenaran-kebenaran akhir yang memuaskan manusia. Perlu untuk melawan pemikiran filosofis yang kurang tepat seperti ekklektisisme, historisme, scientisme, pragmatisme, dan nihilisme[30]. Atas aliran  filsafat yang cenderung mempersempit pemahaman akan kebenaran itu teologi harus memperbarui metodenya agar dapat berperan sebagai sarana evangelisasi secara lebih efektif dan perlu selalu masuk ke dalam pewahyuan yang dipercayakan kepadanya untuk direfleksikan.[31] Teologi harus menyampaikan kebenaran Kristus yang berpuncak pada Misteri Paskah-Nya; sebab hanya dalam Kristus manusia mungkin mengetahui kepenuhan kebenaran yang menyelamatkan.[32]
Dalam kesimpulan, Paus menegaskan bahwa iman dan akal saling mendukung satu sama lain. Keduanya saling memurnikan untuk mengejar pemahaman yang lebih dalam. Akhirnya, ia meminta kepada semua orang untuk melihat lebih dalam pada diri manusia yang oleh Kristus telah diselamatkan. Orang hanya dapat menemukan kebenaran bila masuk ke dalam kebenaran, tinggal dalam kebenaran, hidup dinaungi kebijaksanaan. Dengan begitu manusia akan memahami kebebasannya dan panggilan mereka untuk mengetahui dan mencintai Allah, realisasi tertinggi dari kebenaran diri mereka.[33]

3.                  Dialog Iman dan Akal Menuju Kebenaran
3.1.            Menuju Kebenaran
Pada awal tulisan ini sudah dirumuskan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pemahaman manusia dengan kenyataan yang dipahaminya. Oleh karena itu, menuju kebenaran berarti membiarkan kenyataan menyatakan diri kepada diri kita. Kenyataan tidak terbatas pada apa yang tampak (fenomen), imanen melainkan juga yang transenden dan dibalik yang tampak (noumenon).[34] Pengetahuan yang benar serentak mengandung unsur ilahi (total dan tidak terbatas)  dan manusiawi (terbatas).
Manusia dalam perajalan menuju kebenaran berada dalam dua ketegangan tersebut. Dalam Fides et Ratio Paus Yohanes Paulus II menyadari hal tersebut dan menyerukan kembali seruan Konsili Vatikan I:  “ada dua pengertian pengetahuan, dibedakan bukan hanya dari sumbernya juga dari objek penelitiannya (1) dari sumbernya yaitu mengetahui dengan akal kodrati dan dengan wahyu ilahi; (2) menurut obyeknya hal yang bisa dicapai oleh akal natural dan hal yang hanya dimengerti melalui wahyu Ilahi.[35]
Dalam perjalanan manusia menuju kebenaran, manusia tidak dapat sampai pada pengetahuan yang bersifat total. Manusia berbeda dengan Allah. Dalam Allah segala kebenaran terbuka. Namun, manusia dapat mengetahui yang benar dengan penalarannya dan penyataan kebenaran dari Allah yang mengetahui segala kebenaran dan penjamin segala kebenaran. Manusia dapat mengetahui kebenaran dengan mengenal dirinya dan menerima penyataan akan dirinya melalui wahyu Ilahi.
Kenyataanya banyak pengetahuan yang bukan berasal dari hasil penyelidikannya sendiri melainkan dari sesama. Sesama dapat membantu manusia untuk melihat kebenaran. Hal ini mengandaikan bahwa orang memiliki “kepercayaan” atas kebenaran yang disaksikan oleh sesamanya. Dalam Fides et Ratio dituliskan bahwa orang yang mencari kebenaran berarti juga orang yang hidup dengan kepercayaan.[36] Meskipun demikian orang tetap harus bersikap kritis atas kepercayaannya kepada kesaksian sesamanya (adat, warisan, dsb.)
Menentukan pilihan ekstrem di salah satu bidang saja tidak akan membawa manusia menuju kebenaran yang sejati. Dalam Fides et Ratio telah disebutkan beberapa pilihan ekstrem yang mengaburkan kebenaran: rasionalisme atau fideisme di sisi lain; ekklektisisme, historisme, scientisme, pragmatisme, dan nihilisme.[37] Menuju kebenaran selalu berada antara pengetahuan yang berdimensi transenden (misteri) dan imanen.

