Religiusitas
Orang Jawa
I.
Pengantar
Yang Ilahi dalam kehidupan
manusia zaman lampau tidak serta-merta dapat dipahami secara langsung dengan
jernih. Manusia berada dalam tataran meraba. Tetapi yang jelas, manusia dimungkinkan
menyadari adanya kekuatan yang adikodrati di luar dirinya. Oleh Rudolf Otto
kemampuan itu disebut sebagai sense of
religiousity (kepekaan terhadap yang ilahi) yang dimiliki manusia dalam
struktur apriorinya.[1]
Berbicara tentang
Yang Ilahi dalam suatu masyarakat berarti membicarakan sense of religiousity atau religiusitas masyarakat tersebut.
Pertanyaan mendasar ialah bagaimana suatu masyarakat memperoleh
religiusitasnya? Pertama, apakah melalui upaya manusia mencari Yang Ilahi
dengan ritus-ritus yang sangat tradisional? Misalnya dengan penyembahan dan
sesajian yang diyakini sebagai wujud sembah bakti akan jaminan kehidupan yang
dialami manusia;dengan begitu manusia mengalami kehadiran kekuatan lain dalam
bentuk arwah nenek moyang, yang bahkan diyakini dapat hadir melalui benda-benda
semesta, pohon-pohon besar, batu, arca, dan lain sebagainya? Kedua, apakah
religiusitas masyarakat berasal dari suatu pewahyuan khusus dari Yang Ilahi,
seperti yang terjadi dalam masyarakat wahyu misalnya bangsa Israel?
Penyusun pada
kesempatan ini hendak mendeskripsikan religiusitas Masyarakat Jawa.[2]
Penyusun hendak mencoba menjelaskan bagaimanasense of religiousity/kepekaan terhadap Yang Ilahi orang Jawa
menemukan bentuknya dalam sebuah keyakinan yang utuh. Apakah melalui pencarian
manusiawi atau melalui pewahyuan Yang Ilahi?
II. Konsep Religi
Religi
berasal dari kata religare dan relegere (Latin). Religare berarti suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguhan
dalam melakukannya. Sementara itu relegere
berarti terus-menerus berpaling kepada sesuatu, mengamati. Kemudian, dalam
bahasa Indonesia religi diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan
adanya kekuatan adikodrati di atas kemampuan manusia, kepercayaan animism dan
dinamisme.[3]
Dalam
masyarakat Jawa, religi orang Jawa yang dimengerti secara umum mengacu kepada Kejawen.[4]Kejawen memuat tindakan dan aktivitas
religius masyarakat Jawa yang di dalamnya memuat keyakinan atas
kekuatan-kekuatan alam gaib (adikodrati) yang ada di alam semesta.
Atas
dua perbandingan di atas, religi dapat dipahami sebagai suatu kesadaran yang
mengarahkan manusia kepada suatu keyakinan, sikap, dan penghayatan tertentu
atas kenyataan adikodrati. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah bagaimana atau
darimana orang Jawa memperoleh kesadaran tersebut?
III. Religi Orang Jawa
Orang
Jawa merasakan kepekaan terhadap Yang Ilahi melalui caranya yang khas.kekhasan
orang Jawa diantaranya terletak pada
kedekatannya dengan alam semesta dan pemahamannya akan kosmos.Kedua hal itu pula
yang menjadi beberapa dasar kesadaran orang Jawa terhadap Yang Ilahi.
1. Kedekatan dengan Alam
Semesta
Orang
Jawa menyadari bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib. Kesadaran itu
dialami lewat pengalaman batin mereka.Orang Jawa meyakini bahwa semua benda
yang ada di sekitar mereka memiliki nyawa (roh) baik maupun jahat.Alam ini mempengaruhi
hidup mereka: mulai dari kehamilan, lahir, akil balig, menikah, dan mati.Misalnya,
ketika dalam masa kehamilan, orang Jawa memegang banyak kepercayaan akan
pantangan.Ketika seorang wanita sedang hamil maka ia dan suaminya tidak boleh
membunuh atau melukai binatang, bertindak buruk, merusak alam dsb. Bila, mereka
melanggar maka mereka harus segera meminta maaf kepada roh-roh yang menghuni
alam di sekitar mereka dengan berkata, nyuwun
sewu amit-aamit jabang bayi (beribu maaf jabang bayi). Jika hal ini tidak
dilakukan, orang Jawa percaya bahwa roh yang ada di alam sekitar akan menjadi
sumber bencana, cacat, ataupun sakit bagi calon bayi.[5]
Atas
keyakinan itu, orang Jawa berusaha untuk menyatukan diri dengan dunia yang
diselimuti dengan kekuatan gaib yang menjadi jiwa bagi ritme dan harmoni
kehidupan.[6]
Kepada roh yang baik, orang Jawa memberi penghormatan agar memperoleh berkat,
sementara kepada roh yang jahat, orang Jawa juga memberi penghormatan agar
tidakmendapat gangguan dalam hidup.Kebiasaan orang Jawa untuk membuat selametan dengan berbagai jenis sesajen dimaksudkan
untuk berdamai dengan alam sekitarnya. Orang Jawa sadar akan keharusan untuk tinggal
harmonis di dalam dunianya.[7]
Dari
situ nampak dasar animisme-dinamisme dalam penghayatan religius orang Jawa.
Mereka menyadari Yang Ilahi dari perasaan bahwa alam ini memiliki roh yang
mengatur.Pengalaman batin akan adanya roh-roh di alam semesta ini juga membuat
orang Jawa sadar bahwa di luar dirinya ada realitas yang lebih tinggi. Yang
Ilahi harus dicari dalam pengalaman kehidupan sehari-hari melalui sarana apapun
yang ada di alam semesta ini.[8]
Dengan
begitu, religiusitas orang Jawa tidak terletak pada pemujaan leluhur. Kesadaran
orang Jawa akan yang ilahi dialami ketika mereka menghadapi realitas alam di
sekitarnya. Pengalaman manusia Jawa dengan realitas alam di sekitarnya kemudian
dirumuskan dalam kesusasteraan suci. Kesusatraan suci itu meliputi semua cerita
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan yang berisi ajaran, petuah, nasehat,
mitos-mitos, dongeng-dongeng suci. Salah satu sumber tertulis dalam
religiusitas orang Jawa ialah Serat Wirid
yakni suatu buku ajaran
spiritual yang berasal dari gubahan pujangga agung Jawa yang memuat ilmu tua.[9]
Hal ini diwariskan turun-menurun.
2. Refleksi atas Kosmos
Kosmos
berasal dari bahasa Yunani kosmosyang
berarti dunia yang teratur. Orang Jawa memandang dunina ini sebagai jagad gedhe (makrokosmos) dan ia menjadi
bagian di dalamnya sebagai jagad cilik (mikrokosmos).Jagad cilikberpartisipasi dalam
perjalanan sejarah jagad gedhe.
Jagad gedhe
telah tertata dan teratur.Orang
jawa melihat ketertataan dan keteraturan itu suci. Keyakinan orang Jawa tentang
hal itu berasal dari refleksi mereka atas peristiwa yang mereka alami sehari-hari antara lain
pergerakan waktu yang teratur: pagi-siang-malam, musim-musim yang silih
berganti (kemarau-hujan), lahir-hidup-mati, dan sebagainya. Dalam keteraturan
itu, manusia dilibatkan sebagai bagian kecil dari makrokosmos. Oleh karena itu,
orang Jawa menyadari bahwa mereka harus menjalin harmoni dengan jagad gedhe yang bagi mereka suci.[10]
Orang
Jawa menyadari bahwa dunia ini dipenuhi dengan roh-roh. Ia akhirnya menyadari
bahwa keteraturan dalam kosmos yang luar biasa itu tentu diatur oleh suatu roh
tertentu. Kemungkinan, inilah benih orang Jawa mulai mengakui adanya Yang Ilahi.
Meski begitu, Orang Jawa tidak dapat memberi penjelasan yang tepat mengenai apa
atau siapa Yang Ilahi itu.
Orang Jawa tidak memanifestasikan Yang Ilahi dalam wujud roh-roh
leluhur. Yang ia tahu ialah Yang Ilahi itu menjadi Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan hidup). Dunia yang teratur
dan terus berputar berasal dan menuju sesuatu.Sangkan Paraning Dumadi harus dicari oleh manusia agar ia bisa
memperoleh wujud yang paling bermakna pada dirinya. Makna hidup orang Jawa
berasal dari Asal dan ia mendapatkan wujudnya yang paling bermakna bila
melangkah menuju Sang Tujuan (Sangkan
Paraning Dumadi).[11]
Perjalanan orang Jawa menuju makna hidupnya melalui suatu
usaha untuk menjalin harmoni dengan Alam Semesta tempat Yang Ilahi bisa
ditemukan. Sifat, watak, peruntungan, dan segala hal hidup orang Jawa diyakini
berkaitan dan memiliki kepastian dalam kosmos. Hal ini menjadi dasar mengapa
orang Jawa mengenal perhitungan hari baaik-buruk dan segala perhitungan mengenai hidup (jodoh,
nasib, dsb.) (horoskop Jawa).
Penghayatan orang Jawa terhadap keharusan bersatu dengan
kosmos menghantar mereka kepada sikap narima
(menerima). Termasuk sikap menerima bahwa mereka tidak mampu mengetahui
bagaimana Yang Ilahi itu secara persis. Orang Jawa pasrah dan menyebut juga
Yang Ilahi dengan ungkapan “tan keno
kinaya apa’ (tidak dapat dibayangkan, digambarkan, atau diumpakaman dengan
apapun). Hal ini merupakan alasan mengapa orang Jawa tidak memiliki sosok/totem
yang bisa merepresentasikan Yang Ilahi. Meski Yang Ilahi tidak tergambarkan,
dalam hidup sehari-hari (pengalaman batin dan jasmani) orang Jawa merasakan
bahwa Yang Ilahi hadir melalui dunia di sekitarnya, kosmos.
Ungkapan di atas menggambarkan juga bahwa orang Jawa
yakin bahwa manusia tidak akan mampu melukiskan dan menjelaskan apa atau siapa
itu Yang Ilahi. Pencarian itu tidak akan pernah tuntas. Tidak ada ajaran, atau
ilmu yang dapat menjelaskan secara jelas. Yang Ilahi itu tidak terjangkau
manusia. Meskipun tidak terpahami, orang Jawa yakin bahwa Yang Ilahi itulah
yang memberi kehidupan dan menjadi asal dan tujuan hidup mereka.[12]
Orang Jawa tidak terlalu memikirkan tentang bagaimana rupa
Yang Ilahi secara pasti. Atas rahasia ini, orang Jawa hanya bisa narima dan sujud kepada-Nya. Yang
terpenting bagi orang Jawa adalah bagaimana hidup dalam kesatuan dengan Yang
Ilahi itu (Manunggaling Kawula Gusti).
Hanya dengan Manunggal Kawula Gusti,
orang dapat memperoleh keselamatan hidup. Hanya dengan Manunggal Kawula Gusti, manusia dapat menjadi satu dan lebur dalam
keharmonisan: Jagad gedhe bersatu
dengan jagad Cilik. Usaha ini dapat
dicapai oleh manusia lewat tapa, samadi, mati raga, dan sebagainya.
VI.
Refleksi Kritis
Konsep Manunggaling
Kawula Gusti dalam Kebudayaan Jawa
Sebagaimana
diterangkan di atas bahwa manusia dapat menjadi lebur dalam harmoni alam
semesta yang begitu besar, manusia tetap berupaya untuk bersatu dengan Yang
Ilahi. Meski manusia tidak dapat menggambarkan secara detail apa yang diyakini
sebagai Yang Ilahi, mereka tetap mempersiapkan dengan baik sikap tata batin
yang seagung-agungnya agar kebersatuan dengan Yang Ilahi itu tetap dialaminya.
Dalam
kebudayaan Jawa, dikenal semacam keyakinan yang berbunyi Manunggaling Kawula Gusti yang memiliki muatan arti dan makna (kebersatuan
Allah dengan manusia). Istilah itu muncul dalam aliran agama Kejawen, sebelum
memasuki ranah kekatolikan atau kekristenan. Apa yang mau diketengahkan dalam keyakinan
itu? J.B Banawiratma mengatakan, keyakinan itu merupakan usaha manusia untuk
mencapai Allah. Dengan kata lain, manunggaling
kawula Gusti dapat dicapai manusia hanya dengan sarana-sarana yang telah
ada dalam budaya Jawa itu sendiri.[13]
Namun pemahaman Kejawen atau agama tradisional masyarakat
Jawa akan adanya Gusti itu ketika
dikonfrontasikan dengan iman Katolik mengandung pertentangan. Mengapa demikian?
Dalam agama tradisional itu Gusti ingkang
Mahakuasa (Allah yang Mahakuasa) kesannya jauh. Makanya manusia perlu
mengusahakan kebersatuan dengan Allah itu dengan Gusti yang selama ini mereka anggap jauh, justru hadir dan
mendatangi mereka, bahkan menyatu dengan mereka.
Franz Magniz
Suseno dalam bukunya yang berjudul Wayang dan Panggilan Manusia, mengutarakan
paham tentang Yang Ilahi sendiri yang mendapat paham baru. Yang Ilahi bukan
merupakan merupakan pertama-tama sebagai kekuatan pada dasar diri manusia,
melainkan sebagai pengayom yang berhadapan dengannya.
Lebih lanjut dikatakan,
manusia sendiri dalam segala kekuatannya tetap lemah. Inilah yang menjadi satu
kesadaran Jawa yang sangat mendalam.[14]
Masyarakat Jawa sampai pada permenungan bahwa Yang Ilahi memang jauh.
Yang Ilahi tidak
dapat diusahakan oleh manusia sendiri. Yang Ilahi hanya dapat tercapai jika Ia
memberikan dirinya sendiri. Menemukan Yang Ilahi hanya dapat terjadi sebagai
anugerah dari Yang Ilahi sendiri. Bahwa itulah jalan yang sebenarnya untuk
mencapai kebersatuan manusia dengan Yang Ilahi dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti.[15]
Kebersatuan
manusia dengan Yang Ilahi merupakan kenyataan hidup yang paling dalam. Agar
manusia sampai pada kesatuan ini, mereka perlu mengupayakan hati dan batin yang
bersih. Kesucian lahir dan batin harus diusahakan demi tujuan manunggaling kawula Gustiitu.
Selain
melalui pemahaman akan kesadaran manusia yang terus mencari Yang Ilahi itu yang
terwujud dengan berbagai macam ritus-ritus, konsep manunggaling kawula Gusti juga dapat ditelusuri melalui salah satu
lakon kisah pewayangan. Tokoh yang dimaksud adalah Dewa Ruci. Dalam kisah
tersebut Wrekodara berjumpa dengan Dewa Ruci yang serupa dengan dirinya
sendiri. Perjumpaan itu dapat ditafsirkan sebagai pengalaman manusia menemukan
dirinya sendiri. Pengalaman itu sekaligus merupakan pengalaman kebersatuan
dengan Yang Ilahi. Dengan kebersatuan manusia dengan Yang Ilahi itulah manusia
menemukan dirinya sendiri.[16]
Dengan
demikian nyata bahwa pemahaman orang Jawa akan manunggaling kawula Gusti itu perlu dipersiapkan sebaik-baiknya. Manusia
memiliki tugas untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan segala dinamika yang
dialaminya. Dengan itu, manusia berusaha untuk dapat bersatu dengan Yang Ilahi
meski manusia tetap terbatas dan akhirnya tunduk pada penerimaan akan Yang
Ilahi itu.
Daftar Pustaka
Banawiratma, J. B. Yesus Sang Guru : Pertemuan Kejawen dengan Injil. Yogyakarta :
Kanisius, 1977.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia [edisi ketiga].Jakarta:
PN Balai Pustaka, 2002.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa (Judul asli: The Javanese Family), diterjemahkan oleh
Hersri. Jakarta:Grafiti Press, 1983.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia, 1987.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa.
Jakarta: PT Gramedia, 1985.
Magniz-Suseno, Franz. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1991.
Subadrijo, Bambang. Keselamatan bagi Orang Jawa. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi
Pandangan Hidup Orang Jawa. Semarang: Dahara Prize,
1992.
Sumantri,
Markus. Religiositas
dalam Siklus Hidup Orang Jawa Suatu Deskripsi Kritis, Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas Katolik
Santo Thomas Sumatera Utara, 2006[skripsi].
Sumber
Internet
Vico Christiawan, Manunggaling Kawula Gusti, http://vicosj.blogspot.co.id/2011/05/manunggaling-kawula-gusti.html, diakses pada 23 Mei 2016.
[1]
Koentjaraningrat, Sejarah Teori
Antropologi I (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), hlm. 65.
[2] Yang
penyusun maksud dengan istilah masyarakat Jawa adalah orang yang bahasa ibunya
adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Orang Jawa adalah penduduk asli bagian
tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa dan hidup dalam pola piker
serta setia dalam menjalankan adat-istiadat Jawa. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang
Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 11.
[3] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia [edisi ketiga] (Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002), hlm. 943.
[4]
Kejawen adalah segala adat istiadat yang berlaku di Jawa, suatu
kategori unik dalam masyarakat Jawa. Kejawen
adalah jatidiri Jawa. Yang paling menonjol dalam prilaku Kejawen adalah pemakaian sumber-sumber ajaran berupa Serat Wirid, yakni suatu buku ajaran
spiritual yang berasal dari gubahan pujangga agung Jawa yang memuat ngelmu tuwa (ilmu tua). Dalam menjalani
tradisi ini, orang Jawa selalu megnacu pada budaya leluhur yang diwariskan
secara turun temurun. Kejawen
disamakan juga dengan agami Jawi.
Orang yang menganutnya memiliki paham kepercayaan animisme dan dinamisme.
Mereka memegang teguh dan menjalankan upacara dan ritus siklus hidup. [Lihat,
Markus Sumantri, Religiositas dalam
Siklus Hidup Orang Jawa Suatu Deskripsi Kritis, (Pematangsiantar: Fakultas
Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, 2006),
hlm.5.(skripsi)].
[5] Hildred
Geertz, Keluarga Jawa (Judul asli:
The Javanese Family), diterjemahkan oleh Hersri (Jakarta:Grafiti Press, 1983),
hlm. 91-92.
[6]
Bambang Subadrijo, Keselamatan bagi Orang
Jawa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 264-265.
[10] Franz
Magnis-Suseno, Etika…, hlm. 15.
[12]
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang
Jawa (Semarang:
Dahara Prize, 1992), hlm.48.
[13] J. B.
Banawiratma, Yesus Sang Guru : Pertemuan
Kejawen dengan Injil, (Yogyakarta : Kanisius, 1977), hlm. 1.
[14] Franz
Magniz Suseno, Wayang dan Panggilan
Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) hlm. 63.
[15] Franz
Magniz Suseno, Wayang…, hlm. 59.
[16]Vico Christiawan, Manunggaling Kawula Gusti, http://vicosj.blogspot.co.id/2011/05/manunggaling-kawula-gusti.html, diakses pada 23 Mei 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar