CHRISTUS MEDICUS
Dari dalam
kamar, seorang mahasiswa memandang pepohonan dan rumah-rumah kecil yang sedang
diguyur hujan. Sore itu, ia termangu dalam biliknya. Bilik itu sebuah ruang sebesar
garasi untuk satu mobil keluarga, dengan satu lemari, satu ranjang, satu meja
belajar, dan sebuah tape lama.
Di tangannya
ada sebuah pena dan secarik kertas yang baru berisikan sebuah kalimat. Sebentar
ia melihat kertas itu. Kemudian Ia kembali menatap ke luar melalui sepasang
jendela di depan meja belajar yang ia gunakan. Sekali lagi, Ia memandang secarik kertas di
tangannya. Dalam hati, ia membaca dan mencecap kalimat yang ada di sana. Mengapa
Aku kuliah di sini?
***
Tiga tahun lalu…
“Heru, nanti
mau kuliah apa?” tanya Ririn, teman karibku. Mendengar itu aku menimbang
sejenak. Ada pertanyaan dalam diriku, mengapa aku memilih ini dan bukan itu.
Sementara berpikir, aku teringat tadi Ririn bertanya. “Pilihanku sepertinya
kedokteran, Rin.” Jawabku agar tidak dianggap mengabaikannya. Namun, meski
menjawab sebenarnya aku masih ragu juga. Inikah pilihanku, atau pilihan orang
lain yang seolah-olah menjadi pilihanku.
Namaku Paulus
Heru Nugroho. Aku anak bungsu dari 3 bersaudara. Kedua kakakku sudah menjadi
dosen. Padahal, ibu sangat berharap anaknya ada yang menjadi dokter. “Dik,
ibu berharap anak ibu ada yang menjadi dokter,” ujar ibu kepadaku sebulan yang
lalu saat rapotan semester pertama. Aku hanya bisa tersenyum, “Suatu saat nanti bu,” balasku.
Sekarang aku
sudah kelas 3 SMA. Sebentar lagi aku memilih jalan hidupku. Empat bulan lagi
adalah pertarunganku dengan ujian nasional dan setelah itu seleksi masuk
universitas. Dalam pergumulanku, aku menyeriusi kemungkinan memilih kedokteran.
Bukannya sombong, tapi ketekunan dan prestasiku yang stabil membuatku optimis
dapat lulus seleksi. Apalagi dengan modal pengalaman di gelaran olimpiade sains
tingkat provinsi dan nasional. Aku yakin
bisa.
***
Dua setengah tahun lalu…
Perayaan Misa
telah usai. Sesudahnya, kusempatkan diri untuk bersalaman dan mengobrol dengan
Romo. Aku mau berbagi cerita sebab kemarin hasil seleksi mahasiswa telah
diumumkan. Aku diterima di fakultas kedokteran.
Ah, ternyata aku harus ngatre. Sambil
menunggu, kuingat-ingat lagi saat pertama aku berjumpa dengan Romo.
Namanya Romo Yohanes Maria Vianney.
Ia sudah 3 tahun berkarya di Gerejaku. Perawakan dan parasnya selalu
mengingatkanku pada Lionel Messi. Ia sangat kukagumi. Bukan karena tampilannya,
tapi lebih karena sikapnya yang humanis, gaul, tapi berwibawa dan tegas. Yah,
hampir seperti Paus Fransiskus.
Pengalaman
personalku yang mengesankan dengan Romo Yo, begitu aku memanggilnya, terjadi
dua tahun lalu. Waktu itu Mbah putri (nenek) dirawat di Rumah Sakit. Di
hari ketujuh, Mbah mulai sering gelisah. Sejak pagi, Dokter sudah tiga
kali memberi obat penenang kepadanya. Namun, meski raganya tenang, parasnya
mengatakan hal lain.
Seusai adzan
sore, Mbah gelisah lagi. Saat itu pula Romo Yo datang atas undangan
bapak. Ia menyalami kami, lalu mengenakan stola dan mengeluarkan tabung
berwarna emas seukuran wadah balsam. “Marilah kita berdoa,” ajak Romo Yo. Kemudian
Ia berdoa, “Semoga minyak ini menguatkan Mbah kita dalam sakitnya.” Romo
Yo membuat tanda salib di dahi Mbah. Aku melihat Mbah tersenyum
kepada Romo. Raut wajahnya berangsur tenang dan lembut. Gerak tubuhnya tak lagi
gelisah. Luar biasa! Setelah Romo Yo memberi berkat pada kami, aku
mendekatinya. “Romo memberi Mbah obat apa?” tanyaku. Ia hanya tersenyum.
Lalu, Ia membuat kode lima jari tanda aku harus menunggu.
“Romo tidak
memberi obat apa-apa, toh Romo bukan dokter,” jawabnya sambil tersenyum.
Aku tak terlalu percaya. “Tapi, tadi Romo mengolesi sesuatu lalu Mbah menjadi
teduh. Ekspresi Mbah sungguh berbeda dengan ketika dokter memberi obat
penenang,” pancingku agar memperoleh jawaban yang lebih.
Romo
mengajakku mengobrol di luar agar tak mengganggu. Di luar kami duduk di pinggir
kolam ikan yang ada di hadapan kamar rawat Mbah-ku. “Tadi Romo memberi oleum infirmorum,
minyak penguatan bagi orang sakit. Dikatakan obat, bukan. Tapi dikatakan bukan toh
‘menyembuhkan’ juga,” Romo
memulai pembicaraan. “Maksud Romo?” aku menjadi bingung.
Romo
tersenyum. “Secara medis itu bukan obat tapi secara rohani itu obat,” jelasnya.
Ah, aku semakin tidak mengerti. Aku mau yang pasti saja, “Jadi, itu obat atau
bukan, Romo!?” Mendengar seruku, Romo Yo menghela napas. Sejenak Ia menutup
mata dan tersenyum lalu Ia berbicara, “Ya, itu obat. Dan….” Langsung kupotong
kata-katanya, “Wah, obat dan cara penyembuhan Romo lebih manjur, ya!” seruku.
“Romo hebat sekali!” aku menambahi.
Romo
menggeleng. “Bukan karena Romo atau minyak tadi. Romo hanya seorang Christus
Medicus,” ujarnya kepadaku. “Maksud Romo?” aku tak mengerti. “Yah, Romo
hanya seorang yang menghadirkan Tuhan Yesus sebagai Dokter Penyembuh ke sini,”
katanya sambil menunjuk dadaku. “Tuhan yang menyembuhkan,” tambahnya. Suasana
menjadi hening.
“Cita-citamu
apa?” Tanya Romo Yo agar suasana mencair. Aku terdiam sejenak. “Aku mau menjadi
dokter,” jawabku jujur. “Bagus itu. Romo yakin kamu kelak akan jadi dokter yang
hebat,” balasnya.
Seusai
perbincangan kami, ibu memanggil dan berkata bahwa lusa kemungkinan Mbah boleh
pulang. Mendengar itu aku menatap Romo Yo dan tersenyum padanya. Dalam hati
muncul keinginan untuk menjadi seorang Cristus Medicus seperti dirinya.
Lalu, percakapan tadi berputar kembali di otakku dan menggugah benakku.
Sementara aku
mengenang masa lalu yang menjadi awal pergumulanku, ternyata semua umat yang
ikut Misa pagi telah selesai bersalaman dengan Romo. “Heru, bagaimana?
Diterima?“ Romo mendekatiku dan bertanya. Sambil tersenyum aku menjawab, “Iya Romo. Tapi….” Lalu kuceritakan kepada Romo keinginan diriku yang terdalam.
***
Sekarang…
Seorang
mahasiswa masih termangu di meja belajarnya. Jam dinding mengarah pada pukul
17.45. Sudah satu jam Ia termenung.
Di tengah
hujan sore itu, kembali Ia melihat kertas di tangannya. Namun, kali ini Ia
tersenyum dan mulai mengadu penanya di atas kertas. Terlihat Ia menuliskan dua
buah kata, Christus Medicus. Sambil menunjuk dadanya, Ia berbisik kepada
dirinya sendiri, “Aku mau menjadi dokter yang luar biasa. Dokter yang akan
menghadirkan Kristus pada orang sakit agar mereka menjadi sembuh.” Lalu, Ia
meletakkan kertas itu di atas kumpulan buku dan diktat ilmu kedokteran yang
menumpuk di sebelahnya.
***
Dua setengah
tahun lalu…
“…Tapi, saya
ingin menjadi Christus Medicus seperti Romo. Apakah harus menjadi Imam?”
tanyaku jujur. Romo Yo tersenyum. Lalu, Ia berkata, “Secara khusus memang
Imamlah Sang Christus Medicus. Tapi, Siapapun kita, dapat menjadi
seorang Christus Medicus. Asalkan, di setiap karya pelayanan kita, kita
selalu membawa Kristus ke hati setiap orang yang kita layani lewat doa, sikap,
dan seluruh diri kita. Siapapun kita, dipanggil untuk berkarya bersama Kristus.
Saat kita berkarya bersama-Nya, Ia hadir menyembuhkan yang sakit, yang
tertindas, yang kelaparan, dan segala hal buruk di dunia ini.” Aku tersenyum
mendengar jawaban Romo Yo. Aku yakin dengan pilihanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar