Dialog Iman dan Akal Menuju Kebenaran
Menurut Surat Ensiklik Fides et Ratio
1.
Pengantar
Manusia, secara
kodrati, berhasrat untuk mencari dan menemukan kebenaran.[1]
Kebenaran merupakan kesesuaian antara pemahaman manusia dengan kenyataan yang
dipahaminya.[2]
Sepanjang sejarah kemanusiaan, usaha manusia untuk mencari dan menemukan
kebenaran ditopang oleh dua kemampuan manusiawi yaitu kemampuan akal dan kemampuan
iman[3]
yang masing-masing otonom.
Kemampuan akal dan
kemampuan iman, idealnya saling mendukung. Pengembangan akal yang nyata dalam
berbagai ilmu pengetahuan dan teknik akan berguna bagi peradaban dan
kemanusiaan jika di dalamnya kebijaksanaan Ilahi juga terlibat. Sebaliknya,
pengembangan iman tanpa penalaran malahan akan lebih mudah membawa pada
kepicikan dan kesempitan. Iman dan akal bagaikan sepasang sayap, keduanya
mengepak bersama dalam menggapai kebenaran. Keduanya merupakan anugerah Allah
yang ditanamkan dalam diri manusia, sehingga dengan iman maupun akal budi, Allah dikenali dan
dicintai, serta kepenuhan kebenaran didapatkan. Demikianlah pandangan resmi
Gereja Katolik tentang iman dan akal yang tertulis dalam surat ensiklik Paus
Yohanes Paulus II, Fides et Ratio.
Dewasa ini,
keprihatinan muncul berkaitan dengan hubungan iman dan akal. Di satu sisi,
dunia perlahan-lahan dirusak oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang menyingkirkan iman dan moral. Dunia cenderung berkembang hanya berdasarkan rasionalitas
murni. [4]
Misalnya: semakin berkembangnya kaum ateis (tidak ada tuhan), kaum deistis
(mereka yang percaya akan adanya Tuhan tetapi Tuhan tidak mempunyai pengaruh
atas hidup), kaum pragmatis-postivis; di Eropa (perlahan tumbuh di Asia) banyak
negara mengesahkan UU perkawinan homosex, lesbian, abortus, dan sebagainya
dengan argumen-argumen yang sangat masuk akal.[5]
Di sisi lain, muncul aliran iman buta dalam fundamentalisme dan fanatisme
sempit yang bermuara pada suatu kekuatan arkhais dan berbahaya, yang
menciptakan universalisme palsu yang mengarah pada intoleransi dan pada titik yang ekstrem, terorisme.[6]
Dua kelompok tersebut seolah-olah saling bersaing mengklaim diri sebagai yang paling benar
sehingga saling menunjukkan dominasi satu sama lain.
Keprihatian tadi bukanlah hal baru. Pada Tahun 1992, Paus Yohanes Paulus II
berseru kepada
masyarakat San Domingo bahwa pewartaan Injil memuat panggilan untuk melakukan
dialog intensif antara iman dan ilmu pengetahuan (akal) agar dengan demikian humanisme
Kristiani semakin dapat terbangun. Orang Kristen tidak boleh berada di salah
satu sisi atau iman atau akal saja. Pewartaan kebenaran Injil tidak dapat mengesampingkan perkembangan ratio meskipun tidak boleh terseret
arusnya. Pewartaan kebenaran Injil juga tidak dapat hanya menggunakan penanaman
dogma buta yang menolak segala daya nalar manusiawi. Dialog intensif iman dan
akal menuju kebenaran sangat diperlukan. Paus Yohanes Paulus II secara sistematis memaparkan tema tersebut dalam
ensiklik Fides et Ratio. Oleh sebab itu, penulis hendak memaparkan bagaimana dialog iman dan
akal menuju kebenaran menurut surat ensiklik Fides et Ratio yang ditulis oleh Paus Yohanes Paulus II.
2.
Selayang Pandang Tentang Surat Ensiklik Fides et Ratio
2.1.
Latarbelakang dan Alamat Penulisan Ensiklik Fides et Ratio
Ensiklik Fides et Ratio dikeluarkan oleh Paus
Yohanes Paulus II pada tahun 1998. Latarbelakang diterbitkannya ensiklik ini adalah problematik yang
dihadapi umat manusia tentang apa yang baik dan yang benar. Dengan ensiklik
ini, Paus hendak meyakinkan kembali orang-orang yang menjadi gelisah karena
aliran skeptisisme dan relativisme yang berkembang bahwa manusia memiliki
kemampuan kodrati untuk mencapai kebenaran yang obyektif.[7]
Paus ingin menempatkan kembali potensi nalar pada arah sebenarnya yaitu yang
dibangun atas dasar prinsip otonom yang terkait dengan realitas kebenaran
abadi.[8]
Selain itu Paus juga hendak memperhatikan fenomena pengkotak-kotakan
pengetahuan yang terpisah satu sama lain. Paus menekankan dalam ensikliknya
bahwa dialog sangat diperlukan untuk mencapai kebenaran.
Dalam kondisi yang
demikian (problematik), Paus melihat bahwa Gereja berkepentingan untuk
menyatakan ajarannya mengenai kebenaran. Bukan sebatas kebenaran kognitif
tetapi lebih jauh lagi yaitu kebenaran hidup manusia dalam kaitannya dengan
karya keselamatan Allah. Dengan demikian diharapkan manusia semakin membangun
hidup pada apa yang sungguh baik dan benar. Dalam arah dasar ini Fides et Ratio ditulis.[9]
Dalam Gereja
Katolik, pengajaran atau saksi akan kebenaran Ilahi adalah uskup. Oleh karena
itu, berbeda dengan ensiklik lainnya, Fides
et Ratio ditujukan secara khusus kepada para uskup. Paus mendorong para
uskup untuk memberi kesaksian akan kebenaran agar umat manusia semakin terbuka
akan kebenaran. Para uskup perlu mewaspadai kecenderungan manusia untuk
memalsukan atau menyangkal kebenaran demi kepentingan ekonomis, politis,
“kemajuan”. Pemahaman manusia yang utuh tentang kebenaran harus ditegakkan
kembali dan kebenaran iman sebagai dasarnya harus dinyatakan kembali.
Meskipun ensiklik
ini secara khusus ditujukan kepada para uskup, bukan berarti bahwa kita tidak
harus terlibat dalam penyuaraan kebenaran. Kita juga harus memiliki kebenaran
yang diserukan Gereja yaitu bukan hanya kebenaran iman atau hanya kebenaran
akal melainkan dialog antara keduanya. Kembali lagi kita menggemakan pembukaan
ensiklik ini: iman dan akal adalah sepasang sayap yang mengangkat jiwa manusia
mengontemplasikan kebenaran.[10]
2.2.
Isi Ringkas Ensiklik Fides et
Ratio
Ensiklik ini
dibagi ke dalam tujuh (7) bab isi dan sebuah pengantar. Dalam pengantar, Paus
mengutip perkataan Sokrates di gerbang kuil di Delphi: “kenalilah dirimu”.[11]
Paus mengatakan bahwa mengenali diri merupakan kebenaran yang paling
fundamental yang darinya keseluruhan ciptaan akan dipahami.[12]
Berpangkal dari keingintahuan akan
dirinya makna dan tujuan dirinya, manusia berupaya mendapat pengetahuan,
pemahaman akan realitas yang lain. Ia tidak ingin tersesat, ia ingin menemukan
jalan yang benar meskipun tidak mudah.[13]
Paus memberi tempat khusus bagi filsafat mengenai pencarian ini sebab filsafat
memang berarti “cinta akan kebijaksanaan”.[14]
Filsafat memberi bentuk yang lebih pasti berkaitan dengan pemikiran, misalnya
prinsip penalaran lurus (recta ratio).[15] Di samping itu pertanyaan tentang kebenaran
juga diajukan oleh iman Kristian dan atas itu umat beriman mendengarkan dan
mendalaminya lewat pewahyuan Ilahi.
Pada bab pertama, Paus menulis tentang pewahyuan kebijaksanaan Allah.
Paus menuliskan bahwa kebijaksanaan Allah terwahyukan dalam diri Yesus.[16] Kebijaksanaan Allah
menyejarah dalam Pribadi, dan oleh karena itu kebenaran tentang diri manusia
benar-benar terselami dalam sejarah. Meskipun Yesus mewahyukan kebijaksanaan
Allah, tetap ada misteri karena keterbatasan pemahaman manusia. Akal manusia
tidak sanggup. Dalam keadaan ini, iman yang mungkin mencapainya secara koheren.[17] Yang jelas, kehadiran
Yesus memungkinkan manusia untuk merangkul misteri hidupnya yang sepenuhnya
(seruan “kenalilah dirimu”).[18]
Pada bab kedua, Paus menulis tentang kegiatan iman. Paus mengutip Keb
9:11 tentang kebijaksanaan yang mengetahui dan mengerti segala sesuatu.[19] Orang menerima
kebijaksanaan akan menerima pemahaman.[20] Allah yang adalah
kebijaksanaan menjadi garansi kebenaran. Meskipun daya intelektual memungkinkan
manusia mengetahui sesuatu, tanpa iman, pengetahuan itu tidak mendalam.[21]
Pada bab ketiga, Paus menulis tentang kegiatan akal. Kegiatan akal yang
utama ialah mencari kebenaran.[22] Dalam perjalanan mencari,
akal menemukan bahwa terdapat banyak wajah kebenaran manusiawi yang
berbeda-beda.[23]
Dalam prosesnya pun kebenaran akal dapat diperoleh dengan banyak cara, salah
satunya dengan menerima pengalaman rasional orang lain. Lama-kelamaan kebenaran
tersebut disetujui. Dapat dikatakan bahwa orang yang mencari kebenaran berarti
juga orang yang hidup dengan kepercayaan (terhadap pengalaman rasional orang
lain).[24] Tahap demi setahap,
proses tersebut dapat juga sampai pada kebenaran yang ada dalam Pribadi Yesus
Kristus. Maka tidak ada pertentangan antara kebenaran iman dan proses pikir
akal (filosofis) tadi.[25]
Pada bab keempat, Paus menulis tentang hubungan antara iman dan akal.
