Minggu, 22 Maret 2015

Respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab maka aku ada)



Kutemukan Allah dan Tanggung Jawabku dalam Wajah Sesamaku
Sebuah Ulasan Pemikiran Emmanuel Levinas


1.  Pendahuluan
     Membahas tentang seorang filsuf tidak akan pernah dapat lepas dari filsafat. Filsafat sendiri berarti mencitai kebijaksanaan, bila dilihat dari asal kata Yunaninya yaitu filosofia, dari kata kerja filosofein.[1] Maka seorang filsuf dapat dikatakan sebagai seorang yang mencintai kebijaksanaan.
     Penjelasan di atas merupakan arti filsafat secara etimologis. Sebatas itu pengertian masih sempit. Secara luas definisi filsafat beragam, namun penulis hendak menggunakan salah satu definisinya yaitu usaha manusia dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati.[2] Jadi seorang filsuf ialah seorang yang aktif melakukan sebuah usaha memeroleh pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati dengan akalnya.
     Filsafat telah berkembang dari masa ke masa. Pertama ialah masa kuno (600-an SM – abad VI). Kedua ialah filsafat abad pertengahan (abad VII – XV), kemudian filsafat modern (abad XVI – XVIII) dan filsafat abad ke-19 dan ke-20. Dari rentan masa itu muncullah filsuf-filsuf yang berpengaruh pada masa mereka masing-masing.
     Pada masa filsafat kuno antara lain Sokrates, Plato dan Aristoteles. Pada masa filsafat pertengahan antara lain Johanes Scotus, Thomas Aquinas dan Nicolaus Causanus. Pada masa modern antara lain Blaise Pascal, Imanuel Kant dan Friedrich Nietzsche. Kemudian pada masa abad ke-19 dan 20 antara lain Jean Francoi, Michel Foucault dan Emmanuel Levinas. Nama terakhirlah yang secara mendalam akan dicoba untuk diuraikan oleh penulis. Siapa dia? Bagaimana atau apa pemikirannya? Dan apa aplikasi pemikirannya bagi hidup?




2.  Kisah Hidup dan Garis  Besar Pemikiran Filosofis Emmanuel Levinas

     2.1  Kisah Hidup Emmanuel Levinas
Emmanuel Levinas[3] ialah seorang keturunan Yahudi yang lahir pada tahun 1906 di Kaunas, Lituania. Ia dibesarkan dengan ajaran Alkitab Ibrani dan karya pengarang-pengarang klasik Rusia, Tolstoi dan Puschkin. Beberapa tahun ia disekolahkan di Ukraina meskipun pada akhirnya ia menyelesaikan sekolah menengah di Kaunas, tempat ia lahir.
Tahun 1923, ia menjadi mahasiswa di Universitas Strasbourgh di Prancis. Pada tahun 1928/1929 ia sempat belajar pada Husserl, pendiri fenomenologi.[4] Pada tahun 1930 ia menyelesaikan studinya dengan disertasi La theorie de l’intuition dans la phenomenlogue de Husserl (Teori tentan intuisi dalam fenomenologi Husserl).
Pada tahun 1940 sampai akhir masa perang PD II ia menjadi tahanan perang di Jerman. Pada masa itu Nazisme tengah berlangsung dimana jutaan orang Yahudi dibantai secara massal. Peristiwa itu meninggalkan luka yang pedas dalam jiwa Levinas bahkan ia juga mengungkapkan bahwa pada waktu itu Yesaya 53 tentang hamba Yahwe yang menderita sungguh menjadi kenyataan.
Seusai perang, Levinas menjadi direktur lembaga yang mendidik guru-guru bahasa Perancis bagi sekolah-sekolah Yahudi di kawasan Laut Tengah. Saat itu pula Levinas mulai memperdalam pengetahuannya tentang talmud.[5] Pada tahun 1961, Levinas menerbitkan buku Totalite et Infini (Totalitas dan tak berhingga) yang secara umum disambut sebagai sebuah karya filosofis yang sangat original. Setelah itu pula ia memeproleh gelar “doktor negara”.
Setelah tahun 1961, Levinas tetap menghasilkan buku-buku berisikan pemikiran filosofisnya. Mereka adalah Humanisme Manusia Lain (1972), Autrement qu’etre ou au-de la de l’essence (1974), Tentang Allah yang Sampai pada Pikiran (1982) dan Etika & tak berhingga (1982).




     2.2  Pemikiran Filosofis Emmanuel Levinas
            2.2.1 Wajah
Levinas adalah seorang fenomolog,[6] namun pemikirannya secara tradisional tidak termasuk fenomenologi. Ia melahirkan fenomenologi gaya baru dengan membuka suatu dimensi baru yaitu dimensi etis.
Pemikiran Levinas dituangkannya dalam buku Totalitas dan Tak Berhingga. Bagi Levinas istilah totalitas bernada negatif dimana totalitas menempatkan ‘ego” sebagai pusat. Totalitas mengartikan ada dengan kesadaran yang mengkonstituir diri sendiri. Yang lain ada karena dan bagi kesadaran diri (ego). Tanpa “ego” berarti yang lain tidak ada.
Totalitas itu yang juga digunakan oleh para fenomolog-fenomolog seperti Husserl didobrak oleh “Yang Tak Berhingga”. Tak berhingga dimaksudkan sebagai suatu relitas yang secara prinsipal tidak mungkin dimasukkan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan “ego”. Yang tak berhingga menurut Levinas ialah orang lain. Totalitas itu langsung hancur dalam perjumpaan dengan orang lain. Levinas menyebut “wajah” sebagai istilah filosofis yang baru akan pengalaman itu.
Penampakan wajah sesama merobohkan egoisme seseorang. Wajah menurut Levinas bukanlah suatu hal fisis atau empiris. Yang ia maksudkan ialah wajah dalam keadaan telanjang, polos, tanpa suatu konteks.
Penampakan wajah merupakan suatu kejadian etis. Inilah suatu kekhasan dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa seseorang untuk tidak boleh tinggal tidak acuh. Ia mewajibkan seseorang. Ia menghimbau seseorang untuk membuka hati, mempraktikkan keadilan dan kebaikan. Wajah memanggil seseorang untuk bertanggung jawab. Himbauan wajah pada pokoknya ialah “jangan membunuh”. Ketika Kain bertanya, “apakah aku penjaga adikku?, maka penampilan wajah mewajibkan Kain menjadi penjaga saudaranya.
Wajah menimbulkan kewajiban etis bagi seseorang. tampilnya orang lain mengakibatkan saya bertanggungjawab. Namun hubungan etis ini dianggap asimetris. Yang saya beri tak boleh saya tuntut dari orang lain. Saya bertanggungjawab terhadap orang lain tetapi saya tidak dapat menyuruh orang lain bertanggungjawab atas saya.
Levinas kemudian mengungkapkan bahwa bukan refleksi tentang aku yang menyingkapkan bagi saya “Aku” yang sejati melainkan aku menemukan “Aku” perjumpaan dengan “Orang Lain”.[7] Hal itu pula yang melatarbelakangi pemikirannya tentang Allah. Baginya Allah tidak dapat dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Levinas berbicara tentang Allah dalam konteks metafisik, dimana Yang Tak Berhingga tampak dalam wajah. Dimensi Ilahi membuka diri dalam wajah orang lain. Melalui wajah, saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan.[8]

              2.2.2  Tanggung Jawab
Dalam buku Lain daripada ada atau di seberang esensi, Levinas menekankan tanggung jawab. Baginya subyek menjadi subyek karena bertanggungjawab atas orang lain. Biasanya dikatakan bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja, tetapi menurut Levinas, saya bertanggungjawab pula atas perbuatan orang lain itu. Bila ditanya: berarti orang lain bertanggungjawab atas perbuatan kita? Nah, relasi etis yang asimetris berlaku.
Levinas menggunakan pengertian yang sukar untuk menjelaskan hal itu, yaitu substitution[9] (menggantikan tempat orang lain). Saya bertanggungjawab, malahan saya bersalah (guilty) karena perbuatan orang lain. Pemikiran ontologis tidak menerima itu. Bagi ontologi, saya hanya untuk diri saya. Bila begitu, menurut Levinas persaudaraan universal tidak akan terbangun.
Akhirnya Levinas juga sampai pada ungkapan “Aku” adalah mesias. Dengan mencari inspirasi Alkitabiah tentang Mesias yang menederita bagi orang lain (Yes 53), ia berusaha memberi pendasaran pemikiran filosofisnya yang berbeda dengan cogito ergo sum-nya Descartes yang mencerminkan totalitas (aku berpikir, jadi aku ada) dan menggantikannya dengan respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).[10]

3. Aplikasi
     3.1  Wajah dan Tanggung Jawab Cinta, Pengorbanan dan Perdamaian
Pemikiran Levinas tentang wajah dan tanggung jawab menghantar seseorang pada sebuah kepekaan kasih dan etis serta pengorbanan diri. Wajah menjadi kejadian etis bagi kita untuk berbuat baik, adil dan ramah. Pemikiran tentang wajah mengajak kita untuk keluar dari keakuanku “egoistis”-ku dan berdinamika serta membangun persaudaraan dengan yang lain, Yang Tak Berhingga. Bahkan dalam wajah itu pula, wajah sesama kita, tampak Tuhan sendiri sebagai Yang Lain. Hal itu membuat kita memiliki tanggung jawab etis terhadap sesama kita yang mencerminkan Tuhan sendiri.
Bila kita benar-benar menghidupi respondeo ergo sum  yang dituangkan oleh Levinas, maka kesejahteraan (bonum communae) bersama mungkin sekali tercapai. Pemikiran filosofis Levinas ini sangat tepat diaplikasikan dalam karya kasih terhadap sesama yang merupakan yang lain yang membuat eksistensi kita tetap ada. Menyadari wajah sesama sebagai sebuah panggilan etis untuk bertanggung jawab maka seharusnya tidak ada lagi pembiaran atau sikap tak acuh kepada kehidupan sesama apalagi pembiaran terhadap penghilangan eksistensi sesamaku.
Aku dapat menyebut aku karena ada dia yang bukan aku. Aku tergantung pada ada yang lain di luar diriku. Aku tidak akan ada lagi bila dia yang bukan aku juga tidak ada. Adaku ada bila aku tetap bersama dengan yang lain bahkan adaku semakin sempurna saat aku berada bersama Yang Lain Yang Tak Berhingga yaitu Tuhan.





[1] Harun Hadiyuwono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm.7.
[2] Ibid. hlm.8.
[3] Lebih lanjut dalam tulisan ini penyebutan nama Emmanuel Levinas akan disingkat menjadi “Levinas”
[4] K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis(Jakarta: PT Gramedia,1985), hlm.460.
[5] Kumpulan karangan yang berisikan wejangan dan diskusi para Rabbi Yahudi tentang makna Kitab Suci dan cara hidup Yahudi.
[6] K.Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis(Jakarta: PT Gramedia,1985), hlm.460.
[7] Ibid. hlm.466
[8] Ibid.
[9] Ibid. hlm.468
[10] Ibid. hlm.469

Kamis, 12 Maret 2015

Makna Tamparan Uskup dalam Sakramen Krisma?

MAKNA SIMBOLIK SAKRAMEN PENGUATAN/ KRISMA

Beberapa kali saya mengikuti perayaan Ekaristi yang disertai penerimaan sakramen penguatan atau krisma, saya masih saja selalu tertarik dengan prosesi tamparan uskup di pipi kanan penerima krisma. Meskipun saya tertarik, tetapi saya tidak pernah mempertanyakan mengapa ada tamparan di pipi itu. Saya menganggap memang sudah begitulah ritusnya. Hingga akhirnya suatu hari, seorang teman mempertanyakan makna tamparan uskup itu pada saya.
Terusik oleh pertanyaan tersebut, saya bermenung dan mendapati bahwa meski saya sudah menerima sakramen penguatan atau krisma, saya tidak tahu mengapa pipi saya ditampar oleh bapa uskup saat menerima krisma. Kemungkinan besar, beberapa dari kita yang sudah menerima sakramen penguatan atau krisma juga masih bertanya-tanya apa makna tindakan menampar pipi tersebut. Akhirnya, saya mencoba menemukan penjelasan hal tersebut dari berbagai sumber literatur yang dapat membantu.

Sejarah dan Makna Simbolik Penerimaan Sakramen Penguatan atau Krisma
Sakramen penguatan atau sakramen krisma merupakan istilah yang sama-sama menunjuk pada upacara pengurapan Roh Kudus oleh uskup atau imam yang diberi wewenang. Disebut sebagai sakramen penguatan karena sakramen ini bertujuan memperkuat dan memperkokoh rahmat sakramen baptis. Sedangkan disebut sakramen krisma karena ritus pokoknya ialah pengurapan dengan minyak suci atau myron suci yang disebut krisma (bdk. Kompendium Katekismus Gereja Katolik [KKGK] 266).
Pada periode gereja perdana sampai dengan awal skolastik (abad ke-13), krisma melebur menjadi satu dengan sakramen baptis sebagai inisiasi Kristen. Saat itu, krisma bukanlah sebuah sakramen tersendiri. Seorang imam jemaat Roma bernama Hippolytalus, sekitar tahun 220 M, menulis Apostolike paradosis (tradisi rasuli) yang salah satunya berisi prosesi inisiasi yang menyatukan antara krisma dan baptis. Dalam tulisannya, orang yang baru saja dibaptis langsung diberkati dengan minyak krisma di dahi dan diakhiri dengan pelukan damai.
Pada tahun 1208, Paus Inosensius III menyatakan secara resmi bahwa penguatan atau krisma termasuk ke dalam daftar sakramen-sakramen. Seperti halnya sakramen yang lain, sakramen penguatan atau krisma harus memiliki materia dan forma­-nya atau hakekat dan rumusan verbalnya. Materia sakramen penguatan atau krisma ialah (1) penguluran kedua tangan uskup atau imam yang diberi wewenang kepada calon penerima krisma, (2) penumpangan tangan kepada penerima krisma sambil mengurapi/ mengolesi dahinya dengan krisma dalam bentuk salib.[1] Sementara itu, forma sakramen penguatan atau krisma ialah rumusan: “Semoga dimaterai oleh karunia Allah, Roh Kudus” (bdk. Katekismus Gereja Katolik [KGK] 1300).
Setelah pengurapan minyak krisma, pada masa Hippolytalus, pemberi pengurapan mengakhiri prosesi dengan pelukan damai. Hal ini berbeda dengan sakramen penguatan atau krisma setelah ditetapkan sebagai sebuah sakramen tersendiri yaitu pemberi sakramen penguatan atau krisma memberikan salam damai (bdk. KGK 1303). Lalu pertanyaannya ialah manakah tamparan di pipi oleh uskup?
Tamparan di pipi oleh uskup memang tidak ditemukan dalam sumber-sumber literatur gereja baik dalam KGK, KKGK, dokumen konsili Vatikan II, maupun Kitab Hukum Kanonik (KHK). Bahkan, kita juga tidak akan menemukan simbol tamparan di pipi dalam pencurahan Roh Kudus di masa para rasul (bdk. Kis 8:18). Kemungkinan besar, simbol tamparan di pipi merupakan sebuah tradisi yang diteruskan dari gereja terdahulu namun sesudah jemaat perdana atau jaman para rasul.
Tamparan di pipi penerima krisma kemungkinan besar dipengaruhi oleh pemahaman teologis gereja tentang sakramen itu sendiri. Mengutip dua pemikiran pujangga besar gereja yaitu Thomas Aquinas dan Bonaventura (abad ke-13) secara berturut-turut sakramen krisma dimengerti sebagai saat orang menerima kuasa (potestas) untuk melakukan apa saja yang termasuk pertempuran (pugnam) rohani melawan musuh iman dan dimengerti sebagai saat orang dikuatkan untuk menjadi serdadu (miles) Kristus.
Pemikiran tersebut mengesankan bahwa sakramen krisma menandakan seseorang, sebagai serdadu Kristus, harus siap menghadapi pertempuran rohani. Atas dasar ini jugalah kemungkinan besar terjadi perubahan simbolik dari pelukan atau salam damai menjadi tamparan di pipi.
Mundur lebih jauh lagi dari masa Thomas dan Bonaventura, kita dapat menemukan bahwa simbol tamparan di pipi penerima krisma yang diberikan oleh uskup telah digunakan. Antara abad ke-7 dan ke-8, di Perancis, penumpangan tangan uskup dalam Krisma lebih menekankan pemberian Roh Kudus yang menguatkan. Salah satu karunia Roh Kudus yang ditekankan ini mengubah sikap uskup yang memberi krisma: semula sebuah pelukan atau salam damai menjadi tamparan pada pipi sebagai simbol peperangan rohani (lih. Confirmation karya Gerard Austin, hlm. 223).
Kemungkinan besar, tradisi inilah yang kemudian diterima dan dipraktikkan oleh gereja selanjutnya. Secara teologis, Thomas dan Bonaventura mengkokohkan tradisi yang sebelumnya telah ada. Pendapat teologis mereka sesuai dengan makna tamparan di pipi yang sudah dipraktikkan sejak abad ke-7 terutama di Perancis yaitu sebagai tanda penguatan dalam peperangan rohani. Jadi, tamparan di pipi penerima krisma oleh uskup pemberi sakramen penguatan atau krisma memiliki makna peneguhan agar si penerima krisma menjadi kuat dalam menghadapi peperangan rohani (pugnam) melawan musuh iman yang akan mereka hadapi. Diharapkan, si penerima krisma mengingat kembali tamparan di pipi mereka ketika mereka merasa takut dan ragu dalam menghadapi musuh iman mereka dalam rupa apapun juga dan akhirnya mereka menjadi dikuatkan kembali.


                                                                                                                                        



[1] C. Groenen, Teologi Sakramen Inisisasi Baptisan Krisma Sejarah dan Sistematik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm.

Sabtu, 07 Maret 2015


Filsafat Etika Thomas Aquinas
Tentang Baik dan Buruk

 Pengantar
Baik dan  buruk merupakan konsep abstrak yang sering kali tidak begitu jelas pe-ngertiannya. Dasar dari konsep baik dan buruk menjadi hal penting dalam menentukan sesuatu tindakan adalah baik atau buruk. Secara filosofis kita akan senantiasa bertanya: “Apa dasarnya perbuatan ini adalah baik dan apa dasarnya perbuatan itu adalah buruk?”
Mengetahui dasar dari konsep baik dan buruk pun belum cukup memuaskan. Pada tahap selanjutnya muncul pertanyaan baru: “Mengapa harus berbuat yang adalah baik dan tidak berbuat yang adalah buruk?” Tentu ada alasan yang hakiki bagi seseorang untuk bertindak.
Berdasarkan dua pertanyaan filosofis tersebut, Thomas Aquinas seorang filsuf religius menuangkan pemikirannya untuk mendekati jawaban pertanyaan-pertanyaan itu. Dalam karyanya Summa Teologiae[1], terutama pada bagian Etika, Ia mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar tentang baik dan buruk. Dalam pemikiran filosofisnya yang juga dipengaruhi Aristoteles[2], Thomas menjawab pertanyaan-pertanyaan itu dengan mengaitkan antara manusia, tujuan akhir manusia, dan kodrat manusia.

 Riwayat Hidup Thomas Aquinas
Thomas aquinas lahir pada tahun 1225 di Roccasecca wilayah Napoli, Italia. Ia adalah seorang keturunan bangsawan. Ketika masih berumur lima tahun, orangtua Thomas mengirimnya belajar di biara Monte Cassino[3]. Pada tahun 1239, Ia belajar di Universitas Naples. Tahun 1243 Ia memutuskan untuk masuk ordo Dominikan, namun hal itu ditentang oleh keluarganya.[4] Baru pada tahun 1245 Thomas benar-benar bergabung dengan Ordo Dominikan, dan  kemudian Ia ke Paris untuk belajar di bawah bimbingan Albertus Agung.
Tahun 1248 Thomas menemani Albertus ke Koeln sampai tahun 1252. Pada periode itulah Ia menulis komentar-komentarnya terhadap Sententiae karya Petrus Lambardus (Ini menjadi titik awal karya filosofis dan teologisnya). Setelah menyelesaikan studinya, pada 1252 sampai 1259 Ia mulai mengajar di Paris.
Tahun 1259 sampai 1269 Thomas kembali ke Italia untuk menjadi Teolog di tribunal kepausan. Tahun 1269 Ia pergi ke Perancis lagi utuk menjadi profesor teologi di Universitas Paris hingga tahun 1272. Pada periode ini Thomas menulis karya terbesarnya Summa Teologiae. Namun, pada akhir 1273 Ia berhenti menulis dan meninggalkan Summa Teologiae-nya tak selesai[5].
Pada Januari 1274, Thomas berangkat menuju konsili Lyon atas undangan Paus Gregorius X. Dalam perjalanannya ke Lyon, Ia jatuh sakit di rumah sepupunya Fransiska Aquinas dan tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Lyon. Beberapa waktu di rumah sepupunya, kemudian Ia meminta menghabiskan hari-harinya di biara, maka Ia dibawa ke biara Fossanova di mana akhirnya Ia wafat pada 7 Maret 1274.

Pandangan Filosofis Thomas Aquinas
Dalam karya-karyanya, Thomas menuliskan pemikirannya tentang penciptaan, tentang esensi dan eksistensi serta lima jalan pembuktian eksistensi Allah yang terkenal, tentang manusia, tentang etika, dan masih banyak lagi. Pemikiran Thomas tentang baik dan buruk dapat ditemukan dalam karya-karyanya tentang manusia dan juga etika.

1.  Kesatuan Manusia
Menurut pandangan Thomas Aquinas, manusia merupakan satu substansi saja (yang terdiri dari jiwa dan badan)[6]. Thomas menolak ajaran dualisme Plato. Dengan menggunakan pemikiran filosofis Aristoteles tentang materi dan bentuk atau aktus dan potensi atau perealisasian dan bakat, Ia menjelaskan kesatuan badan dan jiwa. Jiwa menjadi bentuk atau aktus atau perealisasian dari badan. Atau secara sederhana, jiwa menjadi daya gerak bagi badan untuk menjadi realitas[7].
Jiwa melakukan aktivitas yang melebihi sifat badani, yaitu berpikir dan berkehendak[8]. Kedua aktivitas itu bersifat rohani, maka jiwa pun harus bersifat rohani (sesuai prinsip tindakan mengikuti cara beradanya) dan sifat inilah yang menjadi khas manusia[9]. Selain itu, karena jiwa bersifat rohani maka ia pun akan hidup terus. Pendapatnya ini berlawanan dengan pendapat Aristoteles, namun sejalan dengan pemikiran Plato.
Kemudian, mengakui kesatuan utuh manusia maka segala tindakan harus diakui sebagai perbuatan “aku” yang utuh sebagai jiwa dan badan yang satu[10]. Kesatuan ini juga mengandaikan bahwa badan manusia hanya terdiri dari satu jiwa saja. Pemikirannya ini menentang pemikiran neo-platonisme tentang satu jiwa untuk semua. Dan, karena jiwa menjadi bentuk atau cara berada maka tindakan manusia harus seturut caranya berada dan bertanggung jawab apakah tindakannya sesuai atau tidak sesuai dengan caranya berada[11].

2.  Tujuan Akhir Hidup Manusia
Manusia sebagai satu kesatuan jiwa dan badan mengambil bagian dalam adanya realitas tertinggi yaitu Allah[12]. Kemudian dalam etikanya, Thomas mengatakan bahwa tujuan akhir manusia ialah memandang realitas tertinggi yang berarti adalah Allah[13]. Hidup seseorang harus diarahkan kepada tujuan akhirnya.[14] Tujuan akhir manusia (memandang Allah) pula yang menjadi kriteria baik dan buruk. Suatu tindakan baik bila mendekati-Nya dan buruk bila menjauhi-Nya[15].
Sampai di situ akan muncul pertanyaan: Bagaimana mengetahui bahwa suatu tindakan mendekati atau menjauhi Allah? Menurut Thomas, tugas ini menjadi pekerjaan hukum kodrat yang diturunkan dari caranya manusia berada[16]. Cara manusia berada ialah sebagai makhluk rohani.[17]




3.  Etika Thomas dalam Hukum Kodrat
Untuk mengarahkan diri kepada tujuan akhirnya, manusia harus melakukan yang baik dan menghindari yang jahat. Hal ini merupakan perintah moral yang paling dasar[18]. Yang baik dan yang jahat diketahui dari hukum kodrat yang manusia pahami melalui akal budinya.
Hukum kodrat yang Thomas tuliskan bersumber dari Stoa yang sudah disempurnakan olehnya. Hukum kodrat mengacu kepada kodrat. Kodrat ialah realitas atau struktur realitas atau hakikat realitas yang ada. Semua makhluk memiliki kodratnya dan dituntut untuk mengembangkan kodratnya dengan hidup sesuai kodratnya.
Hidup sesuai kodrat masih juga kurang jelas. Hidup sesuai kodrat berarti menyempurnakan diri sesuai kekhasan yang ada[19]. Apa kekhasan manusia? Thomas mengambil gagasan dari Aristoteles tentang manusia yang memiliki kecenderungan vegetatif, sensitif, dan rohani. Dari pemikiran itu, Thomas menyimpulkan bahwa kecenderungan rohanilah yang membuat manusia khas dari makhluk lain. Jadi, manusia hidup sesuai kodrat jika mereka menyempurnakan diri sebagai makhluk rohani.
Penyempurnaan diri sebagai makhluk rohani menjadi tolak ukur konkret tentang baik dan buruk bagi manusia untuk mencapai tujuan akhir hidupnya. Tindakan itu mendekati tujuan akhir bila tak menghalangi diri menjadi makhluk rohani yang lebih sempurna. Sebaliknya, tindakan itu menjauhi tujuan akhir bila menghalangi proses penyempurnaan rohani manusia[20].
Menaati hukum kodrat ialah sebuah kewajiban dan bukan hanya sekedar kebijaksanaan bagi manusia. Menaati hukum kodrat berarti menaati Allah sendiri karena hukum kodrat bersumber dari Hukum Abadi sendiri yakni Allah. Kodrat manusia adalah sesuatu yang dikehendaki Allah memang demikan adanya. Dan kita wajib mengembangkan kodrat kemanusiaan kita untuk mencapai tujuan akhir kita.

Tanggapan
Penjelasan filosofis Thomas tentang baik dan buruk serta alasan manusia harus berbuat baik cukup bernuansa teologis. Meski demikian pemikirannya tetaplah masuk akal dan tak bisa dikatakan sepenuhnya bersifat dogmatis. Walaupun memang harus diakui bahwa untuk menerima pemikiran filosofisnya, kita harus mengamini bahwa Allahlah realitas tertinggi itu.
Cara Thomas mengintegralkan antara baik dan buruk dengan tujuan akhir hidup manusia sangat tepat dan masuk akal. Segala sesuatu bernilai tergantung tujuan. Misalnya, menghidupkan lampu minyak baik bila ditujukan untuk menerangi. Namun hal itu menjadi buruk bila ditujukan untuk membakar rumah tetangga. Ada hubungan khas antara baik-buruk dengan tujuan, dan Thomas telah mengutarakan tujuan yang tertinggi.
Thomas menyimpulkan bahwa tujuan akhir manusia ialah memandang Allah. Di sini muncul tentang kriteria tindakan mana yang menjauhi atau mendekati memandang Allah. Kemudian Ia menjelaskan tentang hidup sesuai kodrat.
Hidup sesuai kodrat berarti mengembangkan kekhasan yang dimiliki oleh yang “ada” dan bagi manusia hal itu ialah rohaninya. Manusia dituntut untuk menyempurnakan diri menjadi makhluk rohani. Di sini kita akan sampai kepada ketidakjelasan yang akan sulit dijawab oleh akal budi. Kriteria pribadi rohani yang sempurna belum tercapai oleh akal, dan hal ini hanya terjawab oleh Wahyu Allah lewat Kitab Suci. Pada titik ini akhirnya terasa bahwa ulasan Thomas tentang baik dan buruk terungkap justru lewat pengetahuan wahyu dan bukan akal.
Memang akan selalu muncul pertanyaan baru mengenai baik-buruk dan tujuan akhir hidup manusia. Namun, penjelasan Thomas menggunakan pemikirannya tentang manusia, tujuan akhir manusa dan hukum kodrat adalah ilmiah untuk menjelaskan hal yang abstrak. Hukum kodrat Thomas memiliki rasionalitas yang tinggi di mana akhirnya diketemukan bahwa manusia berbuat baik demi tujuan akhirnya dan demi dirinya sendiri, penyempurnaan diri sebagai makhluk rohani.


Baca juga:

Bertens, Kees. Ringkasan Sejarah Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1976.
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat I. Yogyakarta: Kanisius, 1998.
Magniz-Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Modin, Battista. A History of Medieval Philosophy. Bangalore: Theological Publications, 1991.
Sutrisno, F.X. Mudji et.al. Para Filsuf Penentu Gerak Zaman. Yogyakarta: Kanisius, 2000. 



[1] Summa Teologiae terdiri dari tiga bagian: tentang Allah, Etika, dan Kristus.
[2] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 82.
[4] Battista Modin, A History of Medieval Philosophy (Bangalore: Theological Publications, 1991), hlm.133.
[5] Battista Modin, A History..., hlm. 325.
[6] K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hlm. 35.
[7] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 110.
[8] K. Bertens, Ringkasan Sejarah..., hlm. 35.
[9] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 88.
[10] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah..., hlm. 110.
[11] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 86.
[12] K. Bertens, Ringkasan Sejarah..., hlm. 34.
[13] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 88.
[14] Rina Rehayati, Filsafat Religius Thomas Aquinas (internet).
[15] Battista Modin, A History..., hlm. 350.
[16] Battista Modin, A History..., hlm. 350.
[17] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 87.
[18] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 87.
[19] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 87.
[20] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh..., hlm. 88.