Kutemukan Allah
dan Tanggung Jawabku dalam Wajah Sesamaku
Sebuah Ulasan
Pemikiran Emmanuel Levinas
1. Pendahuluan
Membahas tentang seorang filsuf tidak akan pernah dapat lepas
dari filsafat. Filsafat sendiri berarti mencitai kebijaksanaan, bila dilihat
dari asal kata Yunaninya yaitu filosofia,
dari kata kerja filosofein.[1]
Maka seorang filsuf dapat dikatakan sebagai seorang yang mencintai
kebijaksanaan.
Penjelasan di atas merupakan arti filsafat secara etimologis.
Sebatas itu pengertian masih sempit. Secara luas definisi filsafat beragam,
namun penulis hendak menggunakan salah satu definisinya yaitu usaha manusia
dengan akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang memuaskan
hati.[2]
Jadi seorang filsuf ialah seorang yang aktif melakukan sebuah usaha memeroleh
pandangan dunia dan hidup yang memuaskan hati dengan akalnya.
Filsafat telah berkembang dari masa ke masa. Pertama ialah masa
kuno (600-an SM – abad VI). Kedua ialah filsafat abad pertengahan (abad VII –
XV), kemudian filsafat modern (abad XVI – XVIII) dan filsafat abad ke-19 dan
ke-20. Dari rentan masa itu muncullah filsuf-filsuf yang berpengaruh pada masa
mereka masing-masing.
Pada masa filsafat kuno antara lain Sokrates, Plato dan
Aristoteles. Pada masa filsafat pertengahan antara lain Johanes Scotus, Thomas
Aquinas dan Nicolaus Causanus. Pada masa modern antara lain Blaise Pascal,
Imanuel Kant dan Friedrich Nietzsche. Kemudian pada masa abad ke-19 dan 20
antara lain Jean Francoi, Michel Foucault dan Emmanuel Levinas. Nama
terakhirlah yang secara mendalam akan dicoba untuk diuraikan oleh penulis.
Siapa dia? Bagaimana atau apa pemikirannya? Dan apa aplikasi pemikirannya bagi
hidup?
2. Kisah Hidup dan Garis Besar Pemikiran Filosofis Emmanuel Levinas
2.1 Kisah Hidup Emmanuel
Levinas
Emmanuel Levinas[3]
ialah seorang keturunan Yahudi yang lahir pada tahun 1906 di Kaunas, Lituania.
Ia dibesarkan dengan ajaran Alkitab Ibrani dan karya pengarang-pengarang klasik
Rusia, Tolstoi dan Puschkin. Beberapa tahun ia disekolahkan di Ukraina meskipun
pada akhirnya ia menyelesaikan sekolah menengah di Kaunas, tempat ia lahir.
Tahun 1923, ia menjadi mahasiswa di
Universitas Strasbourgh di Prancis. Pada tahun 1928/1929 ia sempat belajar pada
Husserl, pendiri fenomenologi.[4]
Pada tahun 1930 ia menyelesaikan studinya dengan disertasi La theorie de l’intuition dans la phenomenlogue de Husserl (Teori
tentan intuisi dalam fenomenologi Husserl).
Pada tahun 1940 sampai akhir masa
perang PD II ia menjadi tahanan perang di Jerman. Pada masa itu Nazisme tengah
berlangsung dimana jutaan orang Yahudi dibantai secara massal. Peristiwa itu
meninggalkan luka yang pedas dalam jiwa Levinas bahkan ia juga mengungkapkan
bahwa pada waktu itu Yesaya 53 tentang hamba Yahwe yang menderita sungguh
menjadi kenyataan.
Seusai perang, Levinas menjadi
direktur lembaga yang mendidik guru-guru bahasa Perancis bagi sekolah-sekolah
Yahudi di kawasan Laut Tengah. Saat itu pula Levinas mulai memperdalam
pengetahuannya tentang talmud.[5]
Pada tahun 1961, Levinas menerbitkan buku Totalite
et Infini (Totalitas dan tak berhingga) yang secara umum disambut sebagai
sebuah karya filosofis yang sangat original. Setelah itu pula ia memeproleh
gelar “doktor negara”.
Setelah tahun 1961, Levinas tetap
menghasilkan buku-buku berisikan pemikiran filosofisnya. Mereka adalah Humanisme
Manusia Lain (1972), Autrement qu’etre ou
au-de la de l’essence (1974), Tentang Allah yang Sampai pada Pikiran (1982)
dan Etika & tak berhingga (1982).
2.2 Pemikiran Filosofis
Emmanuel Levinas
2.2.1 Wajah
Levinas adalah seorang fenomolog,[6]
namun pemikirannya secara tradisional tidak termasuk fenomenologi. Ia
melahirkan fenomenologi gaya baru dengan membuka suatu dimensi baru yaitu
dimensi etis.
Pemikiran Levinas dituangkannya
dalam buku Totalitas dan Tak Berhingga. Bagi Levinas istilah totalitas bernada
negatif dimana totalitas menempatkan ‘ego” sebagai pusat. Totalitas mengartikan
ada dengan kesadaran yang mengkonstituir diri sendiri. Yang lain ada karena dan
bagi kesadaran diri (ego). Tanpa “ego” berarti yang lain tidak ada.
Totalitas itu yang juga digunakan
oleh para fenomolog-fenomolog seperti Husserl didobrak oleh “Yang Tak
Berhingga”. Tak berhingga dimaksudkan sebagai suatu relitas yang secara prinsipal
tidak mungkin dimasukkan ke dalam lingkup pengetahuan dan kemampuan “ego”. Yang
tak berhingga menurut Levinas ialah orang lain. Totalitas itu langsung hancur
dalam perjumpaan dengan orang lain. Levinas menyebut “wajah” sebagai istilah
filosofis yang baru akan pengalaman itu.
Penampakan wajah sesama merobohkan
egoisme seseorang. Wajah menurut Levinas bukanlah suatu hal fisis atau empiris.
Yang ia maksudkan ialah wajah dalam keadaan telanjang, polos, tanpa suatu
konteks.
Penampakan wajah merupakan suatu
kejadian etis. Inilah suatu kekhasan dalam pemikiran Levinas. Wajah menyapa
seseorang untuk tidak boleh tinggal tidak acuh. Ia mewajibkan seseorang. Ia
menghimbau seseorang untuk membuka hati, mempraktikkan keadilan dan kebaikan.
Wajah memanggil seseorang untuk bertanggung jawab. Himbauan wajah pada pokoknya
ialah “jangan membunuh”. Ketika Kain bertanya, “apakah aku penjaga adikku?,
maka penampilan wajah mewajibkan Kain menjadi penjaga saudaranya.
Wajah menimbulkan kewajiban etis
bagi seseorang. tampilnya orang lain mengakibatkan saya bertanggungjawab. Namun
hubungan etis ini dianggap asimetris. Yang saya beri tak boleh saya tuntut dari
orang lain. Saya bertanggungjawab terhadap orang lain tetapi saya tidak dapat
menyuruh orang lain bertanggungjawab atas saya.
Levinas kemudian mengungkapkan
bahwa bukan refleksi tentang aku yang menyingkapkan bagi saya “Aku” yang sejati
melainkan aku menemukan “Aku” perjumpaan dengan “Orang Lain”.[7]
Hal itu pula yang melatarbelakangi pemikirannya tentang Allah. Baginya Allah
tidak dapat dipikirkan dengan semestinya dalam konteks ontologi. Levinas
berbicara tentang Allah dalam konteks metafisik, dimana Yang Tak Berhingga
tampak dalam wajah. Dimensi Ilahi membuka diri dalam wajah orang lain. Melalui
wajah, saya menghadapi yang lain sama sekali, yaitu Tuhan.[8]
2.2.2 Tanggung
Jawab
Dalam buku Lain daripada ada
atau di seberang esensi, Levinas menekankan tanggung jawab. Baginya subyek
menjadi subyek karena bertanggungjawab atas orang lain. Biasanya dikatakan
bahwa saya bertanggungjawab atas perbuatan saya saja, tetapi menurut Levinas,
saya bertanggungjawab pula atas perbuatan orang lain itu. Bila ditanya: berarti
orang lain bertanggungjawab atas perbuatan kita? Nah, relasi etis yang
asimetris berlaku.
Levinas menggunakan pengertian yang
sukar untuk menjelaskan hal itu, yaitu substitution[9]
(menggantikan tempat orang lain). Saya bertanggungjawab, malahan saya bersalah
(guilty) karena perbuatan orang lain. Pemikiran ontologis tidak menerima
itu. Bagi ontologi, saya hanya untuk diri saya. Bila begitu, menurut Levinas
persaudaraan universal tidak akan terbangun.
Akhirnya Levinas juga sampai pada
ungkapan “Aku” adalah mesias. Dengan mencari inspirasi Alkitabiah tentang
Mesias yang menederita bagi orang lain (Yes 53), ia berusaha memberi pendasaran
pemikiran filosofisnya yang berbeda dengan cogito ergo sum-nya Descartes
yang mencerminkan totalitas (aku berpikir, jadi aku ada) dan menggantikannya
dengan respondeo ergo sum (aku bertanggung jawab, jadi aku ada).[10]
3. Aplikasi
3.1 Wajah dan Tanggung
Jawab Cinta, Pengorbanan dan Perdamaian
Pemikiran Levinas tentang wajah dan
tanggung jawab menghantar seseorang pada sebuah kepekaan kasih dan etis serta
pengorbanan diri. Wajah menjadi kejadian etis bagi kita untuk berbuat baik,
adil dan ramah. Pemikiran tentang wajah mengajak kita untuk keluar dari
keakuanku “egoistis”-ku dan berdinamika serta membangun persaudaraan dengan
yang lain, Yang Tak Berhingga. Bahkan dalam wajah itu pula, wajah sesama kita,
tampak Tuhan sendiri sebagai Yang Lain. Hal itu membuat kita memiliki tanggung
jawab etis terhadap sesama kita yang mencerminkan Tuhan sendiri.
Bila kita benar-benar menghidupi
respondeo ergo sum yang dituangkan oleh
Levinas, maka kesejahteraan (bonum communae) bersama mungkin sekali tercapai. Pemikiran
filosofis Levinas ini sangat tepat diaplikasikan dalam karya kasih terhadap
sesama yang merupakan yang lain yang membuat eksistensi kita tetap ada.
Menyadari wajah sesama sebagai sebuah panggilan etis untuk bertanggung jawab
maka seharusnya tidak ada lagi pembiaran atau sikap tak acuh kepada kehidupan
sesama apalagi pembiaran terhadap penghilangan eksistensi sesamaku.
Aku dapat menyebut aku karena ada
dia yang bukan aku. Aku tergantung pada ada yang lain di luar diriku. Aku tidak
akan ada lagi bila dia yang bukan aku juga tidak ada. Adaku ada bila aku tetap
bersama dengan yang lain bahkan adaku semakin sempurna saat aku berada bersama
Yang Lain Yang Tak Berhingga yaitu Tuhan.