3.2.            Dialog Menuju Kebenaran dan Syarat Dialog
Permasalahan kebenaran yang objektif, yaitu kesesuaian antara pemahaman manusia dan kenyataan selalu dilematis sejak berabad-abad. Bagaimana membedakan antara yang benar dan yang salah, antara yang subjektif dan objektif selalu muncul.[38] Atas persoalan ini, Brunner mengajukan dialog sebagai salah satu jalan menuju kebenaran.
Dialog adalah mendiskusikan kenyataan sebagai titik pusat pandangan. Atas kenyataan tersebut peserta dialog memberi pendapat dengan kondisi khas masing-masing. Dialog  memampukan masing-masing mengoreksi diri sendiri maupun partner dialognya. Dengan demikian, jalan menuju kebenaran yang obyektif semakin terbuka.
Dialog mengandaikan adanya otonomi para peserta dan keterbukaan pada kenyataan. Mutu dialog tergantung pada tingkat pengalaman, kedewasaan, pengetahuan, dan keahlian para peserta dialog. Selain itu diperlukan segala apa yang khas untuk relasi subjek-subjek. Dialog membutuhkan suasana penghargaan, hormat satu sama lain. Peserta dialog adalah pencinta kebenaran.[39]

3.3.            Dialog Iman dan Akal Menuju Kebenaran
Paus Yohanes Paulus II secara lebih konkret mengajukan dialog antara iman (teologi) dan akal (filsafat) sebagai jalan menuju kebenaran.[40] Dalam konteks dialog, iman dan akal memiliki otonomi masing-masing. Keduanya terbuka terhadap kenyataan yang ada: obyek transenden dan imanen.[41] Keduanya memiliki mutu masing-masing dalam mendekati kenyataan bidangnya. Keduanya adalah pencinta kebenaran dan pencari kebenaran: keduanya adalah sayap pada roh manusia untuk mengontemplasikan kebenaran. Iman merupakan pemberian rahmat dari Allah kepada manusia untuk percaya kepada-Nya/ pengetahuan yang disingkapkan-Nya. Dengan iman, manusia memberi tanggapan; suatu jawaban patuh kepada Allah. Allah sendiri menjadi penjamin kebenaran, kepastian kebenaran, dan Allah tidak menipu dan tidak ingin menipu manusia.[42] Jalan iman menuju kebenaran sah.
Manusia dapat menggunakan akal budi untuk hidup duniawinya. Akal budi sungguh benar pada dirinya sendiri.[43] Dengan akal budi manusia dapat mencapai kebenaran dan kebaikan, mampu mengetahui realitas. Dengan akal budi manusia memiliki recta ratio yaitu penalaran lurus mengenai konsep-konsep kebenaran: non kontradiksi, finalitas dan kausalitas, dsb. Jalan akal menuju kebenaran sah. Keduanya memiliki cara yang sah menuju kebenaran. Menjadi salah bila salah satu mengabaikan yang lain seperti apa yang menjadi keprihatinan Paus dalam ensiklik Fides et Ratio. Iman dan akal tidak setia lagi kepada kebenaran ketika keduanya dipisahkan dan saling mengklaim kebenaran tertinggi.[44]
Apabila akal mengklaim otonomi totalnya maka kebenaran obyektif tidak ada lagi. Semua dianggap benar atau dianggap sebatas opini benar. Oleh karena itu penilaian moral  yang dirasa tidak rasional tidak lagi memiliki tempat.[45] Di sisi lain, apabila iman mengklaim otonominya tanpa akal, iman akan jatuh pada tataran perasaan dan pengalaman subyektif saja. Penilaian obyektif terhadap iman mustahil. Iman jatuh kepada mitos, tahyul, magis. Tanpa akal “kebenaran” iman diterjemahkan secara buta dalam pilihan sikap ekstrem misalnya terorisme, kekerasan, pengkafiran, dan lain sebagainya.
Iman dan akal secara kodrati berjalan bersama.[46] Iman tidak menolak akal budi karena beriman senantiasa merupakan proses bernalar. Santo Agustinus menuliskan Fides si non cogitetur, nulla est: iman yang tidak menyertakan penalaran bukanlah iman yang bermakna sejati. Dalam perjalanan menuju kebenaran, akal budi memiliki peran untuk memperlihatkan isi dan makna iman.[47] Bagi akal budi, iman membebaskannya dari keterbatasan dan bahkan “kedosaannya”. Pernyataan terakhir ini mengindikasikan bahwa dalam ensikliknya, Paus tetap meletakkan peran iman melebihi peran akal dalam upaya penggalian kebenaran.
Dalam ensiklik Fides et Ratio, Paus memperhitungkan karya Santo Thomas Aquinas untuk menunjukkan dialog antara iman dan akal. Dialog tersebut diwakili oleh dialog kodrat dan rahmat: gratia supponit naturam, gratia non tollat naturam sed perficiat. Rahmat mengandaikan kodrat (alam-budaya) dan rahmat tidak menghapuskan kodrat tetapi menyempurnakannya.[48] Akal budi merupakan kodrat manusia sementara iman merupakan rahmat. Budaya (pengetahuan, teknik) tidak bertentangan dengan iman, perlu ada keterpaduan antara sekularitas dunia dan radikalitas Injil.; bersamaan dengan ini ditolaklah pemikiran sola gratia, sola fide, dan sola scriptura Protestan. Paus juga secara implisit mengajak orang beriman untuk mencari kebenaran dengan mendalami Kitab Suci dan tradisi warisan filosofis para pendahulu.[49]
Prinsip gratia non tollat naturam sed perfeciat mendorong setiap orang untuk melihat akal dan hasil dayanya sebagai sesuatu yang baik. Meskipun demikian setiap jalan akal, hasil daya akal, kebudayaan terbuka untuk lebih baik, terbuka untuk mendapat penyempurnaan, terbuka bagi Wahyu Ilahi. Di sinilah terjadi pula dialog antara iman dan akal. Kebenaran iman diwartakan tidak untuk merusakkan kebenaran akal tetapi menyempurnakannya. Salah satu contoh yang ada dalam Kitab Suci ialah Kis 17:22-23 yaitu ketika Paulus mengunjungi kota di Yunani dan menggunakan altar yang dipersembahkan kepada Allah yang tidak dikenal sebagai titik tolak pewartaan kebenaran.[50]

3.4.            Yesus Sebagai Tempat Pertemuan Kebenaran Sempurna Iman dan Akal
Perjalanan menuju kebenaran, baik dengan iman atau akal maupun dialog keduanya, akhirnya bermuara pada panggilan untuk mencapai apa yang absolut, kebenaran absolut. Apa yang absolut ini tidak hanya diperoleh dengan jalan nalar namun juga lewat kepercayaan akan orang yang menjamin kepastian kebenaran. Dalam iman Kristiani, hal tersebut dialami dalam perjumpaan pribadi dengan pribadi Yesus Kristus. Ia adalah pewahyuan kebenaran. Dia yang ilahi sekaligus insani merangkum pengetahuan iman dan akal. Kebenaran dalam diri-Nya tidak bertentangan dengan nalar manusia.
Kebenaran adalah kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman manusia. Yesus Kristus adalah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan. Dalam hidup Kristus ada kesesuaian antara pemahaman kita tentang realitas diri kita dengan realitas diri-Nya; terdapat juga kesesuaian antara apa yang dikatakan-Nya dan apa yang dilakukan-Nya; terdapat juga kesesuaian antara apa yang diajarakan-Nya (yang kita imani) dan realitas yang terjadi di dalam diri Yesus Kristus.
Dialog antara kebijaksanaan ilahi dan kebijaksanaan insani terjadi dalam diri Yesus. Ini terkadang tidak mudah dipahami. Kebenaran Salib menjadi salah satu titik tolak perubahan cara pandang manusia tentang kebenaran. Pemahaman manusiawi menolak untuk melihat kekuatan di dalam kelemahan (salib adalah batu sandungan dan kebodohan). Akan tetapi, iman menyerukan bahwa manusia justru memperoleh kekuatan di dalam kelemahannya (2 Kor 12:10). Manusia tidak dapat mengerti bagaimana kematian menjadi sumber kehidupan dan cinta. [51]
Dalam kebenaran Salib, dialog akal dan iman bertemu. Akal budi tidak dapat mengerti misteri cinta yang diekspresikan oleh salib. Akal budi terbatas pada kenyataan umumnya/ masuk akalnya. Padahal, salib memberikan kepada akal budi apa yang ia cari. Namun, bisa jadi akal tidak mau menggenggam kebenaran itu karena takut akan konsekuensi yang harus ditanggung.[52] Oleh karena itu iman membantu sehingga akal budi dapat mengerti kebodohan salib; ia dapat mengerti harga yang harus dibayar untuk memperoleh kebenaran.[53]
Pemahaman Yesus Kristus, Allah yang menjelma, tentang jalan menuju kebenaran nyata dalam hidup-Nya. Puncak pengungkapan kasih-Nya dalam salib merupakan kebenaran. Sebab apa yang Ia katakan, Ia ajarkan, nyata terjadi dan terealisasi dalam diri-Nya. Yesus Kristus menjadi pionir kebenaran Salib tersebut. Kesaksian-Nya, dan yang diteruskan oleh para rasul terus menerus dipercayai dan menjadi muara pencarian kebenaran manusia. Kembali kita ingat FR, no. 35: yang mencari kebenaran ialah mereka yang juga hidup dengan kepercayaan.
Kebenaran salib menyatakan bahwa kebenaran obyektif tidak pernah terkurung dalam waktu atau budaya tertentu. Salib yang bagi budaya tertentu merupakan lambang kebodohan, bahkan batu sandungan ternyata dengan terang Ilahi dapat menjadi penyataan kebenaran. Hal ini menegaskan juga bahwa universalitas warta kebenaran Yesus mengatasi segala budaya tertentu. Kebenaran Yesus yang menyelamatkan tidak lagi dimiliki hanya oleh suatu bangsa tapi bagi semua. Hal ini dapat terealisir hanya bila akal dan iman mau berdialog dalam kehidupan kita. Yesus sendiri dengan hidup-Nya sudah memberikan sebuah contoh nyata.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kebenaran alfa dan omega ada dalam diri Tuhan yang berinkarnasi di dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus bukanlah tokoh fiktif maupun dongeng magis (menyentuh dimensi akal). Ia sungguh hadir di dunia dan menunjukkan kesesuaian antara apa yang manusia pahami dan kenyataan yang sesungguhnya. Ia adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan. Dalam kebenaran salib dan kebangkitan-Nya, Yesus menyatakan kebenaran obyektif yang Ia bawa (menyentuh dimensi iman).
Kebenaran ini tidak boleh hanya disimpan sendiri oleh umat beriman. Karya gereja yang paling pertama adalah menyampaikan iman itu. Kebenaran Kristus harus disampaikan yaitu kebenaran yang berpuncak pada misteri Paskah-Nya. Sebab hanya dalam Kristus akal dan iman sungguh sempurna bertemu dan kita dapat mengetahui kepenuhan kebenaran yang menyelamatkan itu (Kis 4:12; 1Tim 2:4-6).[54]

3.5.            Fides et Ratio Bagi Kita
Ada dua kemampuan manusia menuju kebenaran yaitu daya iman dan akal budi. Keduanya otonom namun saling berhubungan. Keduanya diperlukan bagi manusia untuk mencapai kebenaran yang obyektif. Iman yang “kurang” rasional dibantu oleh akal untuk berpikir secara rasional. Akal yang khas manusiawi dan terbatas disempurnakan oleh iman. Kebenaran yang obyektif senantiasa ditilik dengan dua sisi ini. Sebab bila salah satu menghilangkan yang lain, kebenaran obyektif tidak akan tercapai.
Manusia harus semakin mengerti dan beriman. Sabda Ilahi sangat membantu manusia dalam proses tersebut, terutama Sabda Ilahi yang berinkarnasi dalam diri Yesus. Atas dasar dialog akal dan iman itu, manusia dapat mulai merefleksikan hidupnya dan yang menyangkut dengannya: kemanusiaan, perdamaian, kebersamaan ras dan kultur.[55] Hal-hal tersebut tidak dapat hanya dilihat dari sudut akal maupun iman saja. Pengalaman menunjukkan bahwa kebenaran menjadi kabur saat manusia bertindak hanya dengan satu kemampuan pengelihatan kebenaran yang dimilikinya.
Kebenaran Salib yang dinyatakan oleh Sang Sabda yang menjelma memaksa kita untuk melihat realitas kehidupan secara baru. Kadangkala timbul dilema ketika orang Kristen dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit: iman atau pangkat, kejujuran atau kelulusan, dan sebagainya. Terkadang jalan yang masuk akal adalah jalan yang bertentangan dengan iman. Saat itu orang bisa saja merasa benar karena sudah dipikirkan secara matang dan masuk akal. Hanya saja dalam kondisi tersebut, pertimbangan iman diperlukan. Jadi, seseorang harus menggunakan pertimbangan akal dan iman dalam menentukan sesuatu. Nyatanya, terkadang kebodohanlah yang mengandung kebenaran.
Pada akhirnya, ensiklik Fides et Ratio mengajarkan kita untuk memiliki semangat terbuka, berdialog dengan yang lain terutama yang nampak berbeda dengan kita. Meskipun demikian, posisi kita tetap harus berada di sisi kebenaran alfa dan omega yaitu Yesus Kristus sendiri, hidup dan ajaran-Nya. Kebenaran ini jugalah yang harus diwartakan dan menerangi setiap hasil akal (kebudayaan, teknik) yang kita jumpai. Bagi orang Kristen, kebenaran haruslah kebenaran yang menyelamatkan.[56]


DAFTAR PUSTAKA

Balela, Yoseph Solor. “Menata Hidup dalam Perspektif Ensiklik Fides Et Ratio dari Paus Yohanes Paulus II”, dalam Rajawali, Tahun V, No.02:97-180 (Juni 2007), hlm.152-172.
Bosetti, Giancarlo (ed.). Iman Melawan Nalar, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Cahyadi, T.Krispurwana. Yohanes Paulus II Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Jakarta: OBOR, 2012.
Dokumen Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.
John Paul II. Faith and Reason. London: The Incorporated Catholic Truth Society, 1998.
Leahy, Louis. “Sains dan Eksistensi Allah: Suatu Problematika Baru”, dalam Orientasi, XVI – 1984, hlm.5-20.
----------. Sains dan Agama dalam Kontes Zaman ini. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Magnis-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Neuner, J dan J. Dupuis. The Christian Faith In The Doctrinal Documents of The Catholic Church. Bangalore: Theological Publications, 1982.
Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

Sumber internet:

http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/1998/october/ documents/ hf_jp-ii_spe_19981031_simposio.pdf,





[1] Bdk. Jhon Paul II, Faith and Reason Encyclical Letter-Fides et Ratio no.1, (London: The Incorporated Catholic Truth Society, 1998), hlm. 3. Untuk selanjutnya hanya disingkat FR untuk dokumen ini.
[2] Adelbert Snijders, Manusia Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm.3.
[3] Ada dua sudut pandang yang dapat orang gunakan untuk melihat kebenaran, yaitu sudut pandang iman dan akal budi. Iman adalah suatu pelekatan pribadi pada Allah, suatu persetujuan bebas dan penerimaan akan kebenaran wahyu ilahi. Ada suatu kepastian karena Allah sendiri yang mewahyukannya [KGK no.153-165]. Sementara itu, sudut pandang akal budi berarti daya nalar. Nalar adalah suatu kemampuan mental (rasional) untuk menentukan atau menyesuaikan tindakan-tindakan dengan tujuan tertentu. Iman lebih berkaitan dengan agama sedangkan akal budi lebih berkaitan dengan masyarakat (negara, politik, budaya). Iman lebih berkaitan dengan dogma sedangkan akal budi berkaitan dengan kebijaksanaan manusiawi. Iman lebih berkaitan dengan orare (berdoa), sedangkan akal budi lebih berkaitan dengan laborare (bekerja). Iman lebih berkaitan dengan teologi sedangkan akal budi lebih berkaitan dengan filsafat. Iman lebih berkaitan dengan hidup surgawi sementara akal budi lebih berkaitan dengan hidup duniawi. [Yoseph Solor Balela, Menata Hidup Dalam Perspektif Ensiklik Fides et Ratio dari Paus Yohanes Paulus II, dalam RAJAWALI, Tahun V, No.02: 97 – 180, Juni 2007 (Pematangsiantar: Sekolah Tinggi Filsafat & Teologi St. Yohanes, 2007), hlm.154.
[4] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II Gereja, Teologi, dan Kehidupan, (Jakarta: OBOR, 2012), hlm.162.
[5] Yosep Solor Balela, Menata Hidup…, hlm. 166.
[6] Giancarlo Bosetti (ed.), Iman Melawan Nalar (disadur dari: Dialektik der sakularisierung), diterjemahkan oleh Satriyo (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm.87.
[7] Holy See Address Of  The Holy Father Pope John Paul II To An International Symposium On The Inquisition Saturday, 31 October 1998, http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/1998/october/ documents/ hf_jp-ii_spe_19981031_simposio.pdf, 13 maret 2017.
[8] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II, hlm.162.                                           
[9] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II, hlm.163
[10] FR, hlm. 1.
[11] FR, no.1.
[12] Holy See Address Of  The Holy Father Pope John Paul II To An International Symposium On The Inquisition Saturday, 31 October 1998, http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/1998/october/ documents/ hf_jp-ii_spe_19981031_simposio.pdf, 13 maret 2017.
[13] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II hlm.165
[14] FR, no. 3.
[15] FR, no. 4.
[16] FR, no.7-12
[17] FR, no.13.
[18] FR, no.15.
[19] FR, no.16-20.
[20] FR, no.21-23.
[21] FR, no.16.
[22] FR, no.24-27.
[23] FR, no28-35.
[24] FR, no. 31.
[25] FR, no. 35.
[26] FR, no.105.
[27] FR, no45-48.
[28] FR, no. 52.
[29] FR, no. 65.
[30] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II, hlm. 164.
[31] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II, hlm. 184.
[32] FR, no.99.
[33] FR, no.107.
[34] Adelbert Snijder, Manusia Kebenaran, hlm.209.
[35] FR, no.9.
[36] FR, no. 35.
[37] FR, no.87-91. Ekkletisisme adalah aliran pemikiran yang mencuplik berbagai pandangan ataupun pendekatan tanpa memperhatikan koherensinya, tempatnya dalam konteks sistem dan sejarahnya; historisme merupakan aliran pemikiran yang memahami ajaran dari masa lalu diterima hanya sejauh dalam konteks sejarah dan kulturalnya, karena itu, validitas kebenaran yang disampaikannya tidak diakui melampaui batas zaman dan budaya, sehingga apa yang benar di suatu zaman akan begitu saja dinyatakan tidak berlaku di zaman lain; scientism merupakan aliran pemikiran yang hanya mengakui penalaran positivisme dalam pengetahuan, sehingga pengetahuan religius, teologis, etis, dan estetis dipandang sekedar sebagai fantasi, serta segala hal yang terkai dengan pencarian makna kehidupan dikategorikan irasional dan produk imaji belaka; pragmatisme merupakan proses penalaran dan pemilihan sikap yang mengabaikan pertimbangan teoritis atau prinsip etis (misalnya mengandalkan suara mayoritas saja); nihilisme merupakan aliran pemikiran yang menyangkal kebermaknaan kehidupan, dank arena itu pula menolak adanya kebenaran obyektif [T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II, hlm. 179].
[38] Adelbert Snijder, Manusia Kebenaran, hlm.220.
[39] Adelbert Snijder, Manusia Kebenaran, hlm.222.
[40] FR, hlm.1.
[41] FR, no.9.
[42] FR, no.13.
[43] Bdk. Konsili Vatikan II, “Gaudium et Spes” (GS), dalam Dokumen Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no.59.
[44] Bdk. FR, no.45-48.
[45] Bdk. FR, no.89-91.
[46] FR, hlm.1.
[47] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II, hlm.168.
[48] FR, no.43.
[49] FR, no.74.
[50] FR, no.24.
[51] FR, no.23.
[52] Bdk. T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes Paulus II…, hlm.172
[53] Yoseph Solor Balela, “Menata Hidup” …, hlm.161.
[54] FR, no.99.
[55] FR, no.104.
[56] FR, no.99.

CERPEN "Christus Medicus"

CHRISTUS MEDICUS

Dari dalam kamar, seorang mahasiswa memandang pepohonan dan rumah-rumah kecil yang sedang diguyur hujan. Sore itu, ia termangu dalam biliknya. Bilik itu sebuah ruang sebesar garasi untuk satu mobil keluarga, dengan satu lemari, satu ranjang, satu meja belajar, dan sebuah tape lama.
Di tangannya ada sebuah pena dan secarik kertas yang baru berisikan sebuah kalimat. Sebentar ia melihat kertas itu. Kemudian Ia kembali menatap ke luar melalui sepasang jendela di depan meja belajar yang ia gunakan. Sekali lagi, Ia memandang secarik kertas di tangannya. Dalam hati, ia membaca dan mencecap kalimat yang ada di sana. Mengapa Aku kuliah di sini?
***
Tiga tahun lalu…
“Heru, nanti mau kuliah apa?” tanya Ririn, teman karibku. Mendengar itu aku menimbang sejenak. Ada pertanyaan dalam diriku, mengapa aku memilih ini dan bukan itu. Sementara berpikir, aku teringat tadi Ririn bertanya. “Pilihanku sepertinya kedokteran, Rin.” Jawabku agar tidak dianggap mengabaikannya. Namun, meski menjawab sebenarnya aku masih ragu juga. Inikah pilihanku, atau pilihan orang lain yang seolah-olah menjadi pilihanku.
Namaku Paulus Heru Nugroho. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakakku sudah menjadi dosen. Padahal, ibu sangat berharap anaknya ada yang menjadi dokter. “Dik, ibu berharap anak ibu ada yang menjadi dokter,” ujar ibu kepadaku sebulan yang lalu saat rapotan semester pertama. Aku hanya bisa tersenyum, “Suatu saat nanti bu,” balasku.
Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi aku memilih jalan hidupku. Empat bulan lagi adalah pertarunganku dengan ujian nasional dan setelah itu seleksi masuk universitas. Dalam pergumulanku, aku menyeriusi kemungkinan memilih kedokteran. Bukannya sombong, tapi ketekunan dan prestasiku yang stabil membuatku optimis dapat lulus seleksi. Apalagi dengan modal pengalaman di gelaran olimpiade sains tingkat provinsi dan nasional.  Aku yakin bisa.

***
Dua setengah tahun lalu…
Perayaan Misa telah usai. Sesudahnya, kusempatkan diri untuk bersalaman dan mengobrol dengan Romo. Aku mau berbagi cerita sebab kemarin hasil seleksi mahasiswa telah diumumkan. Aku diterima di fakultas kedokteran. Ah, ternyata aku harus ngatre. Sambil menunggu, kuingat-ingat lagi saat pertama aku berjumpa dengan Romo.
 Namanya Romo Yohanes Maria Vianney. Ia sudah 3 tahun berkarya di Gerejaku. Perawakan dan parasnya selalu mengingatkanku pada Lionel Messi. Ia sangat kukagumi. Bukan karena tampilannya, tapi lebih karena sikapnya yang humanis, gaul, tapi berwibawa dan tegas. Yah, hampir seperti Paus Fransiskus.
Pengalaman personalku yang mengesankan dengan Romo Yo, begitu aku memanggilnya, terjadi dua tahun lalu. Waktu itu Mbah putri (nenek) dirawat di Rumah Sakit. Di hari ketujuh, Mbah mulai sering gelisah. Sejak pagi, Dokter sudah tiga kali memberi obat penenang kepadanya. Namun, meski raganya tenang, parasnya mengatakan hal lain.
Seusai adzan sore, Mbah gelisah lagi. Saat itu pula Romo Yo datang atas undangan bapak. Ia menyalami kami, lalu mengenakan stola dan mengeluarkan tabung berwarna emas seukuran wadah balsam. “Marilah kita berdoa,” ajak Romo Yo. Kemudian Ia berdoa, “Semoga minyak ini menguatkan Mbah kita dalam sakitnya.” Romo Yo membuat tanda salib di dahi Mbah. Aku melihat Mbah tersenyum kepada Romo. Raut wajahnya berangsur tenang dan lembut. Gerak tubuhnya tak lagi gelisah. Luar biasa! Setelah Romo Yo memberi berkat pada kami, aku mendekatinya. “Romo memberi Mbah obat apa?” tanyaku. Ia hanya tersenyum. Lalu, Ia membuat kode lima jari tanda aku harus menunggu.
“Romo tidak memberi obat apa-apa, toh Romo bukan dokter,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tak terlalu percaya. “Tapi, tadi Romo mengolesi sesuatu lalu Mbah menjadi teduh. Ekspresi Mbah sungguh berbeda dengan ketika dokter memberi obat penenang,” pancingku agar memperoleh jawaban yang lebih.
Romo mengajakku mengobrol di luar agar tak mengganggu. Di luar kami duduk di pinggir kolam ikan yang ada di hadapan kamar rawat Mbah-ku.  “Tadi Romo memberi oleum infirmorum, minyak penguatan bagi orang sakit. Dikatakan obat, bukan. Tapi dikatakan bukan toh ‘menyembuhkan’ juga,” Romo memulai pembicaraan. “Maksud Romo?” aku menjadi bingung.
Romo tersenyum. “Secara medis itu bukan obat tapi secara rohani itu obat,” jelasnya. Ah, aku semakin tidak mengerti. Aku mau yang pasti saja, “Jadi, itu obat atau bukan, Romo!?” Mendengar seruku, Romo Yo menghela napas. Sejenak Ia menutup mata dan tersenyum lalu Ia berbicara, “Ya, itu obat. Dan….” Langsung kupotong kata-katanya, “Wah, obat dan cara penyembuhan Romo lebih manjur, ya!” seruku. “Romo hebat sekali!” aku menambahi.
Romo menggeleng. “Bukan karena Romo atau minyak tadi. Romo hanya seorang Christus Medicus,” ujarnya kepadaku. “Maksud Romo?” aku tak mengerti. “Yah, Romo hanya seorang yang menghadirkan Tuhan Yesus sebagai Dokter Penyembuh ke sini,” katanya sambil menunjuk dadaku. “Tuhan yang menyembuhkan,” tambahnya. Suasana menjadi hening.
“Cita-citamu apa?” Tanya Romo Yo agar suasana mencair. Aku terdiam sejenak. “Aku mau menjadi dokter,” jawabku jujur. “Bagus itu. Romo yakin kamu kelak akan jadi dokter yang hebat,” balasnya.
Seusai perbincangan kami, ibu memanggil dan berkata bahwa lusa kemungkinan Mbah boleh pulang. Mendengar itu aku menatap Romo Yo dan tersenyum padanya. Dalam hati muncul keinginan untuk menjadi seorang Cristus Medicus seperti dirinya. Lalu, percakapan tadi berputar kembali di otakku dan menggugah benakku.
Sementara aku mengenang masa lalu yang menjadi awal pergumulanku, ternyata semua umat yang ikut Misa pagi telah selesai bersalaman dengan Romo. “Heru, bagaimana? Diterima?“  Romo mendekatiku dan bertanya.  Sambil tersenyum aku menjawab, “Iya Romo. Tapi….” Lalu kuceritakan kepada Romo keinginan diriku yang terdalam.


***
Sekarang
Seorang mahasiswa masih termangu di meja belajarnya. Jam dinding mengarah pada pukul 17.45. Sudah satu jam Ia termenung.
Di tengah hujan sore itu, kembali Ia melihat kertas di tangannya. Namun, kali ini Ia tersenyum dan mulai mengadu penanya di atas kertas. Terlihat Ia menuliskan dua buah kata, Christus Medicus. Sambil menunjuk dadanya, Ia berbisik kepada dirinya sendiri, “Aku mau menjadi dokter yang luar biasa. Dokter yang akan menghadirkan Kristus pada orang sakit agar mereka menjadi sembuh.” Lalu, Ia meletakkan kertas itu di atas kumpulan buku dan diktat ilmu kedokteran yang menumpuk di sebelahnya.

***
Dua setengah tahun lalu…

“…Tapi, saya ingin menjadi Christus Medicus seperti Romo. Apakah harus menjadi Imam?” tanyaku jujur. Romo Yo tersenyum. Lalu, Ia berkata, “Secara khusus memang Imamlah Sang Christus Medicus. Tapi, Siapapun kita, dapat menjadi seorang Christus Medicus. Asalkan, di setiap karya pelayanan kita, kita selalu membawa Kristus ke hati setiap orang yang kita layani lewat doa, sikap, dan seluruh diri kita. Siapapun kita, dipanggil untuk berkarya bersama Kristus. Saat kita berkarya bersama-Nya, Ia hadir menyembuhkan yang sakit, yang tertindas, yang kelaparan, dan segala hal buruk di dunia ini.” Aku tersenyum mendengar jawaban Romo Yo. Aku yakin dengan pilihanku.