Tidak dapat dipungkiri bahwa akal (filsafat) mempunyai sumbangan besar pada iman
(teologi) dimana filsafat menjadi prasyarat dasar untuk belajar teologi.[26] Akal budi menjelaskan (intellectus fidei) kebenaran iman yang
ia terima (auditus fidei). Akal harus
mencari apa yang ia cintai (kebenaran). Di samping itu, Paus juga menuliskan
situasi dimana terjadi perpisahan antara iman dan akal yang seharusnya tidak
perlu: rasionalisme lawan fideisme, dan sebagainya.[27]
Pada bab kelima, Paus menuliskan tentang campur tangan magisterium dalam
masalah filosofis. Gereja tidak berada dalam satu aliran filsafat tertentu.
Gereja setia pada penyingkapan kebenaran. Oleh karena itu, Gereja melalui
magisteriumnya mengintervensi beberapa aliran filsafat yang tidak setia pada
kebenaran sesungguhnya misalnya: fideisme, tradisionalisme yang radikal,
rasionalisme, ontologisme.[28] Selain intervensi itu,
Gereja juga menunjukkan ketertarikannya pada filsafat (dengan menyebut beberapa
teladan doktor gereja). Terutama, agar filsafat dan teologi berjalan bersama
menuju kebenaran.
Pada bab keenam, Paus menuliskan tentang interaksi antara filsafat dan
teologi. Paus menekankan bahwa pengetahuan iman (teologi) memerlukan rasio
filosofis. Paus menggunakan istilah auditus
fidei dan intellectus fidei. Yang
pertama menempatkan teologi pada sumbernya sendiri yaitu Tradisi, Kitab Suci,
dan magisterium.[29]
Sementara yang kedua, teologi ditanggapi dengan disiplin pemikiran rasional.
Meskipun demikian, pertimbangan pertama tetap pada Kebenaran ilahi: Kitab Suci
yang ditafsir dengan magisterium yang berpuncak pada pribadi Yesus Kristus .
Pada bab ketujuh, Paus menuliskan tugas dan apa yang diperlukan untuk
zaman ini. Pertama-tama Paus sangat menekankan perlunya Sabda Allah. Sabda Allah memberikan
kebenaran-kebenaran akhir yang memuaskan manusia. Perlu untuk melawan pemikiran
filosofis yang kurang tepat seperti ekklektisisme, historisme, scientisme,
pragmatisme, dan nihilisme[30]. Atas aliran filsafat yang cenderung mempersempit
pemahaman akan kebenaran itu teologi harus memperbarui metodenya agar dapat
berperan sebagai sarana evangelisasi secara lebih efektif dan perlu selalu
masuk ke dalam pewahyuan yang dipercayakan kepadanya untuk direfleksikan.[31] Teologi harus
menyampaikan kebenaran Kristus yang berpuncak pada Misteri Paskah-Nya; sebab
hanya dalam Kristus manusia mungkin mengetahui kepenuhan kebenaran yang
menyelamatkan.[32]
Dalam kesimpulan, Paus menegaskan bahwa iman dan akal saling mendukung
satu sama lain. Keduanya saling memurnikan untuk mengejar pemahaman yang lebih
dalam. Akhirnya, ia meminta kepada semua orang untuk melihat lebih dalam pada
diri manusia yang oleh Kristus telah diselamatkan. Orang hanya dapat menemukan
kebenaran bila masuk ke dalam kebenaran, tinggal dalam kebenaran, hidup
dinaungi kebijaksanaan. Dengan begitu manusia akan memahami kebebasannya dan
panggilan mereka untuk mengetahui dan mencintai Allah, realisasi tertinggi dari
kebenaran diri mereka.[33]
3.
Dialog Iman dan Akal Menuju Kebenaran
3.1.
Menuju Kebenaran
Pada awal tulisan ini sudah dirumuskan bahwa kebenaran adalah kesesuaian antara pemahaman manusia dengan kenyataan yang dipahaminya. Oleh karena itu, menuju kebenaran berarti
membiarkan kenyataan menyatakan diri kepada diri kita. Kenyataan tidak terbatas
pada apa yang tampak (fenomen),
imanen melainkan juga yang transenden dan dibalik yang tampak (noumenon).[34] Pengetahuan yang benar
serentak mengandung unsur ilahi (total dan tidak terbatas) dan manusiawi (terbatas).
Manusia dalam perajalan menuju kebenaran berada dalam dua ketegangan
tersebut. Dalam Fides et Ratio Paus
Yohanes Paulus II menyadari hal tersebut dan menyerukan kembali seruan Konsili
Vatikan I: “ada dua pengertian
pengetahuan, dibedakan bukan hanya dari sumbernya juga dari objek penelitiannya
(1) dari sumbernya yaitu mengetahui dengan akal kodrati dan dengan wahyu ilahi;
(2) menurut obyeknya hal yang bisa dicapai oleh akal natural dan hal yang hanya
dimengerti melalui wahyu Ilahi.[35]
Dalam perjalanan manusia menuju kebenaran, manusia tidak dapat sampai
pada pengetahuan yang bersifat total. Manusia berbeda dengan Allah. Dalam Allah
segala kebenaran terbuka. Namun, manusia dapat mengetahui yang benar dengan
penalarannya dan penyataan kebenaran dari Allah yang mengetahui segala
kebenaran dan penjamin segala kebenaran. Manusia dapat mengetahui kebenaran
dengan mengenal dirinya dan menerima penyataan akan dirinya melalui wahyu Ilahi.
Kenyataanya banyak pengetahuan yang bukan berasal dari hasil
penyelidikannya sendiri melainkan dari sesama. Sesama dapat membantu manusia
untuk melihat kebenaran. Hal ini mengandaikan bahwa orang memiliki
“kepercayaan” atas kebenaran yang disaksikan oleh sesamanya. Dalam Fides et Ratio dituliskan bahwa orang
yang mencari kebenaran berarti juga orang yang hidup dengan kepercayaan.[36] Meskipun demikian orang
tetap harus bersikap kritis atas kepercayaannya kepada kesaksian sesamanya
(adat, warisan, dsb.)
Menentukan pilihan ekstrem di salah satu bidang saja tidak akan membawa
manusia menuju kebenaran yang sejati. Dalam Fides
et Ratio telah disebutkan beberapa pilihan ekstrem yang mengaburkan
kebenaran: rasionalisme atau fideisme di sisi lain; ekklektisisme, historisme,
scientisme, pragmatisme, dan nihilisme.[37] Menuju kebenaran selalu
berada antara pengetahuan yang berdimensi transenden (misteri) dan imanen.
3.2.
Dialog Menuju Kebenaran dan Syarat Dialog
Permasalahan kebenaran yang objektif, yaitu kesesuaian antara pemahaman
manusia dan kenyataan selalu dilematis sejak berabad-abad. Bagaimana membedakan
antara yang benar dan yang salah, antara yang subjektif dan objektif selalu
muncul.[38] Atas persoalan ini, Brunner
mengajukan dialog sebagai salah satu jalan menuju kebenaran.
Dialog adalah mendiskusikan kenyataan sebagai titik pusat pandangan.
Atas kenyataan tersebut peserta dialog memberi pendapat dengan kondisi khas
masing-masing. Dialog memampukan
masing-masing mengoreksi diri sendiri maupun partner dialognya. Dengan
demikian, jalan menuju kebenaran yang obyektif semakin terbuka.
Dialog mengandaikan adanya otonomi para peserta dan keterbukaan pada
kenyataan. Mutu dialog tergantung pada tingkat pengalaman, kedewasaan,
pengetahuan, dan keahlian para peserta dialog. Selain itu diperlukan segala apa
yang khas untuk relasi subjek-subjek. Dialog membutuhkan suasana penghargaan,
hormat satu sama lain. Peserta dialog adalah pencinta kebenaran.[39]
3.3.
Dialog Iman dan Akal Menuju Kebenaran
Paus Yohanes Paulus II secara lebih konkret mengajukan dialog antara
iman (teologi) dan akal (filsafat) sebagai jalan menuju kebenaran.[40] Dalam konteks dialog,
iman dan akal memiliki otonomi masing-masing. Keduanya terbuka terhadap
kenyataan yang ada: obyek transenden dan imanen.[41] Keduanya memiliki mutu
masing-masing dalam mendekati kenyataan bidangnya. Keduanya adalah pencinta kebenaran
dan pencari kebenaran: keduanya adalah sayap pada roh manusia untuk
mengontemplasikan kebenaran. Iman merupakan pemberian rahmat dari Allah kepada
manusia untuk percaya kepada-Nya/ pengetahuan yang disingkapkan-Nya. Dengan
iman, manusia memberi tanggapan; suatu jawaban patuh kepada Allah. Allah
sendiri menjadi penjamin kebenaran, kepastian kebenaran, dan Allah tidak menipu
dan tidak ingin menipu manusia.[42] Jalan iman menuju
kebenaran sah.
Manusia dapat menggunakan akal budi untuk hidup duniawinya. Akal budi
sungguh benar pada dirinya sendiri.[43] Dengan akal budi manusia
dapat mencapai kebenaran dan kebaikan, mampu mengetahui realitas. Dengan akal
budi manusia memiliki recta ratio
yaitu penalaran lurus mengenai konsep-konsep kebenaran: non kontradiksi,
finalitas dan kausalitas, dsb. Jalan akal menuju kebenaran sah. Keduanya
memiliki cara yang sah menuju kebenaran. Menjadi salah bila salah satu
mengabaikan yang lain seperti apa yang menjadi keprihatinan Paus dalam ensiklik
Fides et Ratio. Iman dan akal tidak
setia lagi kepada kebenaran ketika keduanya dipisahkan dan saling mengklaim
kebenaran tertinggi.[44]
Apabila akal mengklaim otonomi totalnya maka kebenaran obyektif tidak
ada lagi. Semua dianggap benar atau dianggap sebatas opini benar. Oleh karena
itu penilaian moral yang dirasa tidak rasional
tidak lagi memiliki tempat.[45] Di sisi lain, apabila
iman mengklaim otonominya tanpa akal, iman akan jatuh pada tataran perasaan dan
pengalaman subyektif saja. Penilaian obyektif terhadap iman mustahil. Iman
jatuh kepada mitos, tahyul, magis. Tanpa akal “kebenaran” iman diterjemahkan
secara buta dalam pilihan sikap ekstrem misalnya terorisme, kekerasan,
pengkafiran, dan lain sebagainya.
Iman dan akal secara kodrati berjalan bersama.[46] Iman tidak menolak akal
budi karena beriman senantiasa merupakan proses bernalar. Santo Agustinus
menuliskan Fides si non cogitetur, nulla
est: iman yang tidak menyertakan penalaran bukanlah iman yang bermakna
sejati. Dalam perjalanan menuju kebenaran, akal budi memiliki peran untuk
memperlihatkan isi dan makna iman.[47] Bagi akal budi, iman
membebaskannya dari keterbatasan dan bahkan “kedosaannya”. Pernyataan terakhir
ini mengindikasikan bahwa dalam ensikliknya, Paus tetap meletakkan peran iman melebihi
peran akal dalam upaya penggalian kebenaran.
Dalam ensiklik Fides et Ratio,
Paus memperhitungkan karya Santo Thomas Aquinas untuk menunjukkan dialog antara
iman dan akal. Dialog tersebut diwakili oleh dialog kodrat dan rahmat: gratia supponit naturam, gratia non tollat
naturam sed perficiat. Rahmat mengandaikan kodrat (alam-budaya) dan rahmat
tidak menghapuskan kodrat tetapi menyempurnakannya.[48] Akal budi merupakan
kodrat manusia sementara iman merupakan rahmat. Budaya (pengetahuan, teknik)
tidak bertentangan dengan iman, perlu ada keterpaduan antara sekularitas dunia
dan radikalitas Injil.; bersamaan dengan ini ditolaklah pemikiran sola gratia, sola fide, dan sola scriptura Protestan. Paus juga secara
implisit mengajak orang beriman untuk mencari kebenaran dengan mendalami Kitab
Suci dan tradisi warisan filosofis para pendahulu.[49]
Prinsip gratia non tollat naturam
sed perfeciat mendorong setiap orang untuk melihat akal dan hasil dayanya
sebagai sesuatu yang baik. Meskipun demikian setiap jalan akal, hasil daya
akal, kebudayaan terbuka untuk lebih baik, terbuka untuk mendapat
penyempurnaan, terbuka bagi Wahyu Ilahi. Di sinilah terjadi pula dialog antara
iman dan akal. Kebenaran iman diwartakan tidak untuk merusakkan kebenaran akal
tetapi menyempurnakannya. Salah satu contoh yang ada dalam Kitab Suci ialah Kis
17:22-23 yaitu ketika Paulus mengunjungi kota di Yunani dan menggunakan altar
yang dipersembahkan kepada Allah yang tidak dikenal sebagai titik tolak
pewartaan kebenaran.[50]
3.4.
Yesus Sebagai Tempat Pertemuan Kebenaran Sempurna
Iman dan Akal
Perjalanan menuju kebenaran, baik dengan iman atau akal maupun dialog
keduanya, akhirnya bermuara pada panggilan untuk mencapai apa yang absolut,
kebenaran absolut. Apa yang absolut ini tidak hanya diperoleh dengan jalan
nalar namun juga lewat kepercayaan akan orang yang menjamin kepastian
kebenaran. Dalam iman Kristiani, hal tersebut dialami dalam perjumpaan pribadi
dengan pribadi Yesus Kristus. Ia adalah pewahyuan kebenaran. Dia yang ilahi
sekaligus insani merangkum pengetahuan iman dan akal. Kebenaran dalam diri-Nya
tidak bertentangan dengan nalar manusia.
Kebenaran adalah kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman manusia.
Yesus Kristus adalah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan. Dalam hidup Kristus ada
kesesuaian antara pemahaman kita tentang realitas diri kita dengan realitas
diri-Nya; terdapat juga kesesuaian antara apa yang dikatakan-Nya dan apa yang
dilakukan-Nya; terdapat juga kesesuaian antara apa yang diajarakan-Nya (yang
kita imani) dan realitas yang terjadi di dalam diri Yesus Kristus.
Dialog antara kebijaksanaan ilahi dan kebijaksanaan insani terjadi dalam
diri Yesus. Ini terkadang tidak mudah dipahami. Kebenaran Salib menjadi salah
satu titik tolak perubahan cara pandang manusia tentang kebenaran. Pemahaman manusiawi
menolak untuk melihat kekuatan di dalam kelemahan (salib adalah batu sandungan
dan kebodohan). Akan tetapi, iman menyerukan bahwa manusia justru memperoleh
kekuatan di dalam kelemahannya (2 Kor 12:10). Manusia tidak dapat mengerti
bagaimana kematian menjadi sumber kehidupan dan cinta. [51]
Dalam kebenaran Salib, dialog akal dan iman bertemu. Akal budi tidak
dapat mengerti misteri cinta yang diekspresikan oleh salib. Akal budi terbatas
pada kenyataan umumnya/ masuk akalnya. Padahal, salib memberikan kepada akal
budi apa yang ia cari. Namun, bisa jadi akal tidak mau menggenggam kebenaran
itu karena takut akan konsekuensi yang harus ditanggung.[52] Oleh karena itu iman
membantu sehingga akal budi dapat mengerti kebodohan salib; ia dapat mengerti
harga yang harus dibayar untuk memperoleh kebenaran.[53]
Pemahaman Yesus Kristus, Allah yang menjelma, tentang jalan menuju
kebenaran nyata dalam hidup-Nya. Puncak pengungkapan kasih-Nya dalam salib
merupakan kebenaran. Sebab apa yang Ia katakan, Ia ajarkan, nyata terjadi dan
terealisasi dalam diri-Nya. Yesus Kristus menjadi pionir kebenaran Salib
tersebut. Kesaksian-Nya, dan yang diteruskan oleh para rasul terus menerus
dipercayai dan menjadi muara pencarian kebenaran manusia. Kembali kita ingat FR, no. 35: yang mencari kebenaran ialah mereka yang juga hidup dengan
kepercayaan.
Kebenaran salib menyatakan bahwa kebenaran obyektif tidak pernah
terkurung dalam waktu atau budaya tertentu. Salib yang bagi budaya tertentu
merupakan lambang kebodohan, bahkan batu sandungan ternyata dengan terang Ilahi
dapat menjadi penyataan kebenaran. Hal ini menegaskan juga bahwa universalitas
warta kebenaran Yesus mengatasi segala budaya tertentu. Kebenaran Yesus yang
menyelamatkan tidak lagi dimiliki hanya oleh suatu bangsa tapi bagi semua. Hal
ini dapat terealisir hanya bila akal dan iman mau berdialog dalam kehidupan
kita. Yesus sendiri dengan hidup-Nya sudah memberikan sebuah contoh nyata.
Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa kebenaran alfa dan omega ada dalam
diri Tuhan yang berinkarnasi di dalam diri Yesus Kristus. Yesus Kristus
bukanlah tokoh fiktif maupun dongeng magis (menyentuh dimensi akal). Ia sungguh
hadir di dunia dan menunjukkan kesesuaian antara apa yang manusia pahami dan
kenyataan yang sesungguhnya. Ia adalah Jalan, Kebenaran dan Kehidupan. Dalam
kebenaran salib dan kebangkitan-Nya, Yesus menyatakan kebenaran obyektif yang
Ia bawa (menyentuh dimensi iman).
Kebenaran ini tidak boleh hanya disimpan sendiri oleh umat beriman.
Karya gereja yang paling pertama adalah menyampaikan iman itu. Kebenaran
Kristus harus disampaikan yaitu kebenaran yang berpuncak pada misteri
Paskah-Nya. Sebab hanya dalam Kristus akal dan iman sungguh sempurna bertemu
dan kita dapat mengetahui kepenuhan kebenaran yang menyelamatkan itu (Kis 4:12;
1Tim 2:4-6).[54]
3.5.
Fides
et Ratio Bagi Kita
Ada dua kemampuan manusia menuju kebenaran yaitu daya iman dan akal
budi. Keduanya otonom namun saling berhubungan. Keduanya diperlukan bagi
manusia untuk mencapai kebenaran yang obyektif. Iman yang “kurang” rasional
dibantu oleh akal untuk berpikir secara rasional. Akal yang khas manusiawi dan
terbatas disempurnakan oleh iman. Kebenaran yang obyektif senantiasa ditilik
dengan dua sisi ini. Sebab bila salah satu menghilangkan yang lain, kebenaran
obyektif tidak akan tercapai.
Manusia harus semakin mengerti dan beriman. Sabda Ilahi sangat membantu
manusia dalam proses tersebut, terutama Sabda Ilahi yang berinkarnasi dalam
diri Yesus. Atas dasar dialog akal dan iman itu, manusia dapat mulai
merefleksikan hidupnya dan yang menyangkut dengannya: kemanusiaan, perdamaian,
kebersamaan ras dan kultur.[55] Hal-hal tersebut tidak
dapat hanya dilihat dari sudut akal maupun iman saja. Pengalaman menunjukkan
bahwa kebenaran menjadi kabur saat manusia bertindak hanya dengan satu
kemampuan pengelihatan kebenaran yang dimilikinya.
Kebenaran Salib yang dinyatakan oleh Sang Sabda yang menjelma memaksa
kita untuk melihat realitas kehidupan secara baru. Kadangkala timbul dilema
ketika orang Kristen dihadapkan pada pilihan-pilihan yang sulit: iman atau pangkat,
kejujuran atau kelulusan, dan sebagainya. Terkadang jalan yang masuk akal
adalah jalan yang bertentangan dengan iman. Saat itu orang bisa saja merasa
benar karena sudah dipikirkan secara matang dan masuk akal. Hanya saja dalam
kondisi tersebut, pertimbangan iman diperlukan. Jadi, seseorang harus
menggunakan pertimbangan akal dan iman dalam menentukan sesuatu. Nyatanya,
terkadang kebodohanlah yang mengandung kebenaran.
Pada akhirnya, ensiklik Fides et
Ratio mengajarkan kita untuk memiliki semangat terbuka, berdialog dengan
yang lain terutama yang nampak berbeda dengan kita. Meskipun demikian, posisi
kita tetap harus berada di sisi kebenaran alfa dan omega yaitu Yesus Kristus
sendiri, hidup dan ajaran-Nya. Kebenaran ini jugalah yang harus diwartakan dan menerangi
setiap hasil akal (kebudayaan, teknik) yang kita jumpai. Bagi orang Kristen,
kebenaran haruslah kebenaran yang menyelamatkan.[56]
DAFTAR PUSTAKA
Balela, Yoseph Solor. “Menata Hidup dalam
Perspektif Ensiklik Fides Et Ratio
dari Paus Yohanes Paulus II”, dalam Rajawali,
Tahun V, No.02:97-180 (Juni 2007), hlm.152-172.
Bosetti, Giancarlo (ed.). Iman Melawan Nalar, Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Cahyadi, T.Krispurwana. Yohanes Paulus II Gereja, Teologi, dan Kehidupan. Jakarta: OBOR,
2012.
Dokumen
Konsili Vatikan II. Diterjemahkan
oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993.
John Paul II. Faith and Reason. London: The Incorporated Catholic Truth Society,
1998.
Leahy, Louis. “Sains dan Eksistensi Allah:
Suatu Problematika Baru”, dalam Orientasi,
XVI – 1984, hlm.5-20.
----------. Sains
dan Agama dalam Kontes Zaman ini. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Magnis-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Neuner, J dan J. Dupuis. The Christian Faith In The Doctrinal Documents of The Catholic Church.
Bangalore: Theological Publications, 1982.
Snijders, Adelbert. Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Sumber internet:
http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/1998/october/
documents/ hf_jp-ii_spe_19981031_simposio.pdf,
[1] Bdk. Jhon Paul II, Faith and Reason Encyclical Letter-Fides et
Ratio no.1, (London: The Incorporated Catholic Truth Society, 1998), hlm. 3.
Untuk selanjutnya hanya disingkat FR
untuk dokumen ini.
[2] Adelbert Snijders, Manusia
Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm.3.
[3] Ada dua sudut pandang yang dapat orang gunakan untuk melihat
kebenaran, yaitu sudut pandang iman dan akal budi. Iman adalah suatu pelekatan
pribadi pada Allah, suatu persetujuan bebas dan penerimaan akan kebenaran wahyu
ilahi. Ada suatu kepastian karena Allah sendiri yang mewahyukannya [KGK
no.153-165]. Sementara itu, sudut pandang akal budi berarti daya nalar. Nalar
adalah suatu kemampuan mental (rasional) untuk menentukan atau menyesuaikan tindakan-tindakan
dengan tujuan tertentu. Iman lebih berkaitan dengan agama sedangkan akal budi
lebih berkaitan dengan masyarakat (negara, politik, budaya). Iman lebih
berkaitan dengan dogma sedangkan akal budi berkaitan dengan kebijaksanaan
manusiawi. Iman lebih berkaitan dengan orare
(berdoa), sedangkan akal budi lebih berkaitan dengan laborare (bekerja). Iman lebih berkaitan dengan teologi sedangkan
akal budi lebih berkaitan dengan filsafat. Iman lebih berkaitan dengan hidup
surgawi sementara akal budi lebih berkaitan dengan hidup duniawi. [Yoseph Solor
Balela, “Menata
Hidup Dalam Perspektif Ensiklik Fides et Ratio dari Paus Yohanes Paulus II”, dalam RAJAWALI, Tahun
V, No.02: 97 – 180, Juni 2007 (Pematangsiantar: Sekolah Tinggi Filsafat &
Teologi St. Yohanes, 2007), hlm.154.
[4] T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes
Paulus II Gereja, Teologi, dan Kehidupan, (Jakarta: OBOR, 2012), hlm.162.
[5] Yosep Solor Balela, Menata
Hidup…, hlm. 166.
[6] Giancarlo Bosetti (ed.), Iman Melawan Nalar (disadur dari: Dialektik der sakularisierung), diterjemahkan oleh Satriyo (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm.87.
[7] Holy See Address Of The Holy Father
Pope John Paul II To An
International Symposium On The
Inquisition Saturday, 31 October 1998, http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/1998/october/
documents/ hf_jp-ii_spe_19981031_simposio.pdf, 13 maret 2017.
[12] Holy See Address Of The Holy Father
Pope John Paul II To An
International Symposium On The
Inquisition Saturday, 31 October 1998, http://w2.vatican.va/content/john-paul-ii/en/speeches/1998/october/
documents/ hf_jp-ii_spe_19981031_simposio.pdf, 13 maret 2017.
[37] FR, no.87-91. Ekkletisisme adalah aliran pemikiran yang
mencuplik berbagai pandangan ataupun pendekatan tanpa memperhatikan
koherensinya, tempatnya dalam konteks sistem dan sejarahnya; historisme merupakan aliran pemikiran
yang memahami ajaran dari masa lalu diterima hanya sejauh dalam konteks sejarah
dan kulturalnya, karena itu, validitas kebenaran yang disampaikannya tidak
diakui melampaui batas zaman dan budaya, sehingga apa yang benar di suatu zaman
akan begitu saja dinyatakan tidak berlaku di zaman lain; scientism merupakan aliran pemikiran yang hanya mengakui penalaran
positivisme dalam pengetahuan, sehingga pengetahuan religius, teologis, etis,
dan estetis dipandang sekedar sebagai fantasi, serta segala hal yang terkai
dengan pencarian makna kehidupan dikategorikan irasional dan produk imaji
belaka; pragmatisme merupakan proses
penalaran dan pemilihan sikap yang mengabaikan pertimbangan teoritis atau
prinsip etis (misalnya mengandalkan suara mayoritas saja); nihilisme merupakan aliran pemikiran yang menyangkal kebermaknaan
kehidupan, dank arena itu pula menolak adanya kebenaran obyektif [T. Krispurwana Cahyadi, Yohanes
Paulus II, hlm. 179].
[43] Bdk. Konsili Vatikan II,
“Gaudium et Spes” (GS), dalam Dokumen
Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana (Jakarta:
Dokumentasi dan Penerangan KWI – Obor, 1993), no.59.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar