Minggu, 28 Mei 2017

ANALISIS RELIGIOUSITAS ORANG JAWA

Religiusitas Orang Jawa

I.       Pengantar
Yang Ilahi dalam kehidupan manusia zaman lampau tidak serta-merta dapat dipahami secara langsung dengan jernih. Manusia berada dalam tataran meraba. Tetapi yang jelas, manusia dimungkinkan menyadari adanya kekuatan yang adikodrati di luar dirinya. Oleh Rudolf Otto kemampuan itu disebut sebagai sense of religiousity (kepekaan terhadap yang ilahi) yang dimiliki manusia dalam struktur apriorinya.[1]
Berbicara tentang Yang Ilahi dalam suatu masyarakat berarti membicarakan sense of religiousity atau religiusitas masyarakat tersebut. Pertanyaan mendasar ialah bagaimana suatu masyarakat memperoleh religiusitasnya? Pertama, apakah melalui upaya manusia mencari Yang Ilahi dengan ritus-ritus yang sangat tradisional? Misalnya dengan penyembahan dan sesajian yang diyakini sebagai wujud sembah bakti akan jaminan kehidupan yang dialami manusia;dengan begitu manusia mengalami kehadiran kekuatan lain dalam bentuk arwah nenek moyang, yang bahkan diyakini dapat hadir melalui benda-benda semesta, pohon-pohon besar, batu, arca, dan lain sebagainya? Kedua, apakah religiusitas masyarakat berasal dari suatu pewahyuan khusus dari Yang Ilahi, seperti yang terjadi dalam masyarakat wahyu misalnya bangsa Israel?
Penyusun pada kesempatan ini hendak mendeskripsikan religiusitas Masyarakat Jawa.[2] Penyusun hendak mencoba menjelaskan bagaimanasense of religiousity/kepekaan terhadap Yang Ilahi orang Jawa menemukan bentuknya dalam sebuah keyakinan yang utuh. Apakah melalui pencarian manusiawi atau melalui pewahyuan Yang Ilahi?

II.      Konsep Religi
Religi berasal dari kata religare dan relegere (Latin). Religare berarti suatu perbuatan yang memperhatikan kesungguhan dalam melakukannya. Sementara itu relegere berarti terus-menerus berpaling kepada sesuatu, mengamati. Kemudian, dalam bahasa Indonesia religi diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan, kepercayaan adanya kekuatan adikodrati di atas kemampuan manusia, kepercayaan animism dan dinamisme.[3]
Dalam masyarakat Jawa, religi orang Jawa yang dimengerti secara umum mengacu kepada Kejawen.[4]Kejawen memuat tindakan dan aktivitas religius masyarakat Jawa yang di dalamnya memuat keyakinan atas kekuatan-kekuatan alam gaib (adikodrati) yang ada di alam semesta.
Atas dua perbandingan di atas, religi dapat dipahami sebagai suatu kesadaran yang mengarahkan manusia kepada suatu keyakinan, sikap, dan penghayatan tertentu atas kenyataan adikodrati. Pertanyaan yang muncul kemudian ialah bagaimana atau darimana orang Jawa memperoleh kesadaran tersebut?

III.    Religi Orang Jawa
Orang Jawa merasakan kepekaan terhadap Yang Ilahi melalui caranya yang khas.kekhasan orang Jawa diantaranya terletak pada kedekatannya dengan alam semesta dan pemahamannya akan kosmos.Kedua hal itu pula yang menjadi beberapa dasar kesadaran orang Jawa terhadap Yang Ilahi.

1. Kedekatan dengan Alam Semesta
Orang Jawa menyadari bahwa alam semesta ini penuh dengan kekuatan gaib. Kesadaran itu dialami lewat pengalaman batin mereka.Orang Jawa meyakini bahwa semua benda yang ada di sekitar mereka memiliki nyawa (roh) baik maupun jahat.Alam ini mempengaruhi hidup mereka: mulai dari kehamilan, lahir, akil balig, menikah, dan mati.Misalnya, ketika dalam masa kehamilan, orang Jawa memegang banyak kepercayaan akan pantangan.Ketika seorang wanita sedang hamil maka ia dan suaminya tidak boleh membunuh atau melukai binatang, bertindak buruk, merusak alam dsb. Bila, mereka melanggar maka mereka harus segera meminta maaf kepada roh-roh yang menghuni alam di sekitar mereka dengan berkata, nyuwun sewu amit-aamit jabang bayi (beribu maaf jabang bayi). Jika hal ini tidak dilakukan, orang Jawa percaya bahwa roh yang ada di alam sekitar akan menjadi sumber bencana, cacat, ataupun sakit bagi calon bayi.[5]
Atas keyakinan itu, orang Jawa berusaha untuk menyatukan diri dengan dunia yang diselimuti dengan kekuatan gaib yang menjadi jiwa bagi ritme dan harmoni kehidupan.[6] Kepada roh yang baik, orang Jawa memberi penghormatan agar memperoleh berkat, sementara kepada roh yang jahat, orang Jawa juga memberi penghormatan agar tidakmendapat gangguan dalam hidup.Kebiasaan orang Jawa untuk membuat selametan dengan berbagai jenis sesajen dimaksudkan untuk berdamai dengan alam sekitarnya. Orang Jawa sadar akan keharusan untuk tinggal harmonis di dalam dunianya.[7]
Dari situ nampak dasar animisme-dinamisme dalam penghayatan religius orang Jawa. Mereka menyadari Yang Ilahi dari perasaan bahwa alam ini memiliki roh yang mengatur.Pengalaman batin akan adanya roh-roh di alam semesta ini juga membuat orang Jawa sadar bahwa di luar dirinya ada realitas yang lebih tinggi. Yang Ilahi harus dicari dalam pengalaman kehidupan sehari-hari melalui sarana apapun yang ada di alam semesta ini.[8]
Dengan begitu, religiusitas orang Jawa tidak terletak pada pemujaan leluhur. Kesadaran orang Jawa akan yang ilahi dialami ketika mereka menghadapi realitas alam di sekitarnya. Pengalaman manusia Jawa dengan realitas alam di sekitarnya kemudian dirumuskan dalam kesusasteraan suci. Kesusatraan suci itu meliputi semua cerita baik dalam bentuk lisan maupun tulisan yang berisi ajaran, petuah, nasehat, mitos-mitos, dongeng-dongeng suci. Salah satu sumber tertulis dalam religiusitas orang Jawa ialah Serat Wirid yakni suatu buku ajaran spiritual yang berasal dari gubahan pujangga agung Jawa yang memuat ilmu tua.[9] Hal ini diwariskan turun-menurun.

2. Refleksi atas Kosmos
Kosmos berasal dari bahasa Yunani kosmosyang berarti dunia yang teratur. Orang Jawa memandang dunina ini sebagai jagad gedhe (makrokosmos) dan ia menjadi bagian di dalamnya sebagai jagad cilik (mikrokosmos).Jagad cilikberpartisipasi dalam perjalanan sejarah jagad gedhe.
Jagad gedhe telah tertata dan teratur.Orang jawa melihat ketertataan dan keteraturan itu suci. Keyakinan orang Jawa tentang hal itu berasal dari refleksi mereka atas peristiwa yang mereka alami sehari-hari antara lain pergerakan waktu yang teratur: pagi-siang-malam, musim-musim yang silih berganti (kemarau-hujan), lahir-hidup-mati, dan sebagainya. Dalam keteraturan itu, manusia dilibatkan sebagai bagian kecil dari makrokosmos. Oleh karena itu, orang Jawa menyadari bahwa mereka harus menjalin harmoni dengan jagad gedhe yang bagi mereka suci.[10]
Orang Jawa menyadari bahwa dunia ini dipenuhi dengan roh-roh. Ia akhirnya menyadari bahwa keteraturan dalam kosmos yang luar biasa itu tentu diatur oleh suatu roh tertentu. Kemungkinan, inilah benih orang Jawa mulai mengakui adanya Yang Ilahi. Meski begitu, Orang Jawa tidak dapat memberi penjelasan yang tepat mengenai apa atau siapa Yang Ilahi itu.
Orang Jawa tidak memanifestasikan Yang Ilahi dalam wujud roh-roh leluhur. Yang ia tahu ialah Yang Ilahi itu menjadi Sangkan Paraning Dumadi (asal dan tujuan hidup). Dunia yang teratur dan terus berputar berasal dan menuju sesuatu.Sangkan Paraning Dumadi harus dicari oleh manusia agar ia bisa memperoleh wujud yang paling bermakna pada dirinya. Makna hidup orang Jawa berasal dari Asal dan ia mendapatkan wujudnya yang paling bermakna bila melangkah menuju Sang Tujuan (Sangkan Paraning Dumadi).[11]
Perjalanan orang Jawa menuju makna hidupnya melalui suatu usaha untuk menjalin harmoni dengan Alam Semesta tempat Yang Ilahi bisa ditemukan. Sifat, watak, peruntungan, dan segala hal hidup orang Jawa diyakini berkaitan dan memiliki kepastian dalam kosmos. Hal ini menjadi dasar mengapa orang Jawa mengenal perhitungan hari baaik-buruk dan segala perhitungan mengenai hidup (jodoh, nasib, dsb.)  (horoskop Jawa).
Penghayatan orang Jawa terhadap keharusan bersatu dengan kosmos menghantar mereka kepada sikap narima (menerima). Termasuk sikap menerima bahwa mereka tidak mampu mengetahui bagaimana Yang Ilahi itu secara persis. Orang Jawa pasrah dan menyebut juga Yang Ilahi dengan ungkapan “tan keno kinaya apa’ (tidak dapat dibayangkan, digambarkan, atau diumpakaman dengan apapun). Hal ini merupakan alasan mengapa orang Jawa tidak memiliki sosok/totem yang bisa merepresentasikan Yang Ilahi. Meski Yang Ilahi tidak tergambarkan, dalam hidup sehari-hari (pengalaman batin dan jasmani) orang Jawa merasakan bahwa Yang Ilahi hadir melalui dunia di sekitarnya, kosmos.
Ungkapan di atas menggambarkan juga bahwa orang Jawa yakin bahwa manusia tidak akan mampu melukiskan dan menjelaskan apa atau siapa itu Yang Ilahi. Pencarian itu tidak akan pernah tuntas. Tidak ada ajaran, atau ilmu yang dapat menjelaskan secara jelas. Yang Ilahi itu tidak terjangkau manusia. Meskipun tidak terpahami, orang Jawa yakin bahwa Yang Ilahi itulah yang memberi kehidupan dan menjadi asal dan tujuan hidup mereka.[12]
Orang Jawa tidak terlalu memikirkan tentang bagaimana rupa Yang Ilahi secara pasti. Atas rahasia ini, orang Jawa hanya bisa narima dan sujud kepada-Nya. Yang terpenting bagi orang Jawa adalah bagaimana hidup dalam kesatuan dengan Yang Ilahi itu (Manunggaling Kawula Gusti). Hanya dengan Manunggal Kawula Gusti, orang dapat memperoleh keselamatan hidup. Hanya dengan Manunggal Kawula Gusti, manusia dapat menjadi satu dan lebur dalam keharmonisan: Jagad gedhe bersatu dengan jagad Cilik. Usaha ini dapat dicapai oleh manusia lewat tapa, samadi, mati raga, dan sebagainya.

VI.    Refleksi Kritis
Konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam Kebudayaan Jawa
Sebagaimana diterangkan di atas bahwa manusia dapat menjadi lebur dalam harmoni alam semesta yang begitu besar, manusia tetap berupaya untuk bersatu dengan Yang Ilahi. Meski manusia tidak dapat menggambarkan secara detail apa yang diyakini sebagai Yang Ilahi, mereka tetap mempersiapkan dengan baik sikap tata batin yang seagung-agungnya agar kebersatuan dengan Yang Ilahi itu tetap dialaminya.
   Dalam kebudayaan Jawa, dikenal semacam keyakinan yang berbunyi Manunggaling Kawula Gusti yang memiliki muatan arti dan makna (kebersatuan Allah dengan manusia). Istilah itu muncul dalam aliran agama Kejawen, sebelum memasuki ranah kekatolikan atau kekristenan. Apa yang mau diketengahkan dalam keyakinan itu? J.B Banawiratma mengatakan, keyakinan itu merupakan usaha manusia untuk mencapai Allah. Dengan kata lain, manunggaling kawula Gusti dapat dicapai manusia hanya dengan sarana-sarana yang telah ada dalam budaya Jawa itu sendiri.[13]
Namun pemahaman Kejawen atau agama tradisional masyarakat Jawa akan adanya Gusti itu ketika dikonfrontasikan dengan iman Katolik mengandung pertentangan. Mengapa demikian? Dalam agama tradisional itu Gusti ingkang Mahakuasa (Allah yang Mahakuasa) kesannya jauh. Makanya manusia perlu mengusahakan kebersatuan dengan Allah itu dengan Gusti yang selama ini mereka anggap jauh, justru hadir dan mendatangi mereka, bahkan menyatu dengan mereka.
Franz Magniz Suseno dalam bukunya yang berjudul Wayang dan Panggilan Manusia, mengutarakan paham tentang Yang Ilahi sendiri yang mendapat paham baru. Yang Ilahi bukan merupakan merupakan pertama-tama sebagai kekuatan pada dasar diri manusia, melainkan sebagai pengayom yang berhadapan dengannya.
Lebih lanjut dikatakan, manusia sendiri dalam segala kekuatannya tetap lemah. Inilah yang menjadi satu kesadaran Jawa yang sangat mendalam.[14] Masyarakat Jawa sampai pada permenungan bahwa Yang Ilahi memang jauh.
Yang Ilahi tidak dapat diusahakan oleh manusia sendiri. Yang Ilahi hanya dapat tercapai jika Ia memberikan dirinya sendiri. Menemukan Yang Ilahi hanya dapat terjadi sebagai anugerah dari Yang Ilahi sendiri. Bahwa itulah jalan yang sebenarnya untuk mencapai kebersatuan manusia dengan Yang Ilahi dalam konsep Manunggaling Kawula Gusti.[15]
Kebersatuan manusia dengan Yang Ilahi merupakan kenyataan hidup yang paling dalam. Agar manusia sampai pada kesatuan ini, mereka perlu mengupayakan hati dan batin yang bersih. Kesucian lahir dan batin harus diusahakan demi tujuan manunggaling kawula Gustiitu.
Selain melalui pemahaman akan kesadaran manusia yang terus mencari Yang Ilahi itu yang terwujud dengan berbagai macam ritus-ritus, konsep manunggaling kawula Gusti juga dapat ditelusuri melalui salah satu lakon kisah pewayangan. Tokoh yang dimaksud adalah Dewa Ruci. Dalam kisah tersebut Wrekodara berjumpa dengan Dewa Ruci yang serupa dengan dirinya sendiri. Perjumpaan itu dapat ditafsirkan sebagai pengalaman manusia menemukan dirinya sendiri. Pengalaman itu sekaligus merupakan pengalaman kebersatuan dengan Yang Ilahi. Dengan kebersatuan manusia dengan Yang Ilahi itulah manusia menemukan dirinya sendiri.[16]
Dengan demikian nyata bahwa pemahaman orang Jawa akan manunggaling kawula Gusti itu perlu dipersiapkan sebaik-baiknya. Manusia memiliki tugas untuk menyiapkan diri sebaik-baiknya dengan segala dinamika yang dialaminya. Dengan itu, manusia berusaha untuk dapat bersatu dengan Yang Ilahi meski manusia tetap terbatas dan akhirnya tunduk pada penerimaan akan Yang Ilahi itu.

Daftar Pustaka
Banawiratma, J. B. Yesus Sang Guru : Pertemuan Kejawen dengan Injil. Yogyakarta : Kanisius, 1977.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia [edisi ketiga].Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002.
Geertz, Hildred. Keluarga Jawa (Judul asli: The Javanese Family), diterjemahkan oleh Hersri. Jakarta:Grafiti Press, 1983.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia, 1987.
Magnis-Suseno, Franz. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT Gramedia, 1985.
Magniz-Suseno, Franz. Wayang dan Panggilan Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991.
Subadrijo, Bambang. Keselamatan bagi Orang Jawa. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000.
Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa. Semarang: Dahara Prize, 1992.
Sumantri, Markus. Religiositas dalam Siklus Hidup Orang Jawa Suatu Deskripsi Kritis, Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, 2006[skripsi].
Sumber Internet
Vico Christiawan, Manunggaling Kawula Gusti, http://vicosj.blogspot.co.id/2011/05/manunggaling-kawula-gusti.html, diakses pada 23 Mei 2016.





[1] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: Universitas Indonesia, 1987), hlm. 65.
[2] Yang penyusun maksud dengan istilah masyarakat Jawa adalah orang yang bahasa ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya. Orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa dan hidup dalam pola piker serta setia dalam menjalankan adat-istiadat Jawa. [Lihat Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 11.
[3] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia [edisi ketiga] (Jakarta: PN Balai Pustaka, 2002), hlm. 943.
[4] Kejawen adalah segala adat istiadat yang berlaku di Jawa, suatu kategori unik dalam masyarakat Jawa. Kejawen adalah jatidiri Jawa. Yang paling menonjol dalam prilaku Kejawen adalah pemakaian sumber-sumber ajaran berupa Serat Wirid, yakni suatu buku ajaran spiritual yang berasal dari gubahan pujangga agung Jawa yang memuat ngelmu tuwa (ilmu tua). Dalam menjalani tradisi ini, orang Jawa selalu megnacu pada budaya leluhur yang diwariskan secara turun temurun. Kejawen disamakan juga dengan agami Jawi. Orang yang menganutnya memiliki paham kepercayaan animisme dan dinamisme. Mereka memegang teguh dan menjalankan upacara dan ritus siklus hidup. [Lihat, Markus Sumantri, Religiositas dalam Siklus Hidup Orang Jawa Suatu Deskripsi Kritis, (Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara, 2006), hlm.5.(skripsi)].
[5] Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Judul asli: The Javanese Family), diterjemahkan oleh Hersri (Jakarta:Grafiti Press, 1983), hlm. 91-92.
[6] Bambang Subadrijo, Keselamatan bagi Orang Jawa (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), hlm. 264-265.
[7] Markus Sumantri, Religiositas…, (skripsi) hlm. 29.
[8] Bdk. Markus Sumantri, Religiositas…, (skripsi) hlm. 22.
[9] Markus Sumantri, Religiositas…, (skripsi) hlm. 5.
[10] Franz Magnis-Suseno, Etika…, hlm. 15.
[11] Markus Sumantri, Religiositas…, (skripsi), hlm. 22.
[12] Sujamto, Reorientasi dan Revitalisasi Pandangan Hidup Orang Jawa (Semarang: Dahara Prize, 1992), hlm.48.
[13] J. B. Banawiratma, Yesus Sang Guru : Pertemuan Kejawen dengan Injil, (Yogyakarta : Kanisius, 1977), hlm. 1.
[14] Franz Magniz Suseno, Wayang dan Panggilan Manusia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991) hlm. 63.
[15] Franz Magniz Suseno, Wayang…, hlm. 59.
[16]Vico Christiawan, Manunggaling Kawula Gusti, http://vicosj.blogspot.co.id/2011/05/manunggaling-kawula-gusti.html, diakses pada 23 Mei 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar