Minggu, 28 Mei 2017

CERPEN "Christus Medicus"

CHRISTUS MEDICUS

Dari dalam kamar, seorang mahasiswa memandang pepohonan dan rumah-rumah kecil yang sedang diguyur hujan. Sore itu, ia termangu dalam biliknya. Bilik itu sebuah ruang sebesar garasi untuk satu mobil keluarga, dengan satu lemari, satu ranjang, satu meja belajar, dan sebuah tape lama.
Di tangannya ada sebuah pena dan secarik kertas yang baru berisikan sebuah kalimat. Sebentar ia melihat kertas itu. Kemudian Ia kembali menatap ke luar melalui sepasang jendela di depan meja belajar yang ia gunakan. Sekali lagi, Ia memandang secarik kertas di tangannya. Dalam hati, ia membaca dan mencecap kalimat yang ada di sana. Mengapa Aku kuliah di sini?
***
Tiga tahun lalu…
“Heru, nanti mau kuliah apa?” tanya Ririn, teman karibku. Mendengar itu aku menimbang sejenak. Ada pertanyaan dalam diriku, mengapa aku memilih ini dan bukan itu. Sementara berpikir, aku teringat tadi Ririn bertanya. “Pilihanku sepertinya kedokteran, Rin.” Jawabku agar tidak dianggap mengabaikannya. Namun, meski menjawab sebenarnya aku masih ragu juga. Inikah pilihanku, atau pilihan orang lain yang seolah-olah menjadi pilihanku.
Namaku Paulus Heru Nugroho. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakakku sudah menjadi dosen. Padahal, ibu sangat berharap anaknya ada yang menjadi dokter. “Dik, ibu berharap anak ibu ada yang menjadi dokter,” ujar ibu kepadaku sebulan yang lalu saat rapotan semester pertama. Aku hanya bisa tersenyum, “Suatu saat nanti bu,” balasku.
Sekarang aku sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi aku memilih jalan hidupku. Empat bulan lagi adalah pertarunganku dengan ujian nasional dan setelah itu seleksi masuk universitas. Dalam pergumulanku, aku menyeriusi kemungkinan memilih kedokteran. Bukannya sombong, tapi ketekunan dan prestasiku yang stabil membuatku optimis dapat lulus seleksi. Apalagi dengan modal pengalaman di gelaran olimpiade sains tingkat provinsi dan nasional.  Aku yakin bisa.

***
Dua setengah tahun lalu…
Perayaan Misa telah usai. Sesudahnya, kusempatkan diri untuk bersalaman dan mengobrol dengan Romo. Aku mau berbagi cerita sebab kemarin hasil seleksi mahasiswa telah diumumkan. Aku diterima di fakultas kedokteran. Ah, ternyata aku harus ngatre. Sambil menunggu, kuingat-ingat lagi saat pertama aku berjumpa dengan Romo.
 Namanya Romo Yohanes Maria Vianney. Ia sudah 3 tahun berkarya di Gerejaku. Perawakan dan parasnya selalu mengingatkanku pada Lionel Messi. Ia sangat kukagumi. Bukan karena tampilannya, tapi lebih karena sikapnya yang humanis, gaul, tapi berwibawa dan tegas. Yah, hampir seperti Paus Fransiskus.
Pengalaman personalku yang mengesankan dengan Romo Yo, begitu aku memanggilnya, terjadi dua tahun lalu. Waktu itu Mbah putri (nenek) dirawat di Rumah Sakit. Di hari ketujuh, Mbah mulai sering gelisah. Sejak pagi, Dokter sudah tiga kali memberi obat penenang kepadanya. Namun, meski raganya tenang, parasnya mengatakan hal lain.
Seusai adzan sore, Mbah gelisah lagi. Saat itu pula Romo Yo datang atas undangan bapak. Ia menyalami kami, lalu mengenakan stola dan mengeluarkan tabung berwarna emas seukuran wadah balsam. “Marilah kita berdoa,” ajak Romo Yo. Kemudian Ia berdoa, “Semoga minyak ini menguatkan Mbah kita dalam sakitnya.” Romo Yo membuat tanda salib di dahi Mbah. Aku melihat Mbah tersenyum kepada Romo. Raut wajahnya berangsur tenang dan lembut. Gerak tubuhnya tak lagi gelisah. Luar biasa! Setelah Romo Yo memberi berkat pada kami, aku mendekatinya. “Romo memberi Mbah obat apa?” tanyaku. Ia hanya tersenyum. Lalu, Ia membuat kode lima jari tanda aku harus menunggu.
“Romo tidak memberi obat apa-apa, toh Romo bukan dokter,” jawabnya sambil tersenyum. Aku tak terlalu percaya. “Tapi, tadi Romo mengolesi sesuatu lalu Mbah menjadi teduh. Ekspresi Mbah sungguh berbeda dengan ketika dokter memberi obat penenang,” pancingku agar memperoleh jawaban yang lebih.
Romo mengajakku mengobrol di luar agar tak mengganggu. Di luar kami duduk di pinggir kolam ikan yang ada di hadapan kamar rawat Mbah-ku.  “Tadi Romo memberi oleum infirmorum, minyak penguatan bagi orang sakit. Dikatakan obat, bukan. Tapi dikatakan bukan toh ‘menyembuhkan’ juga,” Romo memulai pembicaraan. “Maksud Romo?” aku menjadi bingung.
Romo tersenyum. “Secara medis itu bukan obat tapi secara rohani itu obat,” jelasnya. Ah, aku semakin tidak mengerti. Aku mau yang pasti saja, “Jadi, itu obat atau bukan, Romo!?” Mendengar seruku, Romo Yo menghela napas. Sejenak Ia menutup mata dan tersenyum lalu Ia berbicara, “Ya, itu obat. Dan….” Langsung kupotong kata-katanya, “Wah, obat dan cara penyembuhan Romo lebih manjur, ya!” seruku. “Romo hebat sekali!” aku menambahi.
Romo menggeleng. “Bukan karena Romo atau minyak tadi. Romo hanya seorang Christus Medicus,” ujarnya kepadaku. “Maksud Romo?” aku tak mengerti. “Yah, Romo hanya seorang yang menghadirkan Tuhan Yesus sebagai Dokter Penyembuh ke sini,” katanya sambil menunjuk dadaku. “Tuhan yang menyembuhkan,” tambahnya. Suasana menjadi hening.
“Cita-citamu apa?” Tanya Romo Yo agar suasana mencair. Aku terdiam sejenak. “Aku mau menjadi dokter,” jawabku jujur. “Bagus itu. Romo yakin kamu kelak akan jadi dokter yang hebat,” balasnya.
Seusai perbincangan kami, ibu memanggil dan berkata bahwa lusa kemungkinan Mbah boleh pulang. Mendengar itu aku menatap Romo Yo dan tersenyum padanya. Dalam hati muncul keinginan untuk menjadi seorang Cristus Medicus seperti dirinya. Lalu, percakapan tadi berputar kembali di otakku dan menggugah benakku.
Sementara aku mengenang masa lalu yang menjadi awal pergumulanku, ternyata semua umat yang ikut Misa pagi telah selesai bersalaman dengan Romo. “Heru, bagaimana? Diterima?“  Romo mendekatiku dan bertanya.  Sambil tersenyum aku menjawab, “Iya Romo. Tapi….” Lalu kuceritakan kepada Romo keinginan diriku yang terdalam.


***
Sekarang
Seorang mahasiswa masih termangu di meja belajarnya. Jam dinding mengarah pada pukul 17.45. Sudah satu jam Ia termenung.
Di tengah hujan sore itu, kembali Ia melihat kertas di tangannya. Namun, kali ini Ia tersenyum dan mulai mengadu penanya di atas kertas. Terlihat Ia menuliskan dua buah kata, Christus Medicus. Sambil menunjuk dadanya, Ia berbisik kepada dirinya sendiri, “Aku mau menjadi dokter yang luar biasa. Dokter yang akan menghadirkan Kristus pada orang sakit agar mereka menjadi sembuh.” Lalu, Ia meletakkan kertas itu di atas kumpulan buku dan diktat ilmu kedokteran yang menumpuk di sebelahnya.

***
Dua setengah tahun lalu…

“…Tapi, saya ingin menjadi Christus Medicus seperti Romo. Apakah harus menjadi Imam?” tanyaku jujur. Romo Yo tersenyum. Lalu, Ia berkata, “Secara khusus memang Imamlah Sang Christus Medicus. Tapi, Siapapun kita, dapat menjadi seorang Christus Medicus. Asalkan, di setiap karya pelayanan kita, kita selalu membawa Kristus ke hati setiap orang yang kita layani lewat doa, sikap, dan seluruh diri kita. Siapapun kita, dipanggil untuk berkarya bersama Kristus. Saat kita berkarya bersama-Nya, Ia hadir menyembuhkan yang sakit, yang tertindas, yang kelaparan, dan segala hal buruk di dunia ini.” Aku tersenyum mendengar jawaban Romo Yo. Aku yakin dengan pilihanